Abstrak

Abstrak

Rabu, September 24, 2008

Dapatkan Buku Antologi Puisi Angin pun Berbisik

PENGUMUMAN

GRATIS BIAYA PENGIRIMAN

…Dan cinta kita
Masih mengembara diantara kumbang yang tersesat kala memburu bunga
Lirih suara rintih diantara lengking kelopak bunga rekah... 

Saudaraku , Puisi indah yang menggelorakan dan mengetuk jiwa kita tadi adalah penggalan dari kumpulan sajak cinta dalam antologi puisi karya tiga anak manusia; Irwan Dwi Kustanto (ayah yang tunanetra), siti Atmamiah (ibu) dan zeffa Yurihana (anak)

Lewat "anginpun berbisik", (begitulah  mereka menamai judul buku tersebut), yayasan mitranetra  mengajak kita semua; berbagi cinta dan harapan menuju sebuah dunia yang ramah kepada saudara kita tunanetra.

Antologi pertama yang ditulis oleh sebuah keluarga ini didedikasikan untuk mendorong tersedianya buku yang aksesibel bagi mereka yang lemah penglihatan, sebagian dari hasil penjualannya  akan digunakan untuk penyediaan buku braille.

Saudaraku, satu buku antologi yang dibeli, berarti anda telah berbagi satu buku Braille untuk tunanetra.

Dapatkan segera keindahannya, untuk pemesanan, hubungi Yayasan Mitra Netra 
Jenis buku: hard-cover (untuk jenis soft-cover tersedia ditoko-toko buku besar dengan harga Rp.28.500,-)
Harga: Hard-cover Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah)
Pembayaran: Transfer Bank BCA Bona Indah, 
Nomor Rekening 6080279144 a/n Yayasan Mitranetra.
Kontak: Sdri.  Ima Tel. 021.7651386 HP. 0856 936 236 85 Fax: 021.7655264 
Email: ima@mitranetra.or.id

Anda dapat menjadikan “Anginpun Berbisik” sebagai suvenir, hadiah dan tanda mata kepada kolega, relasi, teman, sahabat, keluarga serta orang-orang yang anda kasihi. 
Kami akan segera mengirimkannya langsung kepada mereka, fax segera alamat anda dan orang yang ingin Anda kirimi sertakan pula bukti transfernya kepada kami.

Sambil menikmati indahnya syair "angin pun berbisik" mari kita berbagi dan membangun sebuah dunia yang lebih ramah dan lebih indah.

Sebait puisi dari tunanetra, seribu buku untuk tunanetra    
Dengan jari mereka melihat dunia, dengan jari kita berbagi cinta dan literasi.

(Terimakasih dari kami: partisipasi anda menyebarluaskan informasi ini membuka jalan yang lebih luas para tunanetra kedunia literasi).

Peluncuran Antologi Puisi "Angin pun Berbisik"

Profil Saya

Foto Saya
Irwan Dwi Kustanto, dilahirkan pada tanggal 7 November 1966 di Kebayoran Lama Jakarta. Anak ke 2 dari 5 bersaudara ini berayahkan seorang Pegawai Negeri Sipil yang sederhana, yang masih harus menopang kehidupan kesehariannya dengan bercocok tanam di sebidang kebun luas milik seorang tuan tanah di sekitar rumahnya.

Tak ada yang istimewa dari masa kecil seorang Irwan, kecuali sebuah pengalaman menarik, bahwa dia pernah menikmati hidup di sebuah lingkungan kebun sayuran, makan buah dan singkong dari hasil tani orang tuanya, dan bermain di halaman yang luas penuh pepohonan dan kicauan burung, yang tentunya tidak dapat lagi dijumpai di pusat kota Jakarta saat ini.

Sebuah kejadian di umur 9 tahun, ternyata kemudian telah membawa Irwan pada satu perubahan besar dalam hidupmnya. Saat Irwan sedang belajar di kelastiga, sekejap pandangannya menjadi gelap. Dia tidak dapat lagi membaca seperti dahulu dan tak dapat lagi mengenali wajah-wajah guru serta teman-teman yang semula akrabdi kepalanya. Pandangannya menjadi kabur dan tidak terfocus pada apa yang dilihatnya sehingga teman-temanya sering mengatainya "juling".

Sejak kehilangan pandangan itu pula, Irwan harus berhadapan dengan berbagai kesulitan dan perlakuan yang diskriminatif dari lingkungannya, yang ternyata telah membawanya pada sebuah "pengalaman unik", yang tentunya tidak banyak dialami oleh orang lain. Irwan mulai mengalami kesulitan dalam belajar karena tidak ada buku yang pas dengan kondisi penglihatannya. Kemampuan pandang yang buruk pernah membuatnya hamper menginjak kepala Nenek dan Ibunya yang sedang berbaringan (lesehan ala orang Yogyakarta) di lantai rumah sepulang dari sekolah. Kalimat-kalimat pelecehan dari lingkungan seperti "kalau kamu tidak bisa melihat, sebaiknya kamu menggunakan kacamata kuda" pun menjadi pelengkap tumpukan "dendam positif", yang membuat Irwan semakin yakin, bahwa dia harus menghadapi berbagai hambatan sebagai sebuah tantangan yang harus dijawab, agar menghasilkan peluang untuk menjadi orang yang lebih baik.

Irwan harus menjalani proses pendidikan yang sama sekali tidak ramah padanya selama bertahun-tahun (hampir 10 tahun dimulai kelas 3 SD). Tidak ada buku pelajaran yang dapat dibacanya, tidak semua guru mau mengerti kondisinya, sulit mengikuti penjelasan guru di papan tulis, hanya mengandalkan telinga dalam belajar dan merasa risih untuk meminta tolong pada teman lain karena kawatir mengganggu mereka , telah melengkapi tekanan mental yang harus dia hadapi. Meski demikian, Irwan tetap berusaha keras, hingga ia dapat menamatkan pendidikannya di SMA.

Lulus SMA bukanlah akhir dari masalah yang harus Irwan hadapi. Ia ragu dengan masa depan, karena tak ada jalan yang pasti untuk menjadi mandiri. Saat itu Irwan merasa sulit untuk kuliah, karena ia merasa tak mungkin berkuliah dengan kondisi kurang melihat. Sedangkan untuk bekerja pun ia belum memiliki keterampilan yang memadai. Secara manusiawi, saat itu kedua orang tua dan Irwan sendiri berharap besar agar kondisi penglihatannya dapat pulih seperti sedia kala. Untuk itu, Irwan mengisi dua tahun kehidupannya setelah SMA khusus untuk mencari pengobatan (alternative non medis) ke sana ke mari. Namun apa daya, upaya ini tak berbuah apa apa, melainkan hanya menghabiskan banyak biaya dan waktu. Nampaknya "retinitis" (kerusakan pada retina matanya) yang disandangnya harus diakrapinya sepanjang hidupnya.

Setelah menyadari bahwa usahanya untuk mendapatkan kesembuhan tak kunjung berhasil, Irwan mulai berpikir bahwa apa yang ia alami ini adalah sebuah kenyataan yang memang harus ia terima. Namun untuk dapat menerimanya secara tulus, Irwan masih berkeinginan mencari jawaban tentang penyakit apa sesungguhnya yang menyerang matanya, serta bagaimana kemungkinan kesembuhannya di masa datang. Irwan mendatangi seorang Dokter Ahli Mata, yang akhirnya dengan lugas menjelaskan bahwa retina kedua matanya telah rusak dan tidak dapat lagi disembuhkan. Irwan faham benar, bahwa ia kini betul-betul telah menjadi seorang tunanetra. "Hidup belum berakhir", begitulah jawabnya atas kenyataan itu, "Tuhan menginginkan irwan melakukan sesuatu", apa itu? Rahasia yang harus dia ungkap dan melangkah kedepan adalah keharusan baginya.

Irwan 1986 kemudian memutuskan untuk mencari tempat yang dapat memberinya pelajaran baca tulis huruf Braille, karena hanya dengan cara itulah ia dapat melangkah lebih jauh dengan kondisinya yang kini"low-vision". Irwan akhirnya masuk ke sebuah Panti Rehabilitasi Tunanetra (Wisma Tanmiat Jakarta), yang kemudian membuat ia seolah bangkit dari tidur panjangnya dan merasakan betapa hidupnya masih punya harga. Di sana Irwan belajar huruf Braille dan keterampilan lainnya selama satu tahun, hingga akhirnya ia bertemu seorang guru yang menyarankan agar dia melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.

Meskipun dengan rasa ragu pada awalnya, Irwan kemudian mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Jurusan Filsafat Pendidikan IKIP Muhammadiah Jkarta. Baru menginjak semester 1, bagai disambar petir, Ketua jurusan tidak mengizinkan irwan untuk melanjutkan perkuliahannya kesemester 2. "Calon guru tak boleh cacat", begitulah, surat keputusan rector IKIP Muhammadiah diterimanya dengan duka yang mendalam. Dalam kesedihan itu, dating seorang tunanetra seniornya yang telah menyelesaikan sarjana mudanya disalah satu perguruan tinggi negeri dan menyarankan agar irwan mendaftarkan kuliah disana.

IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta adalah kampus keduanya dan 1988 Irwan mengikuti perkuliahan dijurusan Filsafat agama. Pada masa kuliah ini, Irwan semakin menemukan bahwa jalan menuju ke masa depan mulai terbuka lebar. Selain menjadi mahasiswa, Irwan aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yang memberinya banyak pelajaran untuk menjadi seorang pemimpin. Salah satu organisasi yang pernah diikutinya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada masa studi di perguruan tinggi inilah Irwan mendapat pengalaman berharga tentang nilai tambah dari seorang tunanetra, yang dapat belajar secara bersama-sama dengan siswa awas lainnya. Belajar bersama rekanyang awas, ternyata telah membuatnya lebih matang secara emosional dan social,serta mampu bersaing secara sehat di berbagai bidang. Irwan berhasil mendapatkan gelar kesarjanaannya di tahun 1994.

Sulitnya hidup sebagai seorang tunanetra telah membuat Irwan memiliki banyak mimpi untuk memajukan rekan-rekannya yang juga tunanetra. Sejak tahun 1992, Irwan telah bergabung dengan Yayasan Mitra Netra, sebuah Yayasan yang didedikasikan bagi kemajuan pendidikan tunanetra. Bersama dengan rekan-rekannya yang lain, Irwan banyak mencetuskan dan membuahkan ide-ide brilian seperti mengembangkan sistem simbol braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter, Mmencetuskan ide Kamus Elektronik untuk tunanetra yang dikenal sebagai Mitra Netra Electronic Dictionary, hingga mencetuskan program Seribu Buku Untuk Tunanetra. Sejak tahun...Irwan dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra.

Pada tahun 1995, Irwan mempersunting Siti Atmamiyah untuk menjadi pendamping hidupnya. Dari sang istri berpenglihatan awas yang dikenalnya sebagai kakak kelas dan tetangga kost semasa kuliah ini, Irwan telah dikaruniai tiga puteri masing-masing Zeva, Zella, dan Zeyina.

Lalu apa kaitannya Irwan dan puisi? Puisi merupakan bagian penting dalam komunikasi antara Irwan, sang istri dan ketiga anaknya. Sejak tahun 2004, Irwan (di Jakarta) harus hidup terpisah dengan isgtri dan ketiga putrinya, karena keluarga ini terpanggil untuk juga dapat mendampingi orangtua yang telah lanjut usia di Tulungagung, Jawa Timur. Puisi seolah menjadi jembatan kasih di antara keluarga ini. Meski puisi yang tercipta sangat amatir dan pakemnya tidak jelas, namun makna di balik semuanya sangatlah lugas dan bernilai. Irwan dan keluarga telah sukses membuat puisi sebagai media untuk membahagiakan orang lain. Itulah sebabnya, jika dibaca dengan teliti, puisi itu terasa bagaikan letupan perasaan kala ada yang sedang diliput kerinduan, saat berulang tahun, saat memanjatkan doa untuk puteri tercinta, atau pun saat kehampaan sedang melingkupi masing-masing kreatornya. Puisi Untuk Membahagiakan Orang ini kemudian telah berbuah sebuah buku bertajuk "Angin Pun Berbisik".

Dalam kesehariannya, Irwan dikenal sebagai sosok pria yang punya banyak potensi. Di samping aktifitasnya di Yayasan Mitra Netra, sat ini Irwan juga kerap menjadi pembicara pada seminar-seminar, baik yang berkaitan langsung dengan tunanetra, maupun yang bertema motivasi. Irwan juga kini tercatat sebagai Instruktur Nasional untuk pengembangan simbol Braille Indonesia. Di samping itu, sejak beberapa tahun yang lalu, Irwan juga merambah dunia kewiraswastaan dengan mengelola sebuah toko serta ikut terjun menjadi pelaku pasar bursa online. Menurut Irwan, semua itu dapat dilakukannya berkat kemajuan tehnologi alat bantu ketunanetraan, yang membuat apa yang dahulu tidak dapat dikerjakan oleh seorang tunanetra menjadi mungkin untuk dilakukan.

Kerja keras seorang tunanetra bernama Irwan, akhirnya turut mendorong Yayasan Mitranetra memperoleh banyak penghargaan diantaranya; "Angin Pun Berbisik" adalah kumpulan puisi karya Irwan Dwi Kustanto dan keluarga, yang sebagian hasil penjualannya didedikasikan bagi pendanaan program Seribu Buku Untuk Tunanetra Yayasan Mitra Netra. Program Seribu Buku Untuk Tunanetra adalah sebuah program berbasiskan kerelawanan, dalam rangka mempercepat proses ketersedian buku yang aksesible bagi tunanetra(Buku Braille dan buku bicara), yang selama ini jumlah dan koleksinya masih sangat terbatas serta belum menjangkau banyak tunanetra; di Indonesia tercatat 3 juta orang atau 1,5% dari julah penduduk.

Irwan Dwi Kustanto dapat dihubungi:
Telepon: (021) 765 1386
Email: irwan at mitranetra.or.id
Web: www.mitranetra.or.id

Ditulis oleh seorang sahabat; Tolhas Damanik

Selasa, September 23, 2008

ANGINPUN BERBISIK 1

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam

Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapnya
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga

Kudengar lirih bisikmu
Pada duka yang terbiasa
Menyimpan semua puisi
Terbang bersama; camar yang tak pernah kembali

ANGINPUN BERBISIK 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ramai orang, ramai hujan, ramaipun gaun pengantinmu
Saat pintu diketuk, hujan masih riang
Angin berjalan tertunduk disampingmu
Bunga berdansa, musikpun menyapa
Usahlah berbisik: sebait puisi
Menjelma malam menaburi sejuta rindu
Urungkan bertanya; sepi yang meruncing diujung malam
Memanggil bulan memutar waktu.
Dan ketika kau lepaskan gaunmu,
Belum jua reda tangismu

ANGINPUN BERBISIK 3

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Semenjak tangismu meranum
Dari sayap kupu-kupu itu
Bertaburan rindu
Rinduku yang dulu
Yang kau tabur diatas ilalang
Mengering bagai mimpi
Diantara hadir dan pergimu
Berjuta debur gelombang hati
Berbisik kepada angin
Lalu kepada bayangmu, disini daku menunggu

ANGINPUN BERBISIK 4

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Kudengar dibalik senja isyarat-isyarat bergema
Kudengar entah suara siapa
Melengking melantun doa
Kudengar jejak kakimu

Ketika engkau tiba-tiba menjelma mantera
Terbalut luka mendera
Malampun mencari makna;
Huruf-huruf diantara bunga
Kemudian merangkai kata
Bergelantungan bersama embun yang bertahan pada kelopaknya

Ketika gerimis mengetuk pintu menjelang fajar
Kudengar anginpun berbisik
Hampa mendera diantara kita:
Sepi, dan…
Semakin menggelegar tatkala angin berlalu

Senin, September 08, 2008

ANGINPUN BERBISIK 5

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Pada angin yang berbisik ditelingamu
Mungkin suaraku tak kau kenal lagi
Namun dalam rintih doa-doaku
Namamu masih menghiasi alunannya

Pada angin yang berbisik dihatimu
Mungkin bayangku tak kau hiraukan lagi
Namun dalam syair doa-doaku
Namamu masih mewarnai guratannya

Pada angin yang berbisik di detak jantungmu
Mungkin parasku tak kau kenang lagi
Namun dalam lantunan doa-doaku
Namamu tak henti-henti kusibak