Abstrak

Abstrak

Rabu, Desember 24, 2008

BUKU

Oleh: Zeffa Yurihana

Aku ingin tahu segalanya
Aku ingin tahu dunia
Semua ada didalam dirimu

Engkau bermacam-macam bentuknya
Ada yang besar dan kecil
Buku, terimakasih
Karenamu aku pintar
Karenamu aku tahu
Tahu segala
Yang ada didunia

Buku, sudahkah engkau berterimakasih ?
Berterimakasih pada penciptamu ?
Semoga saja sudah
Karena engkau jadi seperti ini karenanya

Buku, segala pengalaman dan kejadian
Dongeng dan nyanyian pelangi
Juga tangis adik dalam mimpi
Semuanya ada, berkata dan bergerak
Selangit biru engkau dilukis
Dan ibu selalu saja jadikan hadiah saat ulang tahunku

Buku, terima kasih
Aku seperti diajak bicara oleh seribu penulis
Digandeng bermain boneka dihalaman rumahnya
Hingga aku tahu
Dan membaca pada halaman terakhir

BINTANG - BINTANG

Oleh: Zeffa Yurihana

Ku lihat langit…
Penuh bintang, berkelap-kelip
Bagai intan berlian
Indah sekali
Oh bintang
Kau memberikan cerita tentang bulan yang sedih
Oh bintang
Bertahun-tahun kau menemani bulan, tak jemu
Tapi, mengapa bulan tetap bersedih ?
Setengah wajahnya disembunyikan
Bintang, cobalah menari
Agar bulan tersenyum kembali
Dan purnama berseri

LUKA SEORANG LELAKI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Luka seorang lelaki adalah embun pagi
Yang sunyinya melengking
Menguap tertusuk matahari
Punah

Luka seorang lelaki adalah gerimis siang hari
Yang rintiknya menggigil
Melepaskan debu dari ikatan kemarau
Hilang

Luka seorang lelaki adalah senja
Yang temaramnya menjerit lirih
Menyembunyikan lekas-lekas rindunya
Pada jarak
Pada waktu
Dan pada kegelisahan memasuki malam
Gelap

Luka seorang lelaki adalah rembulan
Yang purnamanya gelisah
Meredup
Menyembunyikan wajahnya pada awan
Merintih lirih
Senyap
Mengapa?
Yah, karena sepi memanggil
Karena rindu menderu
Dan karena cinta melanda

BUNGA TURI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Jangan kau petik bunga turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menangkap matahari
Biarkan, gerak gaib akarnya menelan hujan
Yang tersungkur luluh kemarin malam

Jangan kau patahkan kembang turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menghisap embun
Biarkan rahasianya tersimpan pada kuncupnya
Yang malu-malu untuk mekar

BUNGA MAWAR

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Bunga mawar dihalaman rumah
Berkelopak air mata
Jatuh, menyerah pada matahari
Saat perempuan tak peduli
Saat perempuan menangis
Merahnya yang muram disiraminya
Agar tak ada risau saat angin menerpa

Wahai Bunga mawar diserambi rumah
Mengapa kau dan perempuan sering menangis ?
Apakah duri-durimu, sering menyakiti
Menusuk, menembusi zaman dan kematian
Lalu tersenyum untuk dimanjakan
Tak begitu bukan ?
Tak ada rasa sakit
Tak ada luka
Tak ada duka pada pelupuk mawar yang disentuh perempuan
Karena tangis baginya hanyalah keindahan yang tersembunyi

BUNGA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Bunga itu meninggalkan puisi
Dikelopaknya beruntai bait-bait kehidupan
Mengalun lembut lewat jatuhnya embun
Berbisik, lirih, menghayati baris demi baris
Melangkahi huruf-huruf, kemudian diam tak berkeinginan
Lunglai, kering, kemudian pergi

Bunga itu meninggalkan waktu
Disemerbaknya bergantungan kenangan yang bisu
Mengalir lembut terbawa angin
Berputar, menembusi jiwa-jiwa
Dan kembali menangis walau tanpa air mata
Karena wujud hanyalah masa
Yang rentangnya untuk dibawa
Kepada Cahayanya sendiri, Diam dan Utuh

Bunga itu masih saja meninggalkan doa
Ditangkainya beralunan mutiara-mutiara kata
Memendam rindu merasuki sukma-sukma
Penuh harap
Dahaga cinta
Kemilauan tangis, sungai air mata
Aku yang meminta, langit diturunkan,
Hingga fajar berkeluh duka
Sayangku, ingatlah pada saatnya, sirnalah segala
Walau puisi, waktu, dan doa telah berwujud bunga

KUHARAP

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Jakarta 22 Februari 2006

Kuharap kau mencintaiku sepenuh yang mampu kau lukiskan
Seperti ombak yang selalu menyelesaikan sapuannya
Ditepian pantai
Menggulung
Berkejaran
Berirama
Dan kembali untuk meninggalkan kenangan

Aku harap kau mencintaiku sepenuh yang mampu kau tuliskan
Seperti bintang yang selalu mengarahkan langit
Bersinar
Berkelip
Bergelombang
Dan mendekat ke bumi untuk memberi warna

Kuharap engkau mencintaiku sepenuh yang mampu
Kau nyanyikan
Seperti angin yang selalu mengejar daun-daun
Pada rumpun bambu
Berbisik
Beralunan
Bersenandung
Dan Menumbuhkan kembali ranting-ranting yang patah

MENGEJAR MATAHARI TENGGELAM

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Tatkala mataku dan matamu bersentuhan;
Adalah jelmaan sang “dewi senja”
Yang suaranya keemas-emasan menetes pada batu karang itu
Aku tersenyum, nampaknya cakrawala dipersembahkan
Dengan segunung sesaji dan doa-doa
Katamu; “hidupku terlalu terbiasa dengan angin, kerlip bintang,
Embun pagi, debur ombak dan
Segala keheningan yang melimpah” , namun
“Mengapa kegelisahan tak surut-surut memasuki sukmaku?
Ada yang selalu meminta untuk aku pulang
Tetapi aku tak tahu dimana rumahku
Dimana setiap pagi ibu menyiapkan matahari diberanda
Untukku bawa dan kutanam seharian di bukit-bukit kemarau
Hingga senja mendulang
Aku tetap berlari
Mengejar matahari
Yang tak pernah sabar menanti
Untukku meletakan dan menitip rindu
Pada temaramnya yang selalu membisu
Aku mencintaimu, dengan apa adamu

DALAM KERETA GAJAYANA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Sepasang mata menjala tanya
Sendirian ?
Begitukah ?
Entah mengapa, alamnya berbeda
Sementara ketukan roda tak reda
Jantung masih menekan dada
Menghitung tarikan peluit
Diantara lengannya dan lenganku
Ada jarak
Ada lorong
Ada semacam hutan lebat diangkasa
Ke Malang ?
Tidak, Tulung Agung
Tapi, rambutnya yang terurai berkaca-kaca
Aku mulai terjaga saat
Disibakkan ke jaman yang asing
Mungkin dia perempuan
Yang keluar masuk tanpa waktu
Untuk sekedar datang
Tapi aku masih setengah terjaga
Waktumu telah tiba
Telah tiba ?
Aku turun kepelupuk mataku
Perlahan-lahan memegangi pagar-pagar
Mengetuk-ngetuk pintu dengan gerimis
Mau ini ?
Ayolah, bulanpun menyicipinya kemarin
Kembang gula ditebar dilangit
Waktumu telah habis
Telah habis ?
Ya, karena saat kau terjaga, aku telah tak ada

SEANDAINYA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Seandainya aku dapat …, tetapi engkau seorang buta!
Kau hanya mereka-reka bayang-bayangmu sendiri
Dari kejaran matahari
Kau hanya bisa menduga-duga hembusan angin
Yang mengejar telingamu dengan desirannya
Walau tak pernah kau letih, kutahu itu,
Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari
Melukis langit
Memahat lembah
Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala

Seandainya aku … tetapi kau hanyalah seorang buta!
Tertatih-tatih langkahmu
Mencari pesan dari batu kerikil disungai itu
Yang tak bosan-bosannya datang padaku, sia-sia

Seandainya aku…, tetapi kau buta!
Jangan pernah berkata apapun kecuali,
Kecuali aku telah pergi

MENCINTAIMU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Mencintaimu dengan mata terpejam
Adalah bunga mawar
Yang merahnya tercium temaram
Saat senja tersandar dipantaian pasir putih

Mencintaimu dengan tangan terlunglai
Adalah rembulan malam
Yang purnamanya terbuai semburat
Saat awan melintasi gugus bintang di pantai prigi

Mencintaimu dengan apa adaku
Adalah tarikan nafas
Basah
Melumuri jiwa
Diam
Bersemayam
Dan luluh dalam embun fajarmu
Selamanya, kekal dan abadi

CEMBURU 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan ditanganmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta

Jumat, Desember 05, 2008

Langkah Seribu Bintang

Tanggal: Sumber:
23 Sep 2008 vhrmedia.com

Prakarsa Rakyat,
22 September 2008 - 13:12 WIB
FX Rudy Gunawan

aku tak ingin dikalahkan oleh hidup
kucoba lagi masuk ke dalam perut bumi
bukankah debu-debu sudah menjadi bagian kakiku
jadi pasti kutemukan lagu itu di sana

Sebait puisi di atas penggalan puisi "Langkah Seribu Bintang" karya Irwan Dwi Kustanto, seorang penyair tunanetra. Puisi-puisi Irwan memang indah dan memiliki keunikan karakter, justru karena ketunanetraan dirinya. Indra penglihatan yang tidak berfungsi membuat Irwan memaksimalkan indra penciuman, peraba, dan pendengarannya secara luar biasa. Dan itu menjadi modalnya dalam berproses kreatif. Tapi jauh lebih penting dari itu, yang ingin saya tulis dan sampaikan pada para pembaca adalah perjuangan dan kesuriteladanan yang bisa kita petik dari sosok seorang tunanetra yang umumnya kerap kita anggap tak berdaya.

Seperti ditulisnya dalam puisi berjudul "Langkah Seribu Bintang" yang saya kutip sebait di awal tulisan ini, Irwan menegaskan bahwa ia tak ingin dikalahkan oleh hidup.

Irwan menjadi tunanetra karena kerusakan retina yang dialaminya sejak usia 9 tahun, saat ia masih duduk di bangku SD. Sungguh kacau merasakan cahaya tak lagi menerangi hidupnya, membuat Irwan kecil terpuruk dalam jurang keputusasaan. Namun dengan kondisi penglihatan yang sangat terbatas, Irwan berjuang untuk mengikuti semua pelajaran di tengah badai ejekan, hinaan, dan perlakuan diskriminatif yang harus diterimanya hingga lulus SD dan SMP. Penglihatan Irwan terus meredup, namun ia tetap melanjutkan sekolah dengan gigih hingga berhasil menamatkan SMA. Pada titik ini, Irwan merasa semakin frustrasi. Tak kuat ia rasanya menahan beban kegelapan yang membuatnya semakin terpuruk. Irwan dan keluarganya lalu menghabiskan waktu dua tahun untuk mencari berbagai alternatif pengobatan kedua matanya. Dalam bait lain Langkah Seribu Bintang, Irwan menulis:

semua yang kau titipkan dahulu
aku masih menyimpannya di dada
terkadang menjadi lagu yang mengalun begitu saja
menghampiri dan membawaku ke lembah-lembah dan ngarai

Dua tahun upayanya tak membuahkan hasil apa pun. Irwan akhirnya harus benar-benar menerima kenyataan bahwa matanya tak bisa lagi diobati. Dan inilah titik balik sekaligus titik awal lembaran baru kehidupannya resmi sebagai tunanetra. Irwan mulai belajar membaca huruf Braille dan mencoba mendaftar kuliah.

Ia diterima kuliah untuk pertama kalinya di IKIP Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Filsafat Pendidikan, dan segera dikeluarkan lagi oleh Rektor dengan alasan:

"Calon pendidik tidak boleh cacat!"

Beruntung, Irwan tidak putus asa dan menemukan kampus yang mau menerimanya, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Filsafat Agama. Di kampus inilah Irwan menempa dirinya dan menemukan lingkungan yang ramah pada keterbatasan dirinya sebagai seorang tunanetra sehingga ia dapat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan selama kuliah. Irwan menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana pada tahun 1994 setelah sekitar enam tahun menjalani masa kuliah.

kutembus tembok kampus, kulangkahi pagar-pagar bank
kubangun trotoar sendiri
aku bangga ibu, aku bangga jadi anakmu

Itulah Irwan. Semangatnya untuk menjadi cahaya dalam hidup orang-orang tunanetra lainnya begitu kuat menyala. Kerap, kita sebagai orang-orang bermata awas (istilah yang digunakan para tunanetra untuk menyebut orang-orang berpenglihatan) hanya berhenti pada rasa iba yang semu. Padahal bukan rasa iba yang diperlukan, melainkan akses untuk mereka agar mendapat kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Dan kita juga kerap melupakan bahwa mereka mempunyai hak yang sama dengan semua orang lainnya. Untunglah sejumlah tunanetra seperti Irwan mendobrak tembok-tembok penghalang yang kita bangun itu. Lalu kita pun terhenyak.

Betapa seharusnya kita malu pada diri kita, karena sebagai orang-orang bermata awas, kita ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang tunanetra seperti Irwan Dwi Kustanto. Kini Irwan adalah Wakil Direktur Yayasan Mitra Netra, yang prestasinya antara lain mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter, mencetuskan ide kamus elektronik untuk tunanetra, dan yang terakhir adalah mencetuskan dan memelopori Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra.

Buku antologi puisi Angin Pun Berbisik yang berisi puisi-puisi karya Irwan, Siti Atmamiah (istrinya), dan Zeffa Yurihana (anaknya yang saat ini baru kelas I SMP), telah beredar luas dan mendapat respons positif dari masyarakat. Antologi puisi itu juga dijadikan album musikalisasi puisi oleh sejumlah pemusik muda seperti Endah dan Reza, Ninok (grup band Ran), group band Drew, dan bahkan artis cantik Maudy Kusnaedi dan Cornelia Agatha pun terlibat dalam album musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik. Sungguh kita seharusnya belajar banyak dari sosok Irwan agar kita lebih peduli, lebih rendah hati, dan lebih berbuat banyak untuk masyarakat sehingga bisa mengikuti "langkah seribu bintang"-nya Irwan Dwi Kustanto.

angsa-angsamu pun menari
kepak sayapnya melukiskan ballet Yunani
saat airnya beriak, gelombangnya menyitir sang Gibran
dari Lebanon
sambil menoleh kiri dan kanan angsamu berkaca
mencelupkan wajahnya di air sambil berputar membuat lingkaran
aku damai ibu

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429. Segenap awak Voice of Human Rights mohon maaf lahir dan batin atas semua kesalahan yang, baik sengaja maupun tidak, pernah kami lakukan. Minal Aidin Wal Faidzin! Mari menciptakan damai dalam hidup kita, seperti Irwan menciptakan damai di hati para tunanetra. (*)

dikutip dari: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/kolom/artikel_cetak.php?aid=30341