Abstrak

Abstrak

Rabu, Desember 24, 2008

BUKU

Oleh: Zeffa Yurihana

Aku ingin tahu segalanya
Aku ingin tahu dunia
Semua ada didalam dirimu

Engkau bermacam-macam bentuknya
Ada yang besar dan kecil
Buku, terimakasih
Karenamu aku pintar
Karenamu aku tahu
Tahu segala
Yang ada didunia

Buku, sudahkah engkau berterimakasih ?
Berterimakasih pada penciptamu ?
Semoga saja sudah
Karena engkau jadi seperti ini karenanya

Buku, segala pengalaman dan kejadian
Dongeng dan nyanyian pelangi
Juga tangis adik dalam mimpi
Semuanya ada, berkata dan bergerak
Selangit biru engkau dilukis
Dan ibu selalu saja jadikan hadiah saat ulang tahunku

Buku, terima kasih
Aku seperti diajak bicara oleh seribu penulis
Digandeng bermain boneka dihalaman rumahnya
Hingga aku tahu
Dan membaca pada halaman terakhir

BINTANG - BINTANG

Oleh: Zeffa Yurihana

Ku lihat langit…
Penuh bintang, berkelap-kelip
Bagai intan berlian
Indah sekali
Oh bintang
Kau memberikan cerita tentang bulan yang sedih
Oh bintang
Bertahun-tahun kau menemani bulan, tak jemu
Tapi, mengapa bulan tetap bersedih ?
Setengah wajahnya disembunyikan
Bintang, cobalah menari
Agar bulan tersenyum kembali
Dan purnama berseri

LUKA SEORANG LELAKI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Luka seorang lelaki adalah embun pagi
Yang sunyinya melengking
Menguap tertusuk matahari
Punah

Luka seorang lelaki adalah gerimis siang hari
Yang rintiknya menggigil
Melepaskan debu dari ikatan kemarau
Hilang

Luka seorang lelaki adalah senja
Yang temaramnya menjerit lirih
Menyembunyikan lekas-lekas rindunya
Pada jarak
Pada waktu
Dan pada kegelisahan memasuki malam
Gelap

Luka seorang lelaki adalah rembulan
Yang purnamanya gelisah
Meredup
Menyembunyikan wajahnya pada awan
Merintih lirih
Senyap
Mengapa?
Yah, karena sepi memanggil
Karena rindu menderu
Dan karena cinta melanda

BUNGA TURI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Jangan kau petik bunga turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menangkap matahari
Biarkan, gerak gaib akarnya menelan hujan
Yang tersungkur luluh kemarin malam

Jangan kau patahkan kembang turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menghisap embun
Biarkan rahasianya tersimpan pada kuncupnya
Yang malu-malu untuk mekar

BUNGA MAWAR

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Bunga mawar dihalaman rumah
Berkelopak air mata
Jatuh, menyerah pada matahari
Saat perempuan tak peduli
Saat perempuan menangis
Merahnya yang muram disiraminya
Agar tak ada risau saat angin menerpa

Wahai Bunga mawar diserambi rumah
Mengapa kau dan perempuan sering menangis ?
Apakah duri-durimu, sering menyakiti
Menusuk, menembusi zaman dan kematian
Lalu tersenyum untuk dimanjakan
Tak begitu bukan ?
Tak ada rasa sakit
Tak ada luka
Tak ada duka pada pelupuk mawar yang disentuh perempuan
Karena tangis baginya hanyalah keindahan yang tersembunyi

BUNGA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Bunga itu meninggalkan puisi
Dikelopaknya beruntai bait-bait kehidupan
Mengalun lembut lewat jatuhnya embun
Berbisik, lirih, menghayati baris demi baris
Melangkahi huruf-huruf, kemudian diam tak berkeinginan
Lunglai, kering, kemudian pergi

Bunga itu meninggalkan waktu
Disemerbaknya bergantungan kenangan yang bisu
Mengalir lembut terbawa angin
Berputar, menembusi jiwa-jiwa
Dan kembali menangis walau tanpa air mata
Karena wujud hanyalah masa
Yang rentangnya untuk dibawa
Kepada Cahayanya sendiri, Diam dan Utuh

Bunga itu masih saja meninggalkan doa
Ditangkainya beralunan mutiara-mutiara kata
Memendam rindu merasuki sukma-sukma
Penuh harap
Dahaga cinta
Kemilauan tangis, sungai air mata
Aku yang meminta, langit diturunkan,
Hingga fajar berkeluh duka
Sayangku, ingatlah pada saatnya, sirnalah segala
Walau puisi, waktu, dan doa telah berwujud bunga

KUHARAP

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Jakarta 22 Februari 2006

Kuharap kau mencintaiku sepenuh yang mampu kau lukiskan
Seperti ombak yang selalu menyelesaikan sapuannya
Ditepian pantai
Menggulung
Berkejaran
Berirama
Dan kembali untuk meninggalkan kenangan

Aku harap kau mencintaiku sepenuh yang mampu kau tuliskan
Seperti bintang yang selalu mengarahkan langit
Bersinar
Berkelip
Bergelombang
Dan mendekat ke bumi untuk memberi warna

Kuharap engkau mencintaiku sepenuh yang mampu
Kau nyanyikan
Seperti angin yang selalu mengejar daun-daun
Pada rumpun bambu
Berbisik
Beralunan
Bersenandung
Dan Menumbuhkan kembali ranting-ranting yang patah

MENGEJAR MATAHARI TENGGELAM

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Tatkala mataku dan matamu bersentuhan;
Adalah jelmaan sang “dewi senja”
Yang suaranya keemas-emasan menetes pada batu karang itu
Aku tersenyum, nampaknya cakrawala dipersembahkan
Dengan segunung sesaji dan doa-doa
Katamu; “hidupku terlalu terbiasa dengan angin, kerlip bintang,
Embun pagi, debur ombak dan
Segala keheningan yang melimpah” , namun
“Mengapa kegelisahan tak surut-surut memasuki sukmaku?
Ada yang selalu meminta untuk aku pulang
Tetapi aku tak tahu dimana rumahku
Dimana setiap pagi ibu menyiapkan matahari diberanda
Untukku bawa dan kutanam seharian di bukit-bukit kemarau
Hingga senja mendulang
Aku tetap berlari
Mengejar matahari
Yang tak pernah sabar menanti
Untukku meletakan dan menitip rindu
Pada temaramnya yang selalu membisu
Aku mencintaimu, dengan apa adamu

DALAM KERETA GAJAYANA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Sepasang mata menjala tanya
Sendirian ?
Begitukah ?
Entah mengapa, alamnya berbeda
Sementara ketukan roda tak reda
Jantung masih menekan dada
Menghitung tarikan peluit
Diantara lengannya dan lenganku
Ada jarak
Ada lorong
Ada semacam hutan lebat diangkasa
Ke Malang ?
Tidak, Tulung Agung
Tapi, rambutnya yang terurai berkaca-kaca
Aku mulai terjaga saat
Disibakkan ke jaman yang asing
Mungkin dia perempuan
Yang keluar masuk tanpa waktu
Untuk sekedar datang
Tapi aku masih setengah terjaga
Waktumu telah tiba
Telah tiba ?
Aku turun kepelupuk mataku
Perlahan-lahan memegangi pagar-pagar
Mengetuk-ngetuk pintu dengan gerimis
Mau ini ?
Ayolah, bulanpun menyicipinya kemarin
Kembang gula ditebar dilangit
Waktumu telah habis
Telah habis ?
Ya, karena saat kau terjaga, aku telah tak ada

SEANDAINYA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Seandainya aku dapat …, tetapi engkau seorang buta!
Kau hanya mereka-reka bayang-bayangmu sendiri
Dari kejaran matahari
Kau hanya bisa menduga-duga hembusan angin
Yang mengejar telingamu dengan desirannya
Walau tak pernah kau letih, kutahu itu,
Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari
Melukis langit
Memahat lembah
Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala

Seandainya aku … tetapi kau hanyalah seorang buta!
Tertatih-tatih langkahmu
Mencari pesan dari batu kerikil disungai itu
Yang tak bosan-bosannya datang padaku, sia-sia

Seandainya aku…, tetapi kau buta!
Jangan pernah berkata apapun kecuali,
Kecuali aku telah pergi

MENCINTAIMU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Mencintaimu dengan mata terpejam
Adalah bunga mawar
Yang merahnya tercium temaram
Saat senja tersandar dipantaian pasir putih

Mencintaimu dengan tangan terlunglai
Adalah rembulan malam
Yang purnamanya terbuai semburat
Saat awan melintasi gugus bintang di pantai prigi

Mencintaimu dengan apa adaku
Adalah tarikan nafas
Basah
Melumuri jiwa
Diam
Bersemayam
Dan luluh dalam embun fajarmu
Selamanya, kekal dan abadi

CEMBURU 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan ditanganmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta

Jumat, Desember 05, 2008

Langkah Seribu Bintang

Tanggal: Sumber:
23 Sep 2008 vhrmedia.com

Prakarsa Rakyat,
22 September 2008 - 13:12 WIB
FX Rudy Gunawan

aku tak ingin dikalahkan oleh hidup
kucoba lagi masuk ke dalam perut bumi
bukankah debu-debu sudah menjadi bagian kakiku
jadi pasti kutemukan lagu itu di sana

Sebait puisi di atas penggalan puisi "Langkah Seribu Bintang" karya Irwan Dwi Kustanto, seorang penyair tunanetra. Puisi-puisi Irwan memang indah dan memiliki keunikan karakter, justru karena ketunanetraan dirinya. Indra penglihatan yang tidak berfungsi membuat Irwan memaksimalkan indra penciuman, peraba, dan pendengarannya secara luar biasa. Dan itu menjadi modalnya dalam berproses kreatif. Tapi jauh lebih penting dari itu, yang ingin saya tulis dan sampaikan pada para pembaca adalah perjuangan dan kesuriteladanan yang bisa kita petik dari sosok seorang tunanetra yang umumnya kerap kita anggap tak berdaya.

Seperti ditulisnya dalam puisi berjudul "Langkah Seribu Bintang" yang saya kutip sebait di awal tulisan ini, Irwan menegaskan bahwa ia tak ingin dikalahkan oleh hidup.

Irwan menjadi tunanetra karena kerusakan retina yang dialaminya sejak usia 9 tahun, saat ia masih duduk di bangku SD. Sungguh kacau merasakan cahaya tak lagi menerangi hidupnya, membuat Irwan kecil terpuruk dalam jurang keputusasaan. Namun dengan kondisi penglihatan yang sangat terbatas, Irwan berjuang untuk mengikuti semua pelajaran di tengah badai ejekan, hinaan, dan perlakuan diskriminatif yang harus diterimanya hingga lulus SD dan SMP. Penglihatan Irwan terus meredup, namun ia tetap melanjutkan sekolah dengan gigih hingga berhasil menamatkan SMA. Pada titik ini, Irwan merasa semakin frustrasi. Tak kuat ia rasanya menahan beban kegelapan yang membuatnya semakin terpuruk. Irwan dan keluarganya lalu menghabiskan waktu dua tahun untuk mencari berbagai alternatif pengobatan kedua matanya. Dalam bait lain Langkah Seribu Bintang, Irwan menulis:

semua yang kau titipkan dahulu
aku masih menyimpannya di dada
terkadang menjadi lagu yang mengalun begitu saja
menghampiri dan membawaku ke lembah-lembah dan ngarai

Dua tahun upayanya tak membuahkan hasil apa pun. Irwan akhirnya harus benar-benar menerima kenyataan bahwa matanya tak bisa lagi diobati. Dan inilah titik balik sekaligus titik awal lembaran baru kehidupannya resmi sebagai tunanetra. Irwan mulai belajar membaca huruf Braille dan mencoba mendaftar kuliah.

Ia diterima kuliah untuk pertama kalinya di IKIP Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Filsafat Pendidikan, dan segera dikeluarkan lagi oleh Rektor dengan alasan:

"Calon pendidik tidak boleh cacat!"

Beruntung, Irwan tidak putus asa dan menemukan kampus yang mau menerimanya, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Filsafat Agama. Di kampus inilah Irwan menempa dirinya dan menemukan lingkungan yang ramah pada keterbatasan dirinya sebagai seorang tunanetra sehingga ia dapat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan selama kuliah. Irwan menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana pada tahun 1994 setelah sekitar enam tahun menjalani masa kuliah.

kutembus tembok kampus, kulangkahi pagar-pagar bank
kubangun trotoar sendiri
aku bangga ibu, aku bangga jadi anakmu

Itulah Irwan. Semangatnya untuk menjadi cahaya dalam hidup orang-orang tunanetra lainnya begitu kuat menyala. Kerap, kita sebagai orang-orang bermata awas (istilah yang digunakan para tunanetra untuk menyebut orang-orang berpenglihatan) hanya berhenti pada rasa iba yang semu. Padahal bukan rasa iba yang diperlukan, melainkan akses untuk mereka agar mendapat kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Dan kita juga kerap melupakan bahwa mereka mempunyai hak yang sama dengan semua orang lainnya. Untunglah sejumlah tunanetra seperti Irwan mendobrak tembok-tembok penghalang yang kita bangun itu. Lalu kita pun terhenyak.

Betapa seharusnya kita malu pada diri kita, karena sebagai orang-orang bermata awas, kita ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang tunanetra seperti Irwan Dwi Kustanto. Kini Irwan adalah Wakil Direktur Yayasan Mitra Netra, yang prestasinya antara lain mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter, mencetuskan ide kamus elektronik untuk tunanetra, dan yang terakhir adalah mencetuskan dan memelopori Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra.

Buku antologi puisi Angin Pun Berbisik yang berisi puisi-puisi karya Irwan, Siti Atmamiah (istrinya), dan Zeffa Yurihana (anaknya yang saat ini baru kelas I SMP), telah beredar luas dan mendapat respons positif dari masyarakat. Antologi puisi itu juga dijadikan album musikalisasi puisi oleh sejumlah pemusik muda seperti Endah dan Reza, Ninok (grup band Ran), group band Drew, dan bahkan artis cantik Maudy Kusnaedi dan Cornelia Agatha pun terlibat dalam album musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik. Sungguh kita seharusnya belajar banyak dari sosok Irwan agar kita lebih peduli, lebih rendah hati, dan lebih berbuat banyak untuk masyarakat sehingga bisa mengikuti "langkah seribu bintang"-nya Irwan Dwi Kustanto.

angsa-angsamu pun menari
kepak sayapnya melukiskan ballet Yunani
saat airnya beriak, gelombangnya menyitir sang Gibran
dari Lebanon
sambil menoleh kiri dan kanan angsamu berkaca
mencelupkan wajahnya di air sambil berputar membuat lingkaran
aku damai ibu

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429. Segenap awak Voice of Human Rights mohon maaf lahir dan batin atas semua kesalahan yang, baik sengaja maupun tidak, pernah kami lakukan. Minal Aidin Wal Faidzin! Mari menciptakan damai dalam hidup kita, seperti Irwan menciptakan damai di hati para tunanetra. (*)

dikutip dari: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/kolom/artikel_cetak.php?aid=30341

Jumat, November 14, 2008

ANGIN

Oleh: Zeffa Yurihana

Angin…
Berhembus kesana-kesini
Tak bisa dipegang
Tapi bisa dirasakan

Angin…
Bernyanyilah bersamaku
Dengan nada yang indah
Dengan suara yang merdu,
Dengan sepenuh hatimu, bahagialah aku

Angin…
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Setiap hari berlari denganku
Nada indah dan suara merdu
Untuk alam dan teman-temanku

ANAK GEMBALA

Oleh: Zeffa Yurihana

Oh… anak gembala selalu riang gembira
Menata kambing-kambing dengan rapinya
Membawa mereka ke padang rumput
Membawa mereka ke telaga
Tak terasa lelah dan letih

Oh... anak gembala selalu riang gembira
Mencuci domba-domba dengan bersihnya
Menuntun mereka ke sungai
Bersih,putih warna dombanya
Tanpa terasa lemas dan lesu.
Seharian menemani domba

Oh ... domba dalam hatiku
Merumputlah dengan gembira
Bermandilah disungai-sungaiku disana
Agar anak-anak bersih, riang dan bermain

ALAM

Oleh: Zeffa Yurihana

Disini kuhidup
Disini kumati
Alam tlah memberiku kebebasan
Alam tlah memberiku kebimbangan
Dan akhirnya putus asaku ada dialam
Alam tlah meciptakan semua
Dikala aku sedih
Aku selalu bersama alam
Dikala aku senang
Aku selalu bersama alam
Temanku bermain dan tempatku bersedu
Disinilah tempatku
Dan pada waktunya
Aku akan kembali
Kemana sebelum aku hidup dialam

DI UJUNG JALAN ITU AKU CEMBURU

Oleh: Siti Atmamiah

Di ujung jalan itu aku menanti
Gadis berambut panjang
Matanya yang sayu
Tak mungkin lupa
Menatap tetes embun jatuh
Pada jemarinya yang putih akan cahaya rembulan

Di ujung jalan itu
Gadis dalam lukisan mimpiku
Belum juga kembali
Mungkin tersesat
Ketika mencari jalan pulang
Ataukah kakinya terluka ?
Saat menjejak batu cadas

Di ujung jalan itu
Aku tak lelah menanti

CINTA YANG BERGENAP

Oleh: Siti Atmamiah

Kau bisikkan
Ditelingaku
Tentang danau biru
Indah anyelir oranye
Aku tak percaya
Bagiku dunia tak diberi warna
Kau lukiskan
Bulan yang tersamar
Tersaput mega-mega
Aku hanya diam
Bagiku diatas sana tak ada benda-benda
Hingga kau sentuhkan jarimu menembus kulitku
Aku merasa begitu genap
Cinta telah menjadi cahaya
Apakah kini siang ataukah malam ?
Tak kurang bagiku
Karena rindumu telah menyempurnakan hidupku

AKU HANYA ANAK KECIL, MAMA

Oleh: Siti Atmamiah
2 Juni 2004

Aku hanyalah anak kecil, mama
Kaki-kakiku kecil
Tanganku, tubuhku juga kecil
Terkadang aku nakal dan membuatmu tak bisa menahan marah
Memukul, mencubit, berkata keras dan bahkan membentak
Aku hanya bisa menangis
Aku hanya anak kecil mama
Aku bukan penjahat
Aku hanya ingin tahu
Ingin mencoba
Ingin belajar mengerti
Tentang isi semesta dengan caraku sendiri
Aku hanya anak kecil mama
Yang baru saja keluar
Dari rahimmu
Sementara wangi ketuban belum hilang dari raung ditubuhku
Aku hanya punya cita-cita dan mimpi, mama
Membawamu pada surga tempat tumpahnya bahagia

SEANDAINYA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Seandainya aku dapat …, tetapi engkau seorang buta!
Kau hanya mereka-reka bayang-bayangmu sendiri
Dari kejaran matahari
Kau hanya bisa menduga-duga hembusan angin
Yang mengejar telingamu dengan desirannya
Walau tak pernah kau letih, kutahu itu,
Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari
Melukis langit
Memahat lembah
Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala

Seandainya aku … tetapi kau hanyalah seorang buta!
Tertatih-tatih langkahmu
Mencari pesan dari batu kerikil disungai itu
Yang tak bosan-bosannya datang padaku, sia-sia

Seandainya aku…, tetapi kau buta!
Jangan pernah berkata apapun kecuali,
Kecuali aku telah pergi

MENCINTAIMU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Mencintaimu dengan mata terpejam
Adalah bunga mawar
Yang merahnya tercium temaram
Saat senja tersandar dipantaian pasir putih

Mencintaimu dengan tangan terlunglai
Adalah rembulan malam
Yang purnamanya terbuai semburat
Saat awan melintasi gugus bintang di pantai prigi

Mencintaimu dengan apa adaku
Adalah tarikan nafas
Basah
Melumuri jiwa
Diam
Bersemayam
Dan luluh dalam embun fajarmu
Selamanya, kekal dan abadi

CEMBURU 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan ditanganmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta

CEMBURU 1

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Lembar surat merah muda itu
Berbisik lirih
Pada hidupmu
Pada malam-malam yang kau sembunyikan
Untuk menatap bulan
Untuk berjalan dipematang
Untuk menimba rindu disumur belakang pondok

Kau katakan, bulan adalah cermin
Yang cahayanya mengukir malu
Untuk dilarutkan pada prasangkaku
Tidak, aku hanyalah malam-malam itu
Yang rembulannya tak pernah ragu
Berjalan pada lembar-lembar guraumu
Dalam surat merah muda itu

CINTAKU PADAMU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Cintaku padamu
Adalah sungai berbatu
Yang selalu
Berkelebat bayang camar
Enggan mendarat
Bertiup angin meminta pulang
Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis
Disenja menjelang galungan
Dimana kau tempatkan sesaji pada dukaku
Walau waktu memberat langkah
Namun engkau tetap khusuk
Mengalunkan doa-doa
Yang dewa-dewapun tak pernah merajutnya
Pada langit di Kute Bali

Rinduku padamu
Adalah bunga bakung
Yang selalu asyik
Menanti embun setiap pagi
Setiap tetes yang setia
Pada nyaring gemanya
Untuk bertemu
Dipermukaan tanah dan menyatukan kembali
Sungai-sungainya yang pernah hilang
Mencari matahari berabad-abad
Dan kini
Basah oleh setetes jiwa
Yang berharap dipersatukan
Dalam sebuah gerimis kecil
Ketika senjamu meninggalkan pure-pureku

Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya

Senin, November 10, 2008

LILIN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Sebuah lilin berbisik; ciumlah!
Lelaki itu malu-malu menjaring serbuk rindunya
Pada bunga dititipkan sebuah syair
Ini cintaku; terang mewarna
100 abad sudah kupendam; dalam matahari senja;
Dalam hembusan angin; dalam arus sungai
Dan dalam sayap kupu-kupu

Sebuah lilin mengendap-endap; belailah!
Lelaki itu memandangi bayang-bayangnya sendiri
Itu hutan
Itu sungai
Bukan, itu awan

Tidak, itu bebatuan
Tetapi mengapa dia seperti aku; selalu kalah
Sebuah lilin ingin tertidur; ia malu
Ia ingin menutup kedua matanya
Ia ingin berlari menjauhi api
Ia tak punya pilihan
Cinta menjadikannya luruh pada nasibnya;
Dimana perempuan selalu menerimanya;
Sebagai mimpi yang harus dirajutnya

Minggu, Oktober 26, 2008

Dan Angin pun Berbisik; Tabloid Mingguan PARLE 2007

03/02/2008 01:39

Kaisar Gaius Caligula (31-41 M) muda, percaya bahwa "agama, cinta, dan seni" adalah hal-hal penghibur dalam kehidupan yang sungguh berat ini. Ia menginginkan bulan, sesuatu yang mustahil; ia inginkan kehidupan abadi dan segalanya yang tak dapat digolongkan ke dalam susunan kehidupan di muka Bumi ini. Kaisar Romawi yang memiliki nama lengkap Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus ini, kemudian kembali dari pengembaraannya dengan tubuh yang letih dan sikap hidup yang nyaris putus asa.

Dalam hidupnya, Gaius Caligula pernah memproklamasikan keputusan radikalnya. Ia memberontak kepada para dewa yang telah menentukan nasib, yang menyebabkannya tidak bahagia. Baginya, jelas, hidup di dunia yang fana ini tak ada artinya; kecuali sandiwara permainan para dewa yang kejam dan sesat. Dia justru hendak mengubah kefanaan yang menyengsarakan itu menjadi kekekalan, mengusahakan yang mustahil menjadi mungkin, di Bumi dan di masanya. Sungguh, dia seorang utopis tulen.

Seorang utopis, konon, adalah seorang yang tak betah, intoleran, dan membenci kelemahan seperti lazimnya manusia biasa. Bagi Caligula, sikap puas diri adalah kelengahan dan dusta pada diri sendiri yang tak mau melihat penderitaan fundamental, yakni hidup dalam kesementaraan. Ia mengejek, menghina keyakinan, dan memorak-morandakan segala hal yang selama ini menjadi kebanggaan monarki: harta, wanita, kekuasaan, dan derajat sosial.

Barangkali, dari sisi ini, Caligula bukanlah seorang kaisar yang zalim, walaupun ia pernah memerintahkan algojo untuk membunuh musuhnya dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dia menutup mata dan telinga serta hati nuraninya, lalu menjadi kejam. Ia lupa akan batas kemanusiaannya sendiri. Nyatanya, dia seorang utopis sejati dan idealis tulen.

Caligula, seorang yang humanis. Ia menangis sedu ketika memutuskan persahabatannya dengan Cherea. Dia tersentak ngeri memandang si tua, Mereia, merenggang nyawa karenanya. Ia trenyuh dalam kepekaan nuraninya. Dia berpelukan dengan Scipion dan sedih menyaksikan penyair itu menghembuskan nafas kehidupannya. Lalu, ia ketakutan menjelang dibunuh.

Parodi dan karikatur cenderung ekstrem. Oleh karena kegetiran dan amarah yang ekstrem itu pula, parodi dan karikatur Caligula atas kesewenang-wenangan para dewa menjadi sangat ekstrem. Bulan tak perlu diraih, cinta memang tak memadai, dan hidup abadi sangat tak mungkin. Namun ada masa, di mana orang bisa bersyukur...

Memasuki usia pekan ini, saya bangga masih ada empati dan nurani. Di hari-hari penuh asa itu saya kadang larut dalam emosi dan sentimental yang tak tepermanai: melihat sahabat, sesama kita, yang ekspresi fisiknya tidak sesempurna diri ini. Air mata turun menggenangi lesung pipi seorang gadis kecil yang menyendiri di kursi depan Gedung Kesenian Jakarta yang temaram lampunya bak kerlip kunang-kunang, di malam penuh kenangan itu. Saya terbawa sentimental, dan adrenalin pun beranjak drop manakala membaca sebait puisi yang terangkum dalam antologi puisi yang ditulis oleh satu keluarga (ayah, ibu, dan gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar) di Tulungagung, Jawa Timur. Judul kumpulan puisi yang mereka tulis, Angin pun Berbisik (2008).

Sang ayah, Irwan Dwi Kustanto, seorang tunanetra. Istrinya, Siti Atmamiah, dan putri sulung mereka, Zeffa Yurihanna, bersama-sama meramu puisi yang menyentuh. Ada hasrat dalam dada mereka untuk membantu sesama, mewujudkan asa dan masa depan: "Sebait Puisi oleh Tunanetra, Seribu Buku untuk Tunanetra". Sebuah proyek ambisius yang humanis.

Saya lalu merenungi hidup, ada pengilon dalam denyut nafas yang terasa sesak di tenggorokan menikmati fragmen teater yang dimainkan anak-anak tunanetra, di malam itu. Betapa keinginan, harapan, dan kehausan mereka untuk membaca buku-buku, yang kini masih sebuah cita-cita. Ada keterbatasan fisik, tetapi hasrat itu terus menggelayut dalam dada.

Seperti drama Caligula , trenyuh dalam kepekaan nuraninya. Kegetiran dan amarah tak perlu ekstrem. Bahwa bulan tak perlu diraih, cinta memang tak memadai, dan hidup abadi sangat tak mungkin. Namun ada masa, di mana orang bisa bersyukur. Dan, saya bersyukur memiliki dua bola mata yang berfungsi. Membaca aksara Latin dengan sempurna, bukan dari kumpulan titik kecil bergerigi halus, aksara ciptaan Louis Braille (1809-1852), seorang tunanetra dari Kota Coupvray, Prancis yang meninggal di Paris dalam usia 43 tahun.

Ada spirit di antara mereka. Semangat untuk meraih harapan dan masa depan itu tercurah dalam rangkaian kata-kata yang terhimpun dalam sebuah buku. Bahwa buku itu adalah jendela dunia dan sumber ilmu pengetahuan, juga menjadi impian para tunanetra, saudara kita yang terus menyemangati hidup dengan membaca.

Ya, "Sebait Puisi oleh Tunanetra, Seribu Buku untuk Tunanetra", telah menginspirasi relung hati saya, untuk berbagi kasih dan berbagi ‘kenikmatan' membaca buku. Bagi saya, mungkin juga Anda, membaca buku ibarat "bersenggama" dengan inspirasi, membuat hasrat menggapai "orgasme batin" yang tak berujung. Buku membuat hari-hari menjadi begitu bermakna, menggugah, dan menyemangati hidup; tentu.

Saya ingin berbagi ‘kenikmatan' itu agar mereka bisa ‘bersenggama' dengan inspirasi. Saya tak ingin menjadi seorang utopis, yang melambungkan harapannya setinggi asa Gaius Caligula. Tak harus memaksakan kehendak, lalu jahat. Sebuah buku, tentu menjadi bermakna bagi mereka (para tunanetra) yang merasa dahaga untuk mencapai orgasme dalam membaca. Dan, angin pun berbisik...

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam
Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapmu
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga
Kudengar lirih bisikmu
Pada duka yang terbiasa
Menyimpan semua puisi
Terbang bersama; camar yang tak pernah kembali.


Manakala fisik tak lagi sempurna memproyeksikan benda ke dalam logika, maka hati dan jiwa menggantikannya dengan ketajaman logika yang sungguh dahsyat. Begitulah, kedalaman seni hanya didapatkan di dalam keindahan pikiran dan hati kita sebagai manusia...

(Syafruddin Azhar)

-------------------
Komentar anda Belum ada komentar untuk berita ini, silahkan anda memulainya Click di sini untuk mengirim komentar anda. Producted by : Tabloid Mingguan PARLE © 2007 dikutip dari:
http://www.tabloidparle.com/news.php?go=fullnews&newsid=1357

Antologi Puisi "Angin pun Berbisik": Mengukir Cinta di Kegelapan

Thursday, January 24, 2008

Sayang, Walaupun aku buta, photomu tetap menggema Terlukis pada garis tanganku Mengalun pada ruang-ruang bahuku Dan menjelmakan kehidupan Hingga Surga dan Neraka tak lagi ada, Kecuali Cinta

Irwan Dwi Kustanto (kanan) dan istrinya, Siti Atmamiah tengah membaca puisi dalam peluncuran buku kumpulan puisi "Angin pun Berbisik". (sp/fery kodrat)

Itulah bait terakhir dari puisi karya seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto (41 tahun) yang berjudul Photo. Puisi ini menjadi salah satu kekuatan dari antologi puisi Irwan dan keluarganya yang berjudul Angin pun Berbisik. Meskipun dalam kegelapan, Irwan cukup piawai mengukir bahasa cinta dengan puitis.

Buku kumpulan puisi Angin pun Berbisik tidak hanya berisi puisi-puisi yang penuh cinta, emosi jiwa, dan kegelisahan seorang Irwan. Tetapi, juga puisi-puisi kerinduan istrinya, Siti Atmamiah (41 tahun) dan kepolosan anak perempuannya, Zeffa Yurihana (11 tahun).

Setelah membaca dan mengamati seluruh puisi dalam buku ini, Profesor Melani Budianta yang mengajar Multikulturalisme, Cultural Studies, dan Teori Sastra di Universitas Indonesia, menuturkan kekuatan cinta terhadap keluarga menjadi inspirasi ketiga anggota keluarga ini untuk mengguratkannya ke dalam puisi.

Melani yang membacakan sepenggal puisi Irwan di akhir bedah antologi puisi yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (23/1) menuturkan, bagi keluarga Irwan, cinta adalah hal terpenting. Mereka tidak memandang surga atau neraka. Yang ada dalam hari mereka hanyalah cinta.

"Karena dengan cinta yang tulus inilah mereka telah memberikan surga bagi orang lain," kata Melani.

Selain Melani, diskusi bedah antologi ini juga menghadirkan sastrawan Joko Pinurbo dengan moderator M Fajrul Rahman. Menurut Melani, kalau sudah bicara cinta, tingkat estetika dari puisi begitu dalam dan indah. Harus diakui, cinta dalam keluarga ini begitu suci, sehingga puisi demi puisi yang dibuat oleh Irwan, istrinya, dan anak perempuan mereka, memiliki keterikatan cinta yang kuat.

Hal itu tercermin dari buku Angin pun Berbisik yang seluruhnya berintikan kerinduan dan kegelisahan seorang Irwan. Tidak berlebihan bila Melani menyebut antologi puisi karya Irwan memang unik dan langka karena ditulis oleh satu keluarga. Keluarga yang mempunyai talenta khusus. Irwan sebagai "penggedor" hadirnya puisi-puisi di tengah keluarganya.

Dukungan keluarga menjadi suatu bisikan cinta terhadap keluarga yang begitu kuat dan dalam. Bukan itu saja, puisi-puisi Irwan juga dinilai memiliki sinestesia, yaitu apa yang didengar berbaur dengan indra penglihatan, penciuman dan lain-lain, sehingga menghasilkan sesuatu yang unik. Tetapi sebenarnya, imajinasi pendengaran tetap menjadi yang terkuat dalam setiap bait demi bait puisinya.

Kekuatan Dialog

Sementara itu, Joko menilai, puisi-puisi karya Irwan, Siti, dan Zeffa memberikan kekuatan adanya dialog di antara mereka. Sebagai seorang istri, puisi-puisi Siti telah mengimbangi kerinduan, kegelisahan, dan cinta dari indahnya kata, simbol, bunyi, dan asosiasi puisi-puisi Irwan. Sementara puisi-puisi Zeffa merupakan karya yang mandiri, tidak terimbas sejarah hidup kedua orangtuanya.

"Saya menilai, puisi-puisi Siti lebih bersifat empati. Lewat puisinya, Siti mengajak kita untuk memiliki kesabaran dalam mengarungi kehidupan yang keras ini seperti puisi berjudul Jakarta," kata Joko.

Irwan tidak menampik kalau buku kumpulan puisi mereka didominasi oleh kerinduan terhadap sesama keluarga. Dia ditinggalkan istri dan anak-anak tercinta ke Tulangagung, Jawa Timur, untuk merawat mertuanya yang sudah tua. Sementara, Irwan tetap di Jakarta untuk menjalankan aktivitasnya di Yayasan Mitra Netra, Jakarta.

Selain kerinduan, Irwan menjelaskan, ada juga puisi yang diilhami pengalaman hidupnya yang pahit sebagai orang buta, serta puisi yang merupakan sebuah monolog yang mempertanyakan keadaan diri pada puisi Seandainya.

"Bagi saya, puisi-puisi ini sebagai alat komunikasi antara saya dengan keluarga," ujar bapak tiga anak jebolan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Filsafat Agama ini.

Buku kumpulan puisi seorang tunanetra Anginr pun Berbisik dengan 164 halaman ini terdiri dari 72 puisi karya Irwan, 27 puisi karya Siti, dan 23 puisi karya Zeffa yang dibuatnya sejak kelas 3 sekolah dasar. Setelah bedah antologi Angin pun Berbisik, buku itu pun diluncurkan yang disertai pembacaan puisi oleh Rieke Dyah Pitaloka, Jodhi Yudono, Dewi Lestari, Joko Pinurbo, dan Melani Budianta. [F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 24 Januari 2008 Dikutip dari:
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/antologi-puisi-angin-pun-berbisik.html

Mewarnai Mata Melukis Langit

Ditulis pada Januari 29, 2008 oleh rusdi mathari

Maka bayangkan sepasang mata yang pernah melihat aneka warna kembang tiba-tiba tak bisa melihat apa pun selain gelap dan pekat. Bayangkan sepasang mata yang belum pernah melihat indah sinar matahari dan warna pelangi. Bayangkan ketika orang-orang buta itu berusaha untuk tak menjadi beban orang lain. Bayangkan…Oleh
Rusdi Mathari

MEMASUKI halaman sebuah kantor di ujung jalan di sudut wilayah Jakarta Selatan, saya seolah disergap dunia yang luar biasa. Ketika masuk ke dalam kantor dua lantai itu, pemandangan yang tak pernah saya lihat sebelumnya semakin tegas ditangkap oleh mata. Sebuah pemandangan yang saya rasakan seolah hadir mengejek saja atau mungkin malah sedang mengajarkan agar saya lebih menghormati manusia dan menghargai hidup. Saya mungkin memang kampungan.

Di lantai bawah di ruangan tengah, saya melihat anak-anak berseragam SMU laki-laki dan perempuan belajar mengetik menggunakan sepuluh jari. Beberapa teman mereka mengetik sedang di komputer. Sebagian yang lain tampak mengambil air wudu dan bersiap mendirikan salat asar. Bambang Basuki Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra terlihat berdiskusi dengan beberapa orang dan sedang menyusun surat. Di ujung ruangan di lantai bawah, Irwan Dwi Kuntoro yang menjadi wakil Basuki asyik membaca buku. Di lantai atas, Aria Indrawati Humas Yayasan, sedang sibuk melayani wawancara seorang reporter stasiun televisi.

Mereka semua, orang-orang yang beraktivitas di kantor itu tak bisa melihat seperti manusia kebanyakan yang dilengkapi sepasang mata yang awas. Namun di kantor itu, di dalam dan di luar ruangan, puluhan orang tunanetra itu bukan hanya sanggup berjalan-jalan, lincah menapaki anak tangga, keluar masuk ruangan tanpa alat bantu apa pun –tak juga dibantu oleh tongkat seperti yang biasa digunakan oleh kebanyakan orang buta—dan lalu tak terbentur atau membentur apa pun melainkan juga sedang berusaha untuk tidak tergantung pada orang lain. "Mereka sebelumnya sudah melakukan orientasi pengenalan ruang," kata Aria. Itulah kantor

Yayasan Mitra Netra, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan sejak 1991 untuk upaya peningkatan kualitas dan partisipasi para tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Di yayasan itu, setiap tunanetra bukan saja dididik untuk tidak tergantung kepada orang lain, melainkan juga dibangkitkan semangat dan potensinya bahwa mereka juga berguna dan tidak sia-sia. Mereka dilatih, diajarkan, dibangkitkan semangatnya agar tidak menyesali hidup dan yang lebih penting bisa setara dengan orang yang memiliki penglihatan awas.

Ada enam program yang dikerjakan oleh organisasi itu yaitu rehabilitasi, pendidikan, informasi komunikasi, tenaga kerja, penelitian dan pengembangan, dan publikasi. Untuk rehabilitasi mereka menyediakan konseling dengan konselor sesama tunanetra, pelatihan orientasi dan mobilitas, dan pelatihan membaca dan menulis Braille. Ada pun untuk pendidikan, ada layanan pendampingan, kursus kemandirian, dan perpustakaan. Di bidang informasi komunikasi, ada produksi buku untuk tunanetra dalam bentuk buku Braille, perpustakaan online, internet dan milis.

Sementara untuk bidang tenaga kerja, yayasan memberikan bimbingan karir, mengembangkan model peluang kerja alternatif, dan melakukan promosi. Lalu untuk penelitian dilakukan penelitian teknologi yang berguna bagi tunanetra, dan di bidang publikasi menyelenggarakan pameran, diskusi dan sebagainya. Sarana penunjangnya juga cukup lengkap, mulai dari komputer, studio, hingga alat-alat lain yang semuanya bisa digunakan oleh penyandang tunanetra.

Saya lalu duduk terpaku di sudut ruangan tengah sesudah menyaksikan semua "pemandangan" itu , di samping seorang pelajar SMU yang sibuk belajar mengetik dengan 10 jari. Kerongkongan saya tiba-tiba menjadi sesak bagai diguyur air yang dituangkan sangat deras. "Oke mas Rusdi, pak Irwan sudah siap diwawancara," sapa seorang perempuan, staf kantor yang tidak buta membuyarkan lamunan. Kedatangan saya ke kantor itu pada Jumat sore minggu silam memang bermaksud menemui dan berbincang dengan Irwan, yang dua hari sebelumnya meluncurkan antologi puisi berjudul Angin pun Berbisik. Buku itu berisi kumpulan puisi yang ditulis oleh Irwan, Siti Atmamiah dan Zeffa Yurihana. Dua nama terakhir adalah istri dan anak sulung Irwan dan keduanya bisa melihat (bukan tunanetra). Dua hari sebelumnya, keluarga itu membacakan puisi-puisi mereka di Gedung Kesenian Jakarta. Irwan antara membaca puisi berjudul Seandainya.

"…Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari/Melukis langit/Memahat lembah/Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala?Seandainya aku….tetapi kau hanyalah seorang buta!"

"Silakan duduk Mas," kata Irwan memulai perkenalan. Saya lantas duduk di sebelahnya, pada sebuah sofa berlapis imitasi berwarna hijau tua. Saya mencoba menatap Irwan dan dari bentuk matanya yang terlihat seperti bukan tunanetra Irwan tampak juga sedang berusaha menatap saya. "Saya dapat melihat mas Rusdi tapi hanya dalam bentuk bayangan, tidak detil, hanya putih semua," kata Irwan.

Kisah Irwan adalah cerita tentang ketegaran dan kesedihan. Kedua mata Irwan sebenarnya sempat melihat layaknya manusia kebanyakan hingga dia berumur 9 tahun. Suatu hari ketika sedang mengikuti pelajaran di sekolahnya di SD 08 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Irwan merasa semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Tidak ada tanda, tak ada isyarat, semuanya terjadi begitu saja. "Sekarang saya hanya sempat mengingat beberapa warna yang kali terakhir saya lihat," kata Irwan.

Irwan sejak itu menjalani hidup pada sebuah dunia yang sama sekali tak pernah dia bayangkan meskipun dia bisa menyelesaikan semua jenjang pendidikan formalnya dari SD-SMA. Namun itu pun antara lain karena mengandalkan indra pendengaran dan dibantu orang lain. Misalnya ketika guru mengajar, Irwan dengan serius menyimaknya atau jika ada bahan ajar yang harus dibaca, dia meminta bantuan teman atau saudaranya untuk membacakannya. Irwan hingga masa itu masih sanggup menulis meskipun bentuk tulisannya sudah tak keruan dan harus dibaca dengan penuh kesabaran, karena kadar kebutaan matanya tak terlalu parah. Lulus SMA daya penglihatan Irwan semakin kecil. Tak terhitung sudah upaya keluarganya untuk mengobati penglihatan Irwan. Mulai dari berobat secara media, pengobatan alternatif hingga paranormal. Tapi indra penglihatan Irwan semakin meredup dan akhirnya tak bisa melihat apa pun kecuali semuanya terlihat oleh Irwan hanya dalam bentuk siluet. Dia lalu memutuskan untuk belajar mengetik sepuluh jari dari sebuah yayasan bernama Panti Sosial Bina Netra Jakarta Selatan.

"Harga diri saya tinggi dan saya tak mau bergantung pada orang lain," kata Irwan. Persoalan mulai muncul pada saat Irwan kuliah di IKIP Muhammadiyah Jakarta pada Jurusan Filsafat Pendidikan pada 1987 bersamaan dengan tingkat kebutaan matanya yang semakin parah: dia tak sanggup mengikuti ujian semester layaknya mahasiswa lain. Irwan sebenarnya berusaha meyakinkan para dosennya agar bahan ujian itu dibacakan dan dia akan menuliskan jawaban di mesin ketik. Namun kampus itu malah memutuskan mengeluarkan Irwan sebagai mahasiswa. "Alasannya seorang guru tidak boleh buta," kata Irwan, mengulang pernyataan yang dikeluarkan pihak IKIP Muhammadiyah.

Di tengah kemarahan dan kesedihan karena merasa diperlakukan tak adil, Irwan berkat bantuan seorang teman kemudian diterima melanjutkan kuliah di IAIN Syarif Hiyatullah (sekarang Universitas Islam Negeri Jakarta, Red). Di kampus itulah Irwan lalu mengenal Yayasan Mitra Netra dan juga Atmamiah istrinya. Dia sering didampingi dan dibantu terutama dalam pengadaan alat-alat belajar seperti kaset untuk merekam, sementara Atmamiah membantu membacakan bahan kuliah. Dari kampus itulah, Irwan lalu lulus sebagai sarjana filsafat. "Saya mengerjakan skripsi selama dua tahun dan harus mendengarkan ratusan rekaman kaset," kata Irwan yang kini melanjutkan kuliah S2 pada kampus yang sama. Nasib yang kurang lebih sama dengan Irwan juga dialami oleh Aria yang mengalami kebutaan sejak berusia 2 tahun. "Saya masih bisa melihat tapi harus dari jarak dekat itu pun hanya dalam bentuk cahaya," kata Aria dengan senyum.

Sempat dulu, Irwan mengaku marah kepada Tuhan karena tidak tahu kesalahan dan dosa yang telah dibuatnya hingga matanya dibuat menjadi tidak awas. Belakangan Irwan mengaku memahami bahwa kecacatan fisiknya punya hikmah tersendiri antara lain menurut Irwan agar bisa mendidik para orang buta yang lain agar tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya dikeluarkan dari bangku kuliah.

Pada halaman ucapan terima kasih di buku ini, ada sebuah tulisan Irwan yang menarik. "Tatkala masa fisikku tak lagi sempurna dan memproyeksikan benda-benda ke dalam otak dan pikiranku maka hati dan jiwaku menggantikannya dengan ketajaman penglihatan yang sungguh dahsyat. Begitulah aku dihadiahkan oleh Tuhan dan alam kasih sayang melimpah, aku dibiarkan untuk mengenali diri-Nya dengan caraku sendiri; cara yang menurut banyak orang menggelikan bahkan terkadang menyedihkan."

Dalam perjalanan pulang dari kantor itu, di atas jok sepeda motor, saya lalu merasa malu. Mereka, orang-orang buta itu berusaha menghasilkan karya agar orang-orang yang awas bisa juga menikmatinya. Sementara orang-orang yang kedua matanya sanggup melihat seperti saya, hanya menghasilkan karya untuk orang-orang yang awas, atau bahkan tidak.

Dikutip dari:
http://rusdimathari.wordpress.com/2008/01/29/mewarnai-mata-melukis-langit/#more-360

Angin Pun Berbisik: Antologi Cinta Tiga Manusia

Kamis, 24-01-2008 16:14:35
Oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa


Angin Pun Berbisik: Antologi Cinta Tiga Manusia Tanggal 23 Januari 2008 kemarin, Gedung Kesenian Jakarta menjadi saksi keagungan cinta. Cinta yang menghasilkan sebuah buku puisi pertama karya seorang tunanetra beserta istri dan anaknya. Cinta yang berasal dari teman-teman yang sibuk membantu mewujudkan terbitnya buku kumpulan puisi "Angin Pun Berbisik", serta yang memberikan semangat dalam merangkai peluncuran buku dengan serangkaian pertunjukan seni.

Perayaan peluncuran karya puisi pertama seorang tunanetra Indonesia yang dibukukan ini di dahului dengan bedah buku oleh guru besar sastra Universitas Indonesia Melani Budianta, penyair dari Yogyakarta Joko Pinurbo, dengan moderator M. Fajrul Rahman.

Buku antologi puisi ini adalah sebuah karya yang unik karena merupakan kumpulan komunikasi cinta ayah, ibu, dan anak. Sangat jarang ada satu keluarga yang bersama-sama berbagi puisi, apalagi sang kepala keluarga memiliki penglihatan yang berbeda. Saya beruntung dapat turut serta mengikuti bedah buku karya Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana ini. Beberapa puisi yang sulit tercerna bagi awam menjadi tersibak kedalaman artinya, sementara banyak hal yang mencerahkan terkuak dalam sayatan pisau para kritikus puisi dan kesaksian sang penulis sendiri.

Sepertinya kedua pembicara dalam bedah buku ini sepakat bahwa masing-masing dari penulis buku antologi puisi ini menggambarkan hal yang sangat spesifik. Irwan Dwi Kustanto, yang memiliki masalah penglihatan sejak berumur 9 tahun (kelas 3 SD) sebelum menyadari kebutaan yang dialaminya tatkala sudah di kelas 6 SD, banyak menggambarkan kegelisahan dan rintihan tentang kehidupannya. Siti Atmamiah sebagai pendamping sangat erat menyiratkan empati dan kemampuannya memahami suara-suara di sekelilingnya, suara suami dan suara anaknya. Kesabaran dalam menghadapi proses kehidupan terbayang tegas dalam untaian puisinya. Zeffa Yurihana, sang anak, yang mulai menulis sejak kelas 3 SD sekarang sudah duduk di bangku kelas 6 SD dan menunjukkan bakat yang sangat besar dalam berpuisi, dan memberikan kesan imajinasi anak yang bebas dan bahkan sudah mampu secara tidak sadar memasuki bahasa pemaknaan yang transendental.

Siti Atmamiah memang memiliki latar belakang menyenangi puisi. Dia sering membantu membacakan buku bagi Irwan ketika mereka kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahkan Siti Atmamiah pernah memenangkan lomba cipta puisi di kampus pada tahun 1990. Kesenangan Siti pada puisi membuat Irwan menorehkan kata-kata puitis sebagai bagian dari pendekatannya kepada Siti. Lembar-lembar puitis ini ternyata disimpan Siti dengan sangat rapih sehingga ikut mewarnai isi buku antologi puisi ini.

Ketika kesehatan anak dan keperluan karier suami harus membentangkan jarak di antara keluarga, maka kata-kata puitis menjadi wacana komunikasi di antara mereka. Semua terkumpulkan dari lembar-lembar surat, potongan isi SMS,catatan komputer maupun isi buku harian, dan terciptalah komunikasi cinta mereka. Jarak Jakarta dan Tulung Agung tidak menjadi pemecah keharmonisan mereka melainkan menjadi jalinan komunikasi yang lebih intens.

Seni bukan lagi milik kelompok elitis tapi sudah berubah menjadi seni publik kata Melani Budianta. Dan ketika FX Rudy Gunawan (penulis) dan Jamal D. Rahman (PemRed Majalah Horison) mengatakan bahwa lembar-lembaran yang tergores dari ungkapan hati itu adalah puisi, maka sejak dua tahun lalu tercipta sebuah impian untuk menghadirkannya sebagai sebuah buku tempat Irwan dan keluarga membagikan sudut pandang mereka dalam memandang dunia bagi masyarakat umum.

Perwujudan impian ini sekaligus untuk merupakan penguat untuk mendukung gerakan seribu buku bagi tunanetra. Dengan membeli satu buku antologi ini berarti anda telah berbagi satu buku Braille bagi tunanetra. Kekayaan yang diperoleh dari buku masih merupakan kemewahan bagi saudara-saudara yang memiliki kekurangan pada indra penglihatannya. Buku yang tersedia dalam huruf Braille masih sangat kurang, karena itu gerakan seribu buku untuk tuna netra menjadi bantuan besar untuk memperkaya horizon pandang mereka.

Mengakhiri acara bedah buku kemarin pasangan Melani Budianta dan Eka Budianta memberikan buku mereka yang tercetak dalam huruf Braille berjudul "Titik Tanpa Batas". Alangkah indah bila acara peluncuran buku yang didukung oleh Yayasan Mitra Netra, Perkumpulan Seni Indonesia, serta Voice of Human Rights (VHR) News Centre ini pada akhirnya mampu menggaungkan juga bisikan angin yang meminta kepedulian kita terhadap buku-buku dalam tulisan Braille. Berharap semoga semakin banyak yang bisa menuturkan perjalanan anak manusia yang jejaknya tersibak oleh huruf, seperti yang terucap oleh Irwan Dwi Kustanto: "Saya hanyalah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu". Jejak-jejak yang semoga terbaca juga oleh mereka yang memiliki indera penglihatan yang berbeda. Dikutip dari:
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=6078

RADAR TULUNGAGUNG, Kamis, 10 Apr 2008

Senin, 24 Mar 2008
Zeffa Yurihanna, Sastrawan Cilik Tulungagung yang Baru Luncurkan Buku Puisi di Gedung
Dikagumi si Oneng, Diundang sebagai Tamu Kick Andi
Bakat menulis puisi Zeffa Yurihanna, 12, terlihat sejak kelas 3 SD. Bersama ayah dan ibunya, siswi MI Al Azhaar, Kecamatan Bandung, Tulungagung, ini barusan
menerbitkan buku antologi sajak cinta dengan judul eAngin Pun Berbisikf.

Destyan Sujarwoko, Ratu
---

Banyak orang lalu lalang
Bertukar uang bertukar barang
Tidak pernah tidur
Selalu ramai sekali
Pasar
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tidak ada yang menjual senyum,
Sedihnya


Rangkaian puisi bertema sosial itu merupakan salah satu karya Zeffa Yurihanna, 12. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Irwan Dwi Kustanto, 41 dan Siti Atmamiah, 42, yang kini tinggal di Desa/Kecamatan Bandung, Tulungagung. Tidak sulit menemukan rumah keluarga sastrawan ini. Begitu masuk kompleks MI Al Azhaar, Radar Tulungagunglangsung menuju rumah di belakang masjid.

Suasananya tampak asri dengan saung (semacam rumah gubuk menyerupai pos kampling, red) di depannya. Saat itu Zeffa tengah asyik bermain. Gayanya terkesan cuek. Apalagi jika ketemu dengan orang yang belum dikenalnya. Mungkin karena dia malu, atau memang karakter unik seorang anak yang memiliki bakat seniman telah mengendap dalam dirinya.

Sekilas, orang tidak akan pernah menyangka jika Zeffa memiliki bakat di bidang sastra. Terutama dalam hal menulis puisi. Prestasi spektakuler dibidang ini juga belum pernah diraih Zeffa.

Tapi, di balik penampilannya yang biasa itu, sejumlah sastrawan dan selebriti nasional pernah menyampaikan rasa kagumnya atas rangkaian kata-kata puisi buatan Zeffa. Sebut saja Dyah Rieke "Oneng" Pitaloka, sastrawan Joko Pinurbo hingga kolumnis Fajrul Rahman dan masih banyak lagi. Mereka bahkan saling berebut ingin membacakan karya sastra Zeffa saat peluncuran antologi karya sastra mereka di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 23 Januari lalu.

Bahkan Andi F Noya, pengasuh acara Kick Andi sempat mengundang Zeffa dan keluarganya secara khusus untuk tampil dalam talkshow yang dia pandu pada pertengahan Februari lalu. "Ini merupakan karya sastra pertama yang dibuat tiga orang dalam satu keluarga sekaligus di Indonesia," tutur Irwan menjelaskan.

Antologi karya sastra itu telah mereka siapkan sejak setahun lalu. Selain memuat kumpulan sajak-sajak puisi buatan Irwan, karya puisi yang bikinan istrinya Siti Atmamiah dan anak pertamanya Zeffa Yurihanna juga ikut dilibatkan.

Dalam buku ini Zeffa menyumbang sekitar 30 karya puisi yang ditulisnya sejak tahun 2004 hingga sekarang. Tidak disangka, buah tangannya justru paling banyak mendapat pujian dari teman-teman sastrawan di Indonesia," kenang wakil direktur yayasan Mitra Netra, Jakarta ini bangga. Hasil penjualan antologi buku tersebut, rencananya akan disumbangkan untuk membuat buku braile untuk masyarakat tuna netra di Indonesia melalui yayasan Mitra Netra yang dikelola Irwan.
"Saat rencana gerakan seribu buku untuk tuna netra ini dilontarkan ayahnya, Zeffa mengaku sangat ingin berpartisipasi. Dia ingin menyumbang melalui keahlian yang dimilikinya," tutur Siti Atmamiah menimpali.

Bakat Zeffa sendiri sbenarnya muncul sejak masih kecil. Dia banyak belajar dari budaya menulis dan membaca puisi yang dilakukan ayah dan ibunya saat berkumpul di rumah mereka di desa/Kecamatan bandung. Irwan menuturkan, Zeffa biasanya hanya mendengar sambil sekali-sekali ikut membacakan puisi untuk ayahnya saat menulis di internet. Maklum, sang ayah tidak biasa membaca langsung karena keterbatasan penglihatan.

Tidak disangka, kebiasaan itu diserapnya dengan baik. Kami justru baru tahu bakat Zeffa saat duduk dibangku kelas 3. dia sering menulis puisi yang kemudian dipamerkan pada ayahnya saat pulang ke Tulungagung," lanjut Atmamiah.

Berbeda dengan ayahnya yang lebih suka menulis puisi tentang kritik sosial-politik, atau ibunya yang lebih suka menulis puisi bertema cinta, Zeffa memiliki karakter tulisan berbeda. Sejumlah sastrawan yang pernah mengupas puisi keluarga sastrawan ini, puisi Zeffa lebih berkarakter sosial-lingkungan anak. Lihat saja beberapa tulisan puisinya seperti alam; anak gembala, angin; bintang-bintang; ibu ataupun seorang anak. Semua dibikin sangat apik dengan karakter tulisan yang dalam dan memiliki makna filosofis kuat meski dibungkus dengan kalimat yang sederhana. (distain)

Melihat Dengan Hati Melalui "Angin Pun Berbisik" (Sebuah Apresiasi)

Feb 4, '08 3:01 AM
Oleh Lia Octavia

Dengan karunia indera pada manusia dari Sang Maha Pencipta, salah satunya indera penglihatan, merupakan nikmat yang tiada taranya, karena melalui indera
penglihatan inilah, seorang manusia melihat dunia, yang salah satunya dengan membaca buku. Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengalami gangguan penglihatan
hingga kebutaan pada mata mereka? Apakah mereka juga dapat melihat dunia melalui buku, yang dikenal sebagai jendela dunia?

Antologi puisi "Angin Pun Berbisik" Kumpulan Sajak Cinta yang ditulis oleh seorang tunanetra yaitu Irwan Dwi Kustanto beserta keluarganya telah membuktikan
bahwa kehilangan indera penglihatan pada mata bukan berarti kehilangan indera penglihatan pada hati. Melalui hatinya, ia menulis sajak-sajak indah di dalam
buku ini dan untuk pertama kalinya, buku ini diluncurkan di Gedung Kesenian Jakarta, 23 Januari 2008 dengan dihadiri oleh para penyair, seniman dan sastrawan
besar, diantaranya Joko Pinurbo, Melani Budianta, Rieke Dyah Pitaloka, M. Fajrul Rahman serta seorang pianis, komponis dan composer, pimpinan Skolastika
Ansambel, yaitu Marusya Nainggolan beserta para seniman lain yang sangat berbakat dengan penampilan mereka yang luar biasa pada acara tersebut.

Angin Pun Berbisik ditulis dalam kurun waktu tiga tahun, sebagian besar pada 2004-2007. Irwan bercerita tentang rindunya, sebuah perasaan yang timbul akibat
sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya dan cinta yang paling agung, dalam bait-bait sajaknya yang berjudul Angin Pun Berbisik I:

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam

Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapnya
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga


Juga tentang penantiannya pada belahan jiwanya dalam Angin Pun Berbisik 3:

Semenjak tangismu meranum
Dari sayap kupu-kupu itu
Bertaburan rindu
Rinduku yang dulu
Yang kau tabur di atas ilalang
Mengering bagai mimpi
Di antara hadir dan pergimu
Berjuta debur gelombang hati
Berbisik pada angin
Lalu kepada bayangmu, di sini daku menunggu


Serta pernyataan cintanya pada istrinya, Siti Atmamiah, yang juga menuliskan puisi-puisinya dalam antologi ini, di dalam puisi yang berjudul Cintaku Padamu,
yang ditulisnya di Kuta Bali:

...
Rinduku padamu
Adalah bunga bakung
Yang selalu asyik
Menanti embun setiap pagi
Setiap tetes yang setia
Pada nyaring gemanya
Untuk bertemu
Dipermukaan tanah dan menyatukan kembali
Sungai-sungainya yang pernah hilang
Mencari matahari berabad-abad
Dan kini
Basah oleh setetes jiwa
Yang berharap dipersatukan
Dalam sebuah gerimis kecil
Ketika senjamu meninggalkan pure-pureku

Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya

Simbol-simbol yang sederhana yang digunakan Irwan yang sederhana memberi ruang pada kita dalam pemaknaan subyektifitas pembacanya. Seperti puisi-puisinya
yang bertutur tentang "bunga" dan luka:

Sayangku, ingatlah pada saatnya, sirnalah segala
Walau puisi, waktu dan doa telah berwujud bunga
("Bunga")

Jangan kau patahkan kembang turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menghisap embun
Biarkan rahasianya tersimpan pada kuncupnya
Yang malu-malu untuk mekar
("Bunga Turi")

Tak ada duka pada pelupuk mawar yang disentuh perempuan
Karena tangis baginya hanyalah keindahan yang tersembunyi
("Bunga Mawar")

Pernyataan kerinduannya sebagai seorang lelaki, pada Sang Cinta, pada manusia, pada kampung halaman, terajut indah dalam Luka Seorang Lelaki:

Luka seorang lelaki adalah rembulan
Yang purnamanya gelisah
Meredup
Menyembunyikan wajahnya pada awan
Merintih lirih
Senyap
Mengapa?
Yah, karena sepi memanggil
Karena rindu menderu
Dan karena cinta melanda

Lalu dalam Cintaku, yang merupakan penuturan cintanya pada Sang Maha Pencipta:

Takkan ada cinta yang lebih indah
Bagiku; orang buta
Ditutupi biru langit rindunya
Kepada butiran gerimis di senja itu

Takkan ada cinta yang lebih dalam
Bagiku; orang buta
Disimpan erat-erat sajaknya
Yang bimbang diucapkannya; langit kepada gerimis

Takkan ada cinta yang lebih suci
Bagiku; orang buta
Direlakannya apa yang terlihat di langit
Disimak rintik-rintik gerimis senja itu


Juga tentang cerita cintanya pada putrinya yaitu Zeffa Yurihana, dalam Dongeng:

Pada zaman dahulu kala
Tatkala istana raja menjadi batu
Kita bersembunyi di balik ibu
Mencari langit berkumpul awan
Dan tiba-tiba sepi di hadapan
Akhirnya,
Menua kita di balik reruntuhan cerita dongeng


Dan dalam Bulan:

Ketika putri kecilku melihat bulan berendam
Pada sungai di atas jembatan itu
Bisik lirih padaku
Papa, mengapa bulan mandi tengah malam?
Wajahnya nampak sedih
Apakah mamanya tak mencari?
Aku ingin mengajaknya bermain
Tapi ini tengah malam, sahutku
Bolehkah kubawa serta tidur?, rajuknya
Biar besok pagi kan dijemput mama matahari


Serta pesan cinta seorang ayah kepada putrinya dalam Surat Kepada Zeffa 2:

Untuk itu sayangku
Semua yang datang padamu adalah indah
Tentu, jika kau mau mendengarkannya dengan hatimu
Dan cinta yang menyambutnya


Dan memang semua yang datang adalah indah, kala Irwan melihat dunia dengan hatinya, bahwa kebutaan pada matanya bukan berarti kebutaan pada mata hatinya,
dan merangkai keindahan itu dalam sajak-sajaknya, seperti yang dituliskannya pada kata pengantar buku antologi puisi ini:

"Kedalaman sebuah seni hanya didapatkan di dalam keindahan pikiran dan hati kita sebagai manusia."

Dan berbahagialah mereka yang mencintai hidup dan kehidupan melalui keindahan hati.

Jakarta, 26 Januari 2008 at 10.00 a.m
Exclusively written for komunitas Sekolah Kehidupan with lots of love

Catatan penulis: Sebagian penjualan buku antologi puisi "Angin Pun Berbisik" akan didedikasikan guna membiayai gerakan "Seribu Buku Untuk Tuna Netra".
Gerakan ini bertujuan guna mempermudah tuna netra mendapatkan akses ke dunia literasi.

Dikutip dari:
http://mutiaracinta.multiply.com/journal/item/99/Melihat_Dengan_Hati_Melalui_Angin_Pun_Berbisik_Sebuah_Apresiasi

Angin Pun Berbisik

January 24, 2008
By: Angga Haksoro Ardhi

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam
Kudengar lirih bisikmu

Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapnya
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga
Kudengar lirih bisikmu

Pada duka yang terbiasa
Menyimpan semua puisi

Terbang bersama; camar yang tak pernah kembali

Ini merupakan satu dari 126 puisi buah “rindu” dan cinta yang luas pada kehidupan dari ayah, ibu, dan anak (Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa
Yurihana) dalam buku kumpulan sajak cinta Angin Pun Berbisik.
Dalam buku yang menurut pengakuan Siti Atmamiah merupakan buah saling rindu antara Ayah, Irwan Dwi Kustanto, yang tinggal di Jakarta jauh dari keluarganya,
jelas tergambar bagaimana cinta antara ayah, ibu, dan anak begitu murni, agung, dan niscaya.
Keterbatasan fisik Irwan Dwi Kustanto sebagai tunanetra tidak membatasi kreativitasnya dalam menelanjangi makna yang tersirat melalui kata. Kehilangan kemampuan
melihat justru membuat Irwan sanggup menajamkan kepekaannya terhadap rasa, sehingga mampu menemukan duka dalam gerimis yang mengetuk pintu dan suka dalam
bunga yang berdansa.
Membaca buku ini kita serasa diajak turut serta dalam dialog meja makan sebuah kelurga yang begitu akrab dan hangat. Cinta dan perasaan diungkapkan satu
sama lain, bersahut-sahutan dalam pilinan kata yang diracik menjadi puisi. Seperti sajak Siti Atmamiah berikut yang seakan menyambut sayatan rindu sang
suami.
Di ujung jalan itu aku menanti

Gadis berambut panjang
Matanya yang sayu
Tak mungkin lupa
Menatap tetes embun jatuh
Pada jemarinya yang putih akan cahaya rembulan
Di ujung jalan itu

Gadis dalam lukisan mimpiku
Belum juga kembali
Mungkin tersesat
Ketika mencari jalan pulang
Ataukah kakinya terluka?

Saat menjejak batu cadas
Di ujung jalan itu
Aku tak lelah menanti


©2008 VHRmedia.com
dikutip dari:
http://kacangpanjang.wordpress.com/2008/01/

Makna Senja

Minggu, 27 Januari 2008 | 17:57 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:

...
Luka seorang lelaki adalah senja
Yang temaramnya menjerit lirih
...

Puisi berjudul Luka Seorang Lelaki itu adalah karya Irwan Dwi Kustanto, seorang penyandang tunanetra. Bersama sejumlah puisi lain, puisi itu dikumpulkan
dalam buku Angin pun Berbisik. Antologi puisi itu diluncurkan sekaligus didiskusikan di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu lalu.

Dalam puisi-puisi di buku ini, pria berumur 42 tahun ini mencoba memaknai apa yang dialaminya dengan caranya sendiri, antara lain senja. Irwan menggambarkan
senja dalam bentuk bunyi atau suara, yang merupakan salah satu sarana bagi tunanetra untuk berinteraksi.

Hal yang sama ditemui pada puisi-puisinya yang lain. Salah satunya adalah Rinduku padamu.

...
Rinduku padamu: Semerbak mawar
Tak terurai walau merah kelopaknya menggema
Tak terserap walau wanginya menebar
...


Menurut penyair Joko Pinurbo, yang menjadi pembicara dalam bedah buku tersebut, asosiasi yang dihadirkan Irwan dalam sajak-sajaknya memiliki kekhasan sendiri.
"Ia memiliki kejujuran yang butuh keberanian mental. Padahal banyak penyair lain yang menyembunyikan perasaannya," kata Joko.

Puisi Rinduku padamu, kata Joko, menunjukkan bagaimana hal yang bersifat individual bisa jadi penerangan bagi orang lain.

Irwan mengakui puisi-puisinya berangkat dari pengalaman pribadi. "Saya hanya mengungkapkan apa yang saya rasakan," ujar ayah tiga putri ini. "Hidup ini
indah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya," ujarnya.

Pengalaman hidup Irwan yang tidak bisa melihat sejak usia 9 tahun terbilang cukup menyedihkan. Tidak jarang ia mendapat perlakuan kasar dari orang lain.
Salah satunya adalah ketika ia dikeluarkan dari tempat kuliahnya di sebuah kampus yang mendidik calon guru di Jakarta. Alasannya, calon guru tidak boleh
cacat.

Tak menyerah begitu saja, Irwan kemudian melanjutkan kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana dari Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Besarnya perhatian teman-temannya membuat Irwan semakin kuat. "Saya punya sahabat yang suka membacakan buku untuk saya," ujarnya.

Selain puisi-puisi Irwan, buku setebal 164 halaman itu juga memuat puisi karya istrinya, Siti Atmamiah, 42 tahun, dan putri sulungnya, Zeffa Yurihana, 11
tahun. Karya Zeffa juga cukup menarik. Lihat saja puisi Pasar yang merupakan metafora terhadap kondisi pasar.

...
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tidak ada yang menjual senyum,
Sedihnya...


Zeffa mengaku ayahnyalah yang mengajarinya menulis puisi. Puisi yang ditulisnya ketika berusia 9 tahun tersebut merupakan apa yang ditemuinya ketika pergi
ke pasar bersama ibu. "Ayah mengajarkan untuk menulis apa yang ada di hati dan apa yang dirasakan," ujar siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Azhar Bandung,
Tulungagung, ini.

Menurut akademisi sastra Melani Budianta, puisi Pasar itu memberikan kita suatu pelajaran berarti: pasar yang merupakan tempat sosial telah kehilangan nilai
sosialnya. "Semuanya hanya didasarkan pada kepentingan," ujarnya.

Seusai bedah buku, malamnya sejumlah acara seni ditampilkan untuk menandai peluncuran buku itu. Ada kolaborasi Irwan dengan pianis Marusya Nainggolan, pertunjukan teater, pembacaan puisi oleh Rieke Dyah Pitaloka, Joko Pinurbo, dan Zefra, serta musikalisasi puisi oleh mahasiswa tunanetra.

TITO SIANIPAR
dikutip dari:
http://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2008/01/27/brk,20080127-116309,id.html

Sebait Puisi Dari Tunanetra, Seribu Buku Untuk Tunanetra

Jakarta 23/1. Yayasan Mitra Netra (YMN), bekerja sama dengan Voice of Human Rights (VHR), Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) dan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, meluncurkan antologi puisi karya seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto dan keluarganya, bertajuk Angin Pun Berbisik, bertempat di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Acara ini diselenggarakan untuk memperingati hari Braille yang jatuh pada 4 Januari, serta dua tahun gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra (30 Januari). Sebagian hasil penjualan antologi puisi ini akan digunakan untuk membiayai sosialisasi gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, serta produksi dan distribusi buku bagi kelompok yang punya hambatan penglihatan ini di Indonesia.

Acara diawali dengan diskusi bedah buku Angin Pun Berbisik, yang menghadirkan guru besar sastra Universitas Indonesia Melani Budianta, penyair dari Yogyakarta Joko Pinurbo, serta Irwan Dwi Kustanto, penulis.

Peluncuran antologi ini ditandai dengan dialog antara puisi dan musik, yang dipresentasikan oleh Irwan Dwi Kustanto & Siti Atmamiah (penulis), berkolaborasi dengan Marusya Nainggolan – pianis yang juga menjabat sebagai direktur GKJ, beserta skolastika ansambel. Usai dialog puisi dan musik yang berlangsung kurang lebih limabelas menit ini, Irwan sang Penulis kemudian menyerahkan cenderamata berupa puisi dalam bingkai, yang dicetak baik dalam huruf Braille maupun huruf biasa kepada beberapa tamu undangan kehormatan.

Menyertai peluncuran antologi ini, serangkaian pertunjukan seni, baik musik, teater serta pembacaan puisi digelar di atas panggung GKJ. Diawali dengan pentas teater Meldict (Melihat Dengan Ilmu dan Cinta); sebuah kelompok teater yang beranggotakan siswa dan mahasiswa tunanetra; serta pembacaan puisi oleh para seniman seperti Dewi Lestari, Joko Pinurbo, Rieke Diah Pitaloka, dan Zeffa Yurihana – siswa kelas 6 SD yang juga salah seorang penulis dalam antologi Angin Pun Berbisik. Musikalisasi puisi juga mewarnai panggung GKJ, yang masing-masing disajikan oleh Riko & Dody – mahasiswa tunanetra --, Endah & Reza – pasangan yang belakangan ini mulai melahirkan album indi mereka --, serta Jodhi Yudono – seniman yang juga wartawan --.

Angin Pun Berbisik adalah antologi puisi pertama di Indonesia yang disusun oleh sebuah keluarga. Irwan Dwi Kustanto (ayah), Siti Atmamiah (ibu) dan Zeffa Yurihana (anak), selama beberapa tahun telah menuangkan pikiran dan perasaan mereka dalam kata-kata indah berupa puisi.

"Sejujurnya saya bukanlah penyair Angin Pun Berbisik adalah kata-kata yang saya coba kumpulkan untuk mengekspresikan perasaan, hasrat, dan semua yang pernah tumpah karena cinta yang mengalir dari kekasih, keluarga, sahabat, alam dan mungkin, Tuhan. Angin Pun Berbisik hanyalah sebuah perjalanan anak manusia, yang jejaknya tersibak oleh huruf. Saya hanyalah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu," ungkap Irwan, sang penulis.

Seribu Buku Untuk Tunanetra.

Mitra Netra, sebuah organisasi nir laba yang memusatkan kegiatannya pada peningkatan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja,
Adalah satu dari sangat sedikit "penerbit" buku untuk tunanetra di negeri ini. Lembaga yang didirikan sejak tahun 1991 di Jakarta ini, secara konsisten telah menjadikan dirinya sebagai satu-satunya lembaga, yang secara kreatif dan inovatif mengembangkan strategi, untuk mempermudah tunanetra mendapatkan akses ke dunia literasi.

Gerakan "Seribu Buku Untuk Tunanetra" adalah salah satunya. Berawal dari keprihatinan yang mendalam atas minimnya ketersediaan buku untuk tunanetra di Indonesia, yang sangat tidak sebanding dengan pesatnya perkembangan dunia literasi dewasa ini, melalui gerakan ini, Mitra Netra mengundang masyarakat luas berpartisipasi, untuk mempercepat akses tunanetra ke dunia literasi.

Bertajuk gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra yang diluncurkan pada tanggal 30 Januari 2006, Mitra Netra mengundang penerbit dan penulis bekerja sama, dengan meminjamkan soft file buku yang mereka terbitkan. Sedangkan, kepada masyarakat luas, Mitra Netra mengundang untuk menjadi relawan, dengan membantu mengetik ulang buku-buku popular. Semua file buku baik dari penerbit, penulis maupun relawan, akan diolah menjadi file berformat Braille oleh Mitra Netra, dengan menggunakan perangkat lunak Mitranetra Braille Converter (MBC), untuk kemudian dicetak menjadi buku Braille dengan mesin Braille embosser.

Agar buku-buku tersebut dapat dinikmati oleh tunanetra di seluruh Indonesia, Mitra Netra kemudian mendistribusikannya melalui layanan perpustakaan Braille on line yang dikelolanya, www.kebi.or.id (KEBI singkatan dari Komunitas E-Braille Indonesia), yang beranggotakan para produser buku Braille di Indonesia.

Dengan partisipasi masyarakat melalui gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra telah berhasil memangkas sebagian besar waktu dan biaya yang dibutuhkan guna memproduksi buku Braille. Ini juga berdampak pada makin cepatnya tunanetra mendapatkan buku. Dalam waktu dua tahun sejak diluncurkan di tahun 2006, Seribu Buku Untuk Tunanetra telah berhasil menghimpun 521 file buku, baik dari relawan, penerbit dan penulis,-- 80 % di antaranya dari relawan --, yang secara bertahap sedang diolah menjadi buku Braille.

Melalui gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra juga bermaksud mendorong Pemerintah, agar nantinya dapat melahirkan kebijakan, yang memenuhi kebutuhan khusus tunanetra di bidang literasi.

Agar gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra ini dapat terus berjalan dan makin diketahui oleh kalangan yang lebih luas, perlu dilakukan sosialisasi secara terus-menerus. Dan, dalam rangka mendukung sosialisasi ini, Mitra Netra, melalui kerja sama dengan Voice of Human Rights (VHR) News Center dan Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), telah mencetak sebuah antologi puisi karya seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto beserta keluarganya, yang berjudul Angin Pun Berbisik.

Sebagian hasil penjualan antologi puisi ini akan digunakan untuk membiayai sosialisasi gerakan yang memungkinkan tunanetra mendapatkan akses ke dunia literasi ini.

"seperti angin, saya pun ingin dapat berbagi kepada sesama, untuk itulah "anginpun berbisik" kami dedikasikan guna mendorong dan mempercepat gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra," lanjut Irwan, yang menjabat sebagai Wakil Direktur Mitra Netra.

Buku adalah sumber ilmu pengetahuan, sumber informasi, media belajar serta sarana rekreasi. Ketersedian buku bagi tunanetra telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka. Dengan tersedianya buku, tunanetra kini juga dapat menempuh pendidikan di sekolah umum secara inklusif bersama dengan murid yang bukan tunanetra. Bahkan, pendidikan tinggipun bukanlah hal yang mustahil bagi mereka. Buku telah membantu tunanetra memperluas wawasan, sehingga mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang mampu bersaing.

Melalui buku Braille, tunanetra melihat dunia dengan jari mereka. Dan, melalui gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra telah menjadikan dirinya sebagai penerus perjuangan Louis Braille -- tunanetra asal Perancis yang menciptakan huruf Braille --, membuka jendela ilmu pengetahuan lebih lebar bagi mereka yang memiliki hambatan penglihatan di Indonesia.

Jika membetuhkan informasi lebih lanjutn dapat menghubungi
Aria Indrawati/ Kabag. Humas Yayasan Mitra Netra
Telp. 62 21 7651386, Hp. 081511 478 478

Gelora Cinta di Atas Jembatan

(Dimuat di Media Indonesia tgl. 26 Januari 2008 pada rubrik bedah pustaka)

Judul : Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta
Pengarang : Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana
Pengantar : Mohamd Sobary
Penerbit : Jakarta: Sp@asi dan Yayasan Mitra Netra, Januari 2008
Tebal : xxvii + 164 halaman

Puisi-puisi dalam buku ini lahir dari sebuah proses yang mengharukan. Ditulis oleh sebuah keluarga, Irwan Dwi Kustanto (suami/ayah), Siti Atmamiah (istri/ibu), dan Seffa Yurihana (anak), puisi-puisi itu adalah ekspresi, saksi, sekaligus dokumentasi pasang-surut cinta, rindu, cemburu, kesedihan, dan kebahagiaan dalam hubungan suami-istri dan ayah-ibu-anak.
Menginjak usia 9 tahun, Irwan mengalami gangguan penglihatan. Usaha penyembuhan dilakukan dengan berbagai cara, tapi dokter akhirnya menyimpulkan bahwa retina kedua matanya rusak total. Ia harus menerima kenyataan bahwa dia kini adalah seorang tunanetra. Dengan perasaan kecewa dan putus asa, pria kelahiran Jakarta, 7 November 1966, ini memasuki babak baru hidupnya yang gelap. Tak bisa lagi melihat dengan awas adalah sebuah pukulan sekaligus beban mental yang amat berat.

Pukulan berat yang takkan terlupakan dialami Irwan ketika dia kuliah filsafat pendidikan di IKIP Muhammadiyah Jakarta. Dengan kesadaran penuh bahwa dia kini seorang tunanetra, dia bercita-cita menjadi guru. Ketika itu dia sudah fasih baca-tulis huruf Braille. Tapi setelah menyelesaikan semester 1, perguruan tinggi itu tidak membolehkan Irwan melanjutkan kuliah ke semester berikutnya. Alasannya sungguh menyakitkan: "Calon guru tak boleh cacat." Dengan hati pedih, dia pun pergi meninggalkan kampus itu.

Tapi Irwan tidak kalah. Dia akhirnya kuliah filsafat Islam di IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan berhasil merampungkannya di tahun 2004. Maka dia fasih berbicara filsafat, baik klasik maupun modern, dari Al-Kindi hingga Murtadha Muthahhari, dari Thales hingga Habermas. Di antara filsuf yang dikaguminya adalah Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan itu. Tidaklah mengherankan kalau dia menyukai sajak atau puisi, di samping filsafat.

Irwan bahkan menulis semacam kredo puisi, sebuah sikap kepenyairan yang jelas berlatar hidupnya sebagai seorang tunanetra sekaligus seorang sarjana filsafat yang menyadari keterbatasan rasio. Dia menulis, "Tatkala mata fisikku tak lagi sempurna menggambarkan dan memproyeksikan benda-benda ke dalam otak dan pikiranku, maka hati dan jiwaku menggantikannya dengan ketajaman penglihatan yang sungguh dahsyat. Begitulah, aku dihadiahkan oleh Tuhan dan alam kasih sayang yang melimpah, aku dibiarkan untuk mengenali dirinya dengan caraku sendiri ....

Dunia yang terkurung oleh petak-petak dalam rasio manusia terpancar menyatu dalam gelora dan kelembutan makna hadirku, aku terbiasa dengan sentuhan jari, penciuman, pendengaran serta terkadang kilatan-kilatan rasa yang membuatkehadiran dunia menjadi berdimensi dan utuh. Kesan-kesan yang menggurat lantas menjadi begitu hidup, seakan berbicara dengan huruf-huruf, kata demi kata dan akhirnya menjelma sebagai sajak.
Sajak bagiku kehidupan, baik dituliskan atau dilisankan, bahkan jika hanya tersimpan dalam relung hati sekalipun. Dia tetap tumbuh dan berkembang, memberi segala rupa, makna dan rahasia kepada siapa pun yang menginginkannya hidup. Dalam kegelapan dan redupnya cahaya yang mampir ke dalam mataku, sebait sajak bernilai berjuta gambar bagi siapa pun yang mendengar atau menbacanya, oleh karenanya dengan sajak dunia begitu berwarna, meriah, agung dan indah bagiku."

Di IAIN Syarif Hidayatullah, Irwan bertemu dengan Siti Atmamiah, kakak kelasnya yang juga menyukai puisi. Kepada perempuan bermata awas yang kemudian menjadi istrinya inilah, puisi Irwan berikut ini (mungkin) dialamatkan: rembulan cinta, senyum menjelma/ menetaslah rindu/ tatkala bermula, senja termangu/ dan saat malam menggeliat, tak henti-henti/ kusebut namamu (hal. 37). Mereka kini dikaruniai 3 anak: Zeffa Yurihana, Zella Adilati, dan Zeyyina Kayyis Kaila.

Hidup bahagia sebagai sebuah keluarga, tuntutan kenyataan memaksa mereka hidup terpisah sejak tahun 2004. Karena alasan pekerjaan, Irwan tinggal di Jakarta, sementara istri dan ketiga anaknya tinggal di Tulungagung, Jawa Timur, karena alasan orangtua sang istri. Praktis Irwan berjumpa istri dan anak-anaknya hanya pada hari-hari libur.
Tapi jarak tak memisahkan keluarga bahagia ini. Jarak tak lain adalah sebuah jembatan melalui mana rindu, kesedihan, dan kebahagiaan bersama selalu dihubungkan. Jarak adalah sebuah ruang dimana cinta menemukan biru apinya yang kekal dan menyala-nyala. Dari sanalah puisi-puisi mereka lahir. Dalam kata-kata Atmamiah sendiri, "... puisi ini lebih terinspirasi oleh perasaan yang timbul akibat sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya, dan cinta yang paling agung dan abadi —dunia tak pernah segelap ini."

Maka membaca puisi dalam buku yang diluncurkan Rabu (23/1) lalu ini, adalah membaca kesedihan sekaligus kebahagiaan yang menggelora dalam biru api cinta yang menyala-nyala. Kesedihan dan kebahagiaan, kesabaran dan ketabahan, impian dan harapan, terdengar bersahut-sahutan di halaman-halaman buku ini, seakan suara samar yang melintas-lintas antara Jakarta-Tulungagung. Inilah dendang cinta Irwan Dwi Kustanto dari Jakarta:

Cintaku padamu
Adalah sungai berbatu
Yang selalu
Berkelebat bayang camar
Enggan mendarat
Bertiup angin meminta pulang
Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis
Di senja menjelang galungan
Di mana kau tempatkan sesaji pada dukaku
...

(hal. 9)

Seakan menyahuti dendang cinta itu, di Tulungagung Siti Atmamiah pun bernyanyi sendu:
Sepagi ini engkau terbangun
Kutahu mimpimu belum sempurna
Kau genggam sepotong rembulan jatuh di wajahmu
Matamu yang terpejam
Bukan karena engkau tertidur
Belajar membaca pertanda
Pada jubah yang memnuimpan rahasia semesta:
Laut melumat pasir saat gelombang pasang
Awan mengarak burung saat kehabisan dahan
Bulan yang terluka
Kecipak air muara
Matamu yang memejam
Mengharap harum bunga
Tak usah dinanti melati mekar
Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta.

(hal. 125)

Siti Atmimiah berdendang pula, sebuah dendang rindu dari jauh:
Berjalan engkau
Saat senja baru saja pergi
Sebutir kenangan yang lewat
Mencari-cari jemarimu yang muram
Tak ada awalnya
Ketika kita bertemu
Merapatlah
Dadaku penuh gelora
Di sini darah sedang mengalir deras
Mengejar sekumpulan awan
Yang membawa kabar:
"Esok sore engkau akan datang"

(hal. 127)

Dan Zeffa Yurihana? Seperti ibunya, anak 11 tahun itu berharap sang ayah selalu ada di sampingnya, harapan yang dia tahu sedekat ini tak mungkin terpenuhi. Maka harapan dan permintaannya bersifat penuh seluruh, sebuah permohonan anak-anak yang memelas dan mengharukan:
Kali ini saja kumeminta
Kali ini saja kumemohon
Di suatu hari nanti
Kutakkan meminta lagi
Kau harus bersamaku
Takkan meninggalkanku
Hidup ini serasa sempurna
Karena ada kau di sampingku
Kali ini saja kumeminta padamu
Untuk menyempurnakan jalan hidupku

(hal. 148).

Di atas gelora cinta itu, dalam kesedihan dan kebahagiaan keluarga, dan dengan keterbatasannya sebagai seorang tunanetra namun dengan ketajaman mata lahir-batinnya yang luar biasa, Irwan Dwi Kustanto kini mengabdikan diri untuk memenuhi hak-hak kaum tunanetra. Di Indonesia, jumlah tunanetra mencapai 3 juta orang atau 1,5% penduduk. Sebagai wakil direktur eksekutif Yayasan Mitra Netra, Jakarta, yang dijabatnya sejak 2001, Irwan mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter (sebuah perangkat lunak penkonversi aksara komputer ke aksara Braille), menggagas kamus elektronik untuk tunanetra, dan menggagas program Seribu Buku untuk Tunanetra. Di samping itu, pria yang sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini adalah instruktur nasional untuk pengembangan simbol Braille Indonesia.

Jika sajak bagi Irwan adalah kehidupan, sebagaimana diakuinya sendiri, maka kreativitas dan produktivitas mengatasi jarak dan ketunanetraan adalah kehidupan Irwan yang sesungguhnya.***

Pondok Cabe, 24 Januari 2008

Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra Horison.

Rabu, September 24, 2008

Dapatkan Buku Antologi Puisi Angin pun Berbisik

PENGUMUMAN

GRATIS BIAYA PENGIRIMAN

…Dan cinta kita
Masih mengembara diantara kumbang yang tersesat kala memburu bunga
Lirih suara rintih diantara lengking kelopak bunga rekah... 

Saudaraku , Puisi indah yang menggelorakan dan mengetuk jiwa kita tadi adalah penggalan dari kumpulan sajak cinta dalam antologi puisi karya tiga anak manusia; Irwan Dwi Kustanto (ayah yang tunanetra), siti Atmamiah (ibu) dan zeffa Yurihana (anak)

Lewat "anginpun berbisik", (begitulah  mereka menamai judul buku tersebut), yayasan mitranetra  mengajak kita semua; berbagi cinta dan harapan menuju sebuah dunia yang ramah kepada saudara kita tunanetra.

Antologi pertama yang ditulis oleh sebuah keluarga ini didedikasikan untuk mendorong tersedianya buku yang aksesibel bagi mereka yang lemah penglihatan, sebagian dari hasil penjualannya  akan digunakan untuk penyediaan buku braille.

Saudaraku, satu buku antologi yang dibeli, berarti anda telah berbagi satu buku Braille untuk tunanetra.

Dapatkan segera keindahannya, untuk pemesanan, hubungi Yayasan Mitra Netra 
Jenis buku: hard-cover (untuk jenis soft-cover tersedia ditoko-toko buku besar dengan harga Rp.28.500,-)
Harga: Hard-cover Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah)
Pembayaran: Transfer Bank BCA Bona Indah, 
Nomor Rekening 6080279144 a/n Yayasan Mitranetra.
Kontak: Sdri.  Ima Tel. 021.7651386 HP. 0856 936 236 85 Fax: 021.7655264 
Email: ima@mitranetra.or.id

Anda dapat menjadikan “Anginpun Berbisik” sebagai suvenir, hadiah dan tanda mata kepada kolega, relasi, teman, sahabat, keluarga serta orang-orang yang anda kasihi. 
Kami akan segera mengirimkannya langsung kepada mereka, fax segera alamat anda dan orang yang ingin Anda kirimi sertakan pula bukti transfernya kepada kami.

Sambil menikmati indahnya syair "angin pun berbisik" mari kita berbagi dan membangun sebuah dunia yang lebih ramah dan lebih indah.

Sebait puisi dari tunanetra, seribu buku untuk tunanetra    
Dengan jari mereka melihat dunia, dengan jari kita berbagi cinta dan literasi.

(Terimakasih dari kami: partisipasi anda menyebarluaskan informasi ini membuka jalan yang lebih luas para tunanetra kedunia literasi).