Oleh: Irwan Dwi Kustanto
7 November 1992
Menguraikan lembar-lembar kejadian adalah puisi malam
Mengukur mimpi dengan malam, tak berujung
Senandungkan kerinduan, untukmu
Fajarnya disingsingkan
Kunanti kembaramu menjadi embun pagi
Aku belum lagi merasa ada
Sementara jemari ini belum usai mengaksarakan asma
Ramai kudengar dari dalam bumi
Orang-orang berteriak sambil membuka ibu jari
Tanda mengenaliku, banggaku menjadi asing
Dimana aku ?
Orang asing ini seperti pernah kukenal
Boneka dolanan dan dongengnya
Juga arit, cangkul, serta ani-ani
Dari muka pendopo ayah memberi isyarat,
Keris dan belangkon diletakkannya dekat cerutunya
Katanya:“Mereka itu ngger bukan apa-apa dan siapa-siapa !”
“Kau tahu le apa yang mereka inginkan ?”
“Belum Bopo,” kataku
“Ngger, mereka menginginkan menjadi
lukisan hayalannya sendiri”
“Sedang wajah mereka disembunyikan
pada bingkai lukisan itu”
“Ngger kesini mendekat pada simbok!” ibu meminta
Bau khas jariknya adalah kelembutan wanita, dan katanya
“Hidup itu tak mencari apa-apa”
“Bukankah dia telah dicukupkan ketika kau dilahirkan ?”
“Kau tinggal menguraikannya, menerjemahkan dan menjadikan cahayamu sumber kedirian”
“Inggih ibu”
Abstrak

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar