Abstrak

Abstrak

Rabu, Januari 21, 2009

LANGKAH SERIBU BINTANG

LANGKAH SERIBU BINTANG
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Cisarua, 27 Juli 1997

Diammu mengisyaratkan bahasa cinta
Dunia yang terbentuk dari lima jari,
Telunjuk adalah bagian lentera yang sering kali tertinggal
di saku
Seperti dulu, ketika kau mengusap rambutku dengan senyummu
Aku hanya bisa menangis sambil menghisap ibu jari harapan
Semua yang disandarkan seperti terbuang, sia-sia
Lagi-lagi aku menghitung bintang di saku

Jantungmu tak beraturan saat kucari bayangmu
Aku tahu kau tak mengenal goresan cipta
Bahkan lenganmu yang tak berkeringat, diam saat tersapa
Kau menduga kerut diwajah tanpa arti

Ibu aku ingat saat rumahmu diam
Bunga yang kau tanam dihalaman depan garis hidupku,
Pot-pot biru
Batu-batu keramik negeri jauh,
Gambar-gambar jemari langit dan
Semua yang kau titipkan dahulu
Aku masih menyimpannya di dada
Terkadang ia menjadi lagu yang mengalun begitu saja
Menghampiri dan membawaku kelembah-lembah dan ngarai

Tetapi ketika mata birumu berubah menjadi putih, ibu
Aku tak dapat berbuat apa-apa

Malam ini saat gelap menyelimutiku, aku terkenang kembali bahasamu
Katamu saat itu, usah risau anakku
Biarkan semua orang berteriak-teriak tanpa makna
Gedung-gedung tinggipun membelakangimu tak menoleh
Bis-bis kota melaju dihadapanmu tanpa klakson, biarkanlah
Lampu-lampu jalanan menari-nari bagai kegilaan
Kabel-kabel telpon menjadi rantai yang siap menjerat
Tapi anakku, ibu didekatmu
Bernyanyi tentang bintang
Bernyanyi tentang hijaunya sabana
Lenganmu letakkanlah di bahu ibu
Anakku, Apakah bahasa ibu yang melembutimu tak kau dengar malam ini?
Ibu memang tak dapat membawamu
Bermain-main dengan bintang
Terbang bersama kupu-kupu di taman-taman sari
Menyelam dilaut impian atau
Bernyanyi-nyanyi sambil menari di Kute
Dengar anakku, lengan ibu yang lelah ini,
Ada bunga yang tercipta
Jika kau sungguh ingin hidup, bunga itu untukmu
Bersamamu ia akan berjalan dengan kekuatan ibu

Aku tersentak
Kesadaranku membahasakan sosokmu ibu
Ah, ada suara lembut yang mengetuk-ngetuk pintu lamunan
Aku mencari dan berlari-lari dengan tongkatku
Ibu, dimana, dimana
Nyanyian itu seperti pernah kukenali
Nada-nadanya menjadi kidung pujaan saat temaram kota Jakarta
Syairnyapun mengenangkan kasih yang tulus
Tapi dimana?

Kurentangkan tanganku kesudut barat langit, tak ada disana
Jariku hanya menyentuh awan dan mega
Ataukah di timur lautan Pasifik
Ah, tetapi jariku hanya memegang karang dan zooplankton
Suara itu, suara itu makin melemah
Namun maknanya teramat dalam

Aku tak ingin dikalahkan oleh hidup
Kucoba lagi masuk kedalam perut bumi
Bukankah debu-debu sudah menjadi bagian kakiku
Jadi pasti kutemukan lagu itu disana
Tetapi ketika rambutku diselimuti es Antartika,
Aku semakin jauh ditinggalkannya
Aku lelah, tanganku saja aku tak mampu mengendalikannya
Tongkatku jatuh, aku asing dikota ini
Aku berteriak-teriak bagai kegilaan
Dan menarik-narik kabel listrik
Kuambil batu jalanan dan kulempari orang-orang berjalan
Kuminta kembali tongkatku yang patah karena
Roda mobil mereka
Aku tersungkur ditong sampah lalu diinjak-injak lalat-lalat kota
Aku terpuruk ditrotoar Kuningan
Bahkan garis setapak jalan tongkatku sudah ditancapkan swalayan
Aku berteriak, tapi suaraku tertahan dihidung
Kini nafasku sudah dapat diramalkan tarikannya
Mengapa kampus-kampus sinis memandangku,
Apakah potretku terlalu menjijikkan ?
Aku pergi ke bank, tetapi semua dipagar besi,
Tongkatku terhalang
Sementara orang-orang dipasar berbisik-bisik
Mereka membuang permata hanya untuk sekedar berdansa

Malam ini ibu, aku mengadu
Aku rindu embun tatapanmu
Sering kudengar kidung-kidungmu, betapa damainya aku
Terik kota tua hanya ilusi jika kau bernyanyi lagi
Angsa-angsamupun menari
Kepak sayapnya melukiskan balet Yunani
Saat airnya beriak, gelombangnya menyitir Sang Gibran
Dari Libanon
Sambil menoleh kiri dan kanan angsamu berkaca
Mencelupkan wajahnya di air sambil berputar membuat lingkaran
Aku damai ibu
Tapi bayangan gedung-gedung bertingkat masih menghalangiku
Lalu engkau hadir lagi ibu
Gaunmu yang putih berkibar saat angin-angin tenggara bertiup
Kabar apa yang kau bawa ibu ?
Aku tahu ibu, aku mengerti
Cukuplah tersenyum, dunia pastilah gembira
Aku memang tak dapat melihat wajahmu
Saat rembulan jatuh di pipimu
Tapi ibu, jemari lembutmu mendendang lalu
Mengalir keseluruh tubuhku
Jantung dan leverku kini kembali sejuk
Ada butir-butir puisi meruangi paru-paru
Kemudian disuarakan dilangit terbuka

Malam ini ibu, saat semuanya terdiam
Ada rumah putih yang indah berhias lentera
Disitu anak-anakmu masih memegang bunga-bungamu
Harum, semerbak seperti rambutmu yang belonda saat terkibaskan
Lihatlah Bu tetes air mata, kini telah menjadi mutiara
Aku dapat berdiri
Aku tak mimpi lagi
Bayanganku kini berlari bersamamu
Diantara daun-daun yang berguguran,
Jatuh setitik embun untukku melepaskan dahaga
Diantara kunang-kunang terbang, ada ranting untukku berjalan
Aku damai ibu, lihatlah kepalku
Kutembus tembok kampus, kulangkahi pagar-pagar bank, Kubangun trotoar sendiri
Aku bangga ibu, aku bangga jadi anakmu

Malam ini saat gelap menyelimuti ruang dan waktuku
Kukenangkan dirimu, seperti kukenangkan langkah
Seribu bintang

* Puisi ini teruntuk Almarhumah Ibunda Nicola Sulaiman; Pendiri Yayasan Mitranetra yang telah meletakkan sejuta kebajikan pada kami para tunanetra, damailah Ibu di HaribaanNya.

Tidak ada komentar: