Abstrak

Abstrak

Rabu, Januari 21, 2009

LANGKAH SERIBU BINTANG

LANGKAH SERIBU BINTANG
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Cisarua, 27 Juli 1997

Diammu mengisyaratkan bahasa cinta
Dunia yang terbentuk dari lima jari,
Telunjuk adalah bagian lentera yang sering kali tertinggal
di saku
Seperti dulu, ketika kau mengusap rambutku dengan senyummu
Aku hanya bisa menangis sambil menghisap ibu jari harapan
Semua yang disandarkan seperti terbuang, sia-sia
Lagi-lagi aku menghitung bintang di saku

Jantungmu tak beraturan saat kucari bayangmu
Aku tahu kau tak mengenal goresan cipta
Bahkan lenganmu yang tak berkeringat, diam saat tersapa
Kau menduga kerut diwajah tanpa arti

Ibu aku ingat saat rumahmu diam
Bunga yang kau tanam dihalaman depan garis hidupku,
Pot-pot biru
Batu-batu keramik negeri jauh,
Gambar-gambar jemari langit dan
Semua yang kau titipkan dahulu
Aku masih menyimpannya di dada
Terkadang ia menjadi lagu yang mengalun begitu saja
Menghampiri dan membawaku kelembah-lembah dan ngarai

Tetapi ketika mata birumu berubah menjadi putih, ibu
Aku tak dapat berbuat apa-apa

Malam ini saat gelap menyelimutiku, aku terkenang kembali bahasamu
Katamu saat itu, usah risau anakku
Biarkan semua orang berteriak-teriak tanpa makna
Gedung-gedung tinggipun membelakangimu tak menoleh
Bis-bis kota melaju dihadapanmu tanpa klakson, biarkanlah
Lampu-lampu jalanan menari-nari bagai kegilaan
Kabel-kabel telpon menjadi rantai yang siap menjerat
Tapi anakku, ibu didekatmu
Bernyanyi tentang bintang
Bernyanyi tentang hijaunya sabana
Lenganmu letakkanlah di bahu ibu
Anakku, Apakah bahasa ibu yang melembutimu tak kau dengar malam ini?
Ibu memang tak dapat membawamu
Bermain-main dengan bintang
Terbang bersama kupu-kupu di taman-taman sari
Menyelam dilaut impian atau
Bernyanyi-nyanyi sambil menari di Kute
Dengar anakku, lengan ibu yang lelah ini,
Ada bunga yang tercipta
Jika kau sungguh ingin hidup, bunga itu untukmu
Bersamamu ia akan berjalan dengan kekuatan ibu

Aku tersentak
Kesadaranku membahasakan sosokmu ibu
Ah, ada suara lembut yang mengetuk-ngetuk pintu lamunan
Aku mencari dan berlari-lari dengan tongkatku
Ibu, dimana, dimana
Nyanyian itu seperti pernah kukenali
Nada-nadanya menjadi kidung pujaan saat temaram kota Jakarta
Syairnyapun mengenangkan kasih yang tulus
Tapi dimana?

Kurentangkan tanganku kesudut barat langit, tak ada disana
Jariku hanya menyentuh awan dan mega
Ataukah di timur lautan Pasifik
Ah, tetapi jariku hanya memegang karang dan zooplankton
Suara itu, suara itu makin melemah
Namun maknanya teramat dalam

Aku tak ingin dikalahkan oleh hidup
Kucoba lagi masuk kedalam perut bumi
Bukankah debu-debu sudah menjadi bagian kakiku
Jadi pasti kutemukan lagu itu disana
Tetapi ketika rambutku diselimuti es Antartika,
Aku semakin jauh ditinggalkannya
Aku lelah, tanganku saja aku tak mampu mengendalikannya
Tongkatku jatuh, aku asing dikota ini
Aku berteriak-teriak bagai kegilaan
Dan menarik-narik kabel listrik
Kuambil batu jalanan dan kulempari orang-orang berjalan
Kuminta kembali tongkatku yang patah karena
Roda mobil mereka
Aku tersungkur ditong sampah lalu diinjak-injak lalat-lalat kota
Aku terpuruk ditrotoar Kuningan
Bahkan garis setapak jalan tongkatku sudah ditancapkan swalayan
Aku berteriak, tapi suaraku tertahan dihidung
Kini nafasku sudah dapat diramalkan tarikannya
Mengapa kampus-kampus sinis memandangku,
Apakah potretku terlalu menjijikkan ?
Aku pergi ke bank, tetapi semua dipagar besi,
Tongkatku terhalang
Sementara orang-orang dipasar berbisik-bisik
Mereka membuang permata hanya untuk sekedar berdansa

Malam ini ibu, aku mengadu
Aku rindu embun tatapanmu
Sering kudengar kidung-kidungmu, betapa damainya aku
Terik kota tua hanya ilusi jika kau bernyanyi lagi
Angsa-angsamupun menari
Kepak sayapnya melukiskan balet Yunani
Saat airnya beriak, gelombangnya menyitir Sang Gibran
Dari Libanon
Sambil menoleh kiri dan kanan angsamu berkaca
Mencelupkan wajahnya di air sambil berputar membuat lingkaran
Aku damai ibu
Tapi bayangan gedung-gedung bertingkat masih menghalangiku
Lalu engkau hadir lagi ibu
Gaunmu yang putih berkibar saat angin-angin tenggara bertiup
Kabar apa yang kau bawa ibu ?
Aku tahu ibu, aku mengerti
Cukuplah tersenyum, dunia pastilah gembira
Aku memang tak dapat melihat wajahmu
Saat rembulan jatuh di pipimu
Tapi ibu, jemari lembutmu mendendang lalu
Mengalir keseluruh tubuhku
Jantung dan leverku kini kembali sejuk
Ada butir-butir puisi meruangi paru-paru
Kemudian disuarakan dilangit terbuka

Malam ini ibu, saat semuanya terdiam
Ada rumah putih yang indah berhias lentera
Disitu anak-anakmu masih memegang bunga-bungamu
Harum, semerbak seperti rambutmu yang belonda saat terkibaskan
Lihatlah Bu tetes air mata, kini telah menjadi mutiara
Aku dapat berdiri
Aku tak mimpi lagi
Bayanganku kini berlari bersamamu
Diantara daun-daun yang berguguran,
Jatuh setitik embun untukku melepaskan dahaga
Diantara kunang-kunang terbang, ada ranting untukku berjalan
Aku damai ibu, lihatlah kepalku
Kutembus tembok kampus, kulangkahi pagar-pagar bank, Kubangun trotoar sendiri
Aku bangga ibu, aku bangga jadi anakmu

Malam ini saat gelap menyelimuti ruang dan waktuku
Kukenangkan dirimu, seperti kukenangkan langkah
Seribu bintang

* Puisi ini teruntuk Almarhumah Ibunda Nicola Sulaiman; Pendiri Yayasan Mitranetra yang telah meletakkan sejuta kebajikan pada kami para tunanetra, damailah Ibu di HaribaanNya.

KERANDA ITU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Keranda itu menangis lirih
Menanti bayang tuannya
Masuk dan berbaring
Untuk menua, menyimpan mimpi yang belum rampung

Keranda itu merintih pelan
Menunggu tubuh tuannya
Beristirahat disela dukanya, menggigil
Senyap, dalam kerinduan
Untuk menyepi dibalik ilalang
Menyimpan semua kenangan
Dalam satu helaan takdir yang ingin ditepisnya

Keranda itu meratap sendu
Mencari goresan nisan tuannya
Pada batu hitam
Pada bunga-bunga kamboja
Pada tanah basah
Dan pada malam-malam yang rembulannya dimakamkan

KEPAK

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Burung-burung terbang diantara buku-buku
Membaca berlembar-lembar pada evolusi manusia
Kolektivitas, egaliter, merasuki jiwa-jiwa primitif
Entah laki-laki ataupun perempuan,
Entah diberi atau memberi
Sama, tak dikurangi ataupun menambahkannya
Pada hasrat yang sederhana
Pada dada
Pada bulu kaki
Pada telinga dan juga pada kesadaran yang tersembunyi

Burung-burung berhenti pada gurun pustaka cendekia
Menuliskan catatan tentang istana fatamorgana
Mahkota raja adalah kebebasan untuk memberi candu pada setiap hamba
Menari karena kerasukan
Menyanyi karena rasa nikmat yang tak tertampung
Pada duka
Membuang segala, segala yang mereka punya
Entah hidup atau tak bernyawa, keduanya ditangan raja.
Burung-burung hanya dapat bernyanyi dan menari
Untuk diberi makna
Merdu
Indah
Gemulai dan mengilusikan bayangnya pada cermin Bernama peradaban

Burung-burung kini lepas dari dialektika pemikiran
Setelah berkali-kali menembusi kematian,
Burung-burung pergi
Menyelami waktu-waktu dimana kolektivitas manusia
Meronakan warna
Entah air mata, kesunyian, kepedihan, ketertindasan
Burung-burung kembali pada kepaknya
Mencoba menggores makna pada jalan panjang
Berlentera pengetahuan
Untuk ditorehkan pada prasasti kematian
Kematian sebuah nama
Per-adab-an

HENING

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Bacaku penuh hasrat,
Sebuah nyanyian denganmu
Ingin selalu satu nada bagiku
La ilaha ilallah
Telah cukup, kini dan selamanya
Pukul 2 dinihari berselimut rindu
Aku mengaku, luruh dalam
Khusuk yang terluka
Oleh denyut yang bersabar akan diurai

Dengarku penuh tabah
Entah menggulung atau menepi
Subhanallah
Hati yang rindu tak bermuka
Ditundukkan oleh kelana yang usai
Dalam hitungan masa, bergumamku dengan tangis
Ya Allah, sungguh aku malu
Bertanya setiap malam, kapan Kau lupa ?
Padahal hati tertatih-tatih mencari sujud
Dan rukukku telah berjamur disajadah ini
Astagfirullah
Nyanyiku penuh keluh,
Saat kuhampiri, malammu bermurung

Pada langit ke tujuh, sembunyiku dari RahmanMu
Entah menolak atau diwujudkan, sama berbilang
Dua ratus ribu tahun tak cukup menuliskan namaMu
Dalam persembunyian
Dalam ketidakasingan
Dalam kumpulan sajak-sajak
Dalam kegaiban bertuah sidratul muntaha
Ya Allah, bila rindu membatu
Usahlah doaku terkabul
Akan pintaku pada cintaMu
Dan akan gelora subuhku yang berwudhu
Dan akan kematianku pada alifMu

DI DEPAN PINTU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Rambutnya yang putih meminta zaman beristirahat
Menyalakan lentera disaku bajunya, aku pergi, gumamnya
Langit mengundangku, air mata
Yogyakarta dipenuhi api, membakar dupa
Ngger, simbok mengantuk,
Mengapa orang-orang terus berjalan,
Langkahi nisan mereka sendiri?
Sepi, simbok tidur, fajarnya yang mencari

Dalam sunyi terus dicarinya air mata
Yogyakarta masih lelap, walau sujud telah ditepian
Ngger, simbok menangis, mana air mata
Anak-anak sapi berlari, mencari-cari air mata
Induk perkutut membuka pintu-pintu hati,
Menengadah kelangit subuh
Ngger, simbok mencari
Mana jarik, simbok siap menutupi langit
Badannya yang bungkuk meniti sejarah
Entah janur kuning atau merah putih, sendu
Aku titip pematang, tanam melati, bisiknya
Simbok menanti dipintu keratin

Ngger, duduk dipintu itu, cabutlah keris
Tanamkan setengah lekukan untuk upeti Gusti
Biar simbok mengukur hati
Membukakan langit dengan air mata
Dan memohonkan kerinduan agar dipeluknya

Pagi buta, dibukanya pintu, Yogyakarta mengalir
Ribuan tetes air mata menggelombang
Mendesakkan keraton, meminggir doa
Ngger, letakkan air mata simbok di sajadah putih
Ia kan meminta langit menangis
Dan juga bumi berbaring
Untuk bisa kamu dan simbok menyirami amben dengan tahajud
Dan memintal selembar syukur , untuk kita
Lihat ngger, rambut simbok, berhelai-helai putihan doa
Walau tak terbaca, tetap bumi menerima
Di depan pintu, air mata menjelma doa

* Puisi ini untuk mengenang nenek Pami Wongso Sentono yang meninggal tanggal 17 Maret 2006 di Gunung Kidul Yogyakarta, Selamat beristirahat dalam pelukan-Nya, cucumu.

DAUN BAMBU KERING

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Serumpun bambu saling menyapa saat tertiup angin
Menggelitik ruas-ruas kabarmu
Entah tertidur berapa abad
Tertanya oleh sepi yang menyelinap
Aku bertanya
Apakah ada suaraku tertinggal didaunmu ?

Kutahu terlalu malam untuk berbincang
Sekedar kau hadir
Untuk meletakkan setetes embun pada rantingnya
Tak jua diberi sempat mengenangkan
Pada rambutmu
Pada lirik-lirik yang tergores dijemarimu
Pada alis mata
Pada air mata
Dan pada kesenyapan yang tercipta atas pergimu

Rumpun bambu belum terlalu rindu
Untuk menjelmakan bayangan masa lalu
Asal bukit mendaki lukanya
Asal ngarai menumpahkan risaunya
Pun telah terpanggil jiwa yang merindui
Akankah tenggelam rembulan disungai malam
Untuk menorehkan rasa
Entah dimuka atau didada
Semuanya berbilang, bertegun dan akhirnya kering.

CINTA KITA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Kutitipkan rinduku
Diantara serbuk sari, terbang mendekat
Mekar bunga, menantang kumbang
Mencari awan untuk dibawa
Kepada langit yang menua
Keharap kau sedang disana
Mewarnai bumi dengan matahari pada siangmu
Memudarkan cahaya rembulan, membayang pada malam itu
Tapi cinta kita menjauh perlahan
Mengendap-endap, kupu-kupu yang luka
Bertutur dikelopak bunga
Mencatatkan semua duka
Menggores segenap tangkainya, untuk disimpan
Pada sayap-sayapnya
Dan cinta kita
Masih mengembara diantara kumbang yang tersesat
Kala memburu bunga
Lirih suara rintih diantara lengking kelopak bunga rekah

CERMIN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Seorang pemuda bercermin pada suatu malam
Betapa terperanjat dia, katanya, aku tak percaya, ini mimpi
Wajahku, mengapa
Desktop, inbox, taskbar, pipiku ?
Keybord, mouse, mengapa melepaskan diri dari tahi lalat ?
Mencari kursor yang lepas menderita karena mata kirinya buta
Aku mencari apa ? Daguku ?

Oh, kacamata, kulepas, mungkin
Dalam cermin bergemeretak
Memanggil-manggil sukmanya yang lepas, tarikan nafas?
Tiba-tiba, berkelip lilin
Pesta valentine, bercucuran air mata
Akukah itu ?
Mengapa dahi ini dipenuhi angka-angka liar ?
Lembar demi lembar, harapan, kehilangan menjadi gigi
Teriaklah dia,
Wajahku berubah menjadi pabrik...

Oh tidak, mungkin aku lupa mencuci muka
5 menit kemudian,
Sepi
Cermin memeluknya dalam-dalam
Ada sapuan kuas yang dirasakannya menyapa
Aku menipumu, bisiknya lirih
Perlahan pemuda sedikit berani melepaskan topengnya
Ha, ha, ha,…
Ya, ternyata aku tampan, tetapi…
Tidak, tidak, tidak…
Di lepasnya telinga, mata dan hidungnya, bukan ini
Telingaku bukan inflasi
Mataku bukan deretan suku bunga
Dan hidungku mengapa? menjadi grafis statistika ?

Pemuda tenggelam, dipejamkannya kedua kekasihnya
Kini ia bercermin pada air matanya
Dilihatnya kemilau bola matanya, indah
Berbinar, sentuhan simphoni 27, ini laguku
Partitur-partiturnya sungguh kukenali, hingga lekuk keningku
Oh... Ternyata aku sebuah bingkai
Dimana cinta bermula dan berwujud

TITIPAN BUAT ANGGER

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
7 November 1992


Menguraikan lembar-lembar kejadian adalah puisi malam
Mengukur mimpi dengan malam, tak berujung
Senandungkan kerinduan, untukmu
Fajarnya disingsingkan
Kunanti kembaramu menjadi embun pagi
Aku belum lagi merasa ada
Sementara jemari ini belum usai mengaksarakan asma

Ramai kudengar dari dalam bumi
Orang-orang berteriak sambil membuka ibu jari
Tanda mengenaliku, banggaku menjadi asing
Dimana aku ?
Orang asing ini seperti pernah kukenal
Boneka dolanan dan dongengnya
Juga arit, cangkul, serta ani-ani

Dari muka pendopo ayah memberi isyarat,
Keris dan belangkon diletakkannya dekat cerutunya
Katanya:“Mereka itu ngger bukan apa-apa dan siapa-siapa !”
“Kau tahu le apa yang mereka inginkan ?”
“Belum Bopo,” kataku
“Ngger, mereka menginginkan menjadi
lukisan hayalannya sendiri”
“Sedang wajah mereka disembunyikan
pada bingkai lukisan itu”

“Ngger kesini mendekat pada simbok!” ibu meminta
Bau khas jariknya adalah kelembutan wanita, dan katanya
“Hidup itu tak mencari apa-apa”
“Bukankah dia telah dicukupkan ketika kau dilahirkan ?”
“Kau tinggal menguraikannya, menerjemahkan dan menjadikan cahayamu sumber kedirian”
“Inggih ibu”

SURAT KEPADA ZEFFA 3

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Zeffa, tatkala hatimu resah
Mengapa kemarau tak juga beranjak tidur?
Mengapa hujan tak memberi senyum?
Atau mengapa waktu tak menunggu untuk duduk sejenak?
Dengarlah anakku,
Alam memiliki keangkuhannya dan hukum-hukumnya sendiri
Keseimbangan adalah kemutlakan yang direnggutnya
Tak peduli pada gembira, takut, sedih ataupun resahmu
Walau begitu anakku, engkau tak dapat lari dari padanya
Yang kau butuhkan bukanlah terlelap lalu bermimpi terbang
Tetapi datang, memeluknya dan dengarkanlah pesan-pesannya
Seluruhnya anakku, sepenuh yang mampu kau tuliskan
Pemenggalan pesan demi pesan berarti kehilangan
Yah… kehilangan, kehilangan cinta
Karena alam hakekatnya adalah cinta yang diwujudkan, Ditampakkan dan ditambahkan
Bukan untuk menghancurkan gunung-gunung
Bukan pula menelan perkampungan dipesisir kepulauan
Tapi dia hadir untuk mencukupi
Tak dikurangi ataupun berharap ditambahkan
Dia hanya sekedar hadir meneguhkan diri
Dan tersenyum untukmu

SURAT KEPADA ZEFFA 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Zeffa, bila hatimu bimbang
Berkejaran dengan rembulan atau
Menyelimuti bintang dengan awan pada malam-malammu
Memberi warna alis pada matahari atau merias sungai pada siangmu
Bukalah hatimu, biarkan cinta mengaliri
Dengarkanlah suara langit yang birunya tak pernah ada
Dan lautan yang birunya terjaga, karena riangnya ikan bermain dan airnya bergelombang
Suara biru mereka akan datang, mengetuk pintumu
Mengalir lembut pada sungai-sungai hasratmu
Dan berbisik, menembusi angan serta jauh melewati masa
Dengarlah anakku, biru hanyalah sesuatu sifat
Kita memberi nama dan meletakkannya pada langit dan lautan
Tapi dia bukan langit ataupun laut
Papa sering meneteskan air mata
Dan kamu tahu, terkadang itu untuk kesedihan,
Kadang untuk luapan kegembiraan
Pada titik tertinggi, kita tak tahu
Kita tak merasa apa-apa
Untuk itu sayangku
Semua yang datang padamu adalah indah
Tentu, jika kau mau mendengarkannya dengan hatimu
Dan cinta yang menyambutnya

SURAT KEPADA ZEFFA 1

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Zeffa, jika hatimu gelisah
Melihat matahari yang basah
Atau mendengar dedaunan merintih, bukalah hatimu
Biarkanlah dia diam, beku, kosong, lepas akan wujud
Papa yakin, perlahan matahari dan dedaunan akan berkata
Mengapa tak kau mainkan biola dalam hatimu?
Bukankah langit, angin, laut dan hutan seharian bernyanyi untukmu?
Ayolah jelita
Rentangkan dawai cintamu
Petikkan nada-nada kasih
Pimpin orkestra alam
Selaraskan alunan dan birama, hidup begitu indah
Hidup adalah musik putri kecilku, dan
Menjalaninya berarti menyanyikannya
Kita adalah instrumen musik kehidupan
Jika kau bersedih
Dunia akan sepi dan kehilangan satu nada yang dibutuhkan
Untuk mengalunkan simponi
Dan membentuk orkestra kehidupan

BULAN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ketika putri kecilku melihat bulan berendam
Pada sungai diatas jembatan itu
Bisik lirih padaku
Papa, mengapa bulan mandi tengah malam?
Wajahnya nampak sedih
Apakah mamanya tak mencari?
Aku ingin mengajaknya bermain
Tapi ini tengah malam, sahutku
Bolehkah kubawa serta tidur ?, rajuknya
Biar besok pagi kan dijemput mama matahari

DONGENG

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Pada zaman dahulu kala
Tatkala istana raja menjadi batu
Kita bersembunyi dibalik ibu
Mencari langit berkumpul awan
Dan tiba-tiba sepi dihadapan
Akhirnya,
Menua kita dibalik reruntuhan cerita dongeng

DOA UNTUK ZELLA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Tuhan telah menciptakan embun pagi
Tuhan telah memekarkan mawar
Tuhan telah memomong gadis kecil dengan dolanan
Embun yang selalu menetes pada kelopak mawar
Sebelum berangkat sekolah putri keduaku
Berjinjit-jinjit dia, seolah-olah berjalan diawan
Dengan kerlap-kerlip mentari disela-sela dedaunan
Ia menyirami rerumputan dihalaman, senyum ditebarkan
Lalu terbang
Mimpinya, kupu-kupu hinggap
Dalam lamunan, pucuk-pucuk cemara bergoyang
Zellaku, taman bunga ibu
Pada suatu hari nanti
Kelak diujung-ujung jarimu
Akan menetes embun, berlimpah-limpah kristal-kristal
Yang tumbuh bunga-bunga mawar
Kelopaknya mengisi relung-relung hati
Setiap orang yang bangun pagi
Untuk memandangi dan memeluk langit
Hingga terbitnya mentari,
Zella, taman bunga bunda
Pada saatnya nanti
Orang-orang akan mengangkat tangannya
Dengan mawar dan sejuknya embun digenggaman mereka
Lalu mengalir pada sungai-sungaimu
Dan selalu menyirami tanahmu yang basah
Karena matahari tak lagi merenggut
Ikhlas embunmu untuk memberi
Dan
Pasrah mawarmu untuk menerima

KELINCI DAN PUTRI BUNGSUKU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Aku adalah kelinci, girang sekali
Papa, kupingku dua
Panjang sekali
Mama, mataku biru
Terang sekali

Kakak, aku adalah kelinci
Sekali-sekali aku berlari
Meloncat-loncat memasuki hari
Papa, mama, kakak
Aku dan kelinci ingin mencari,
Dimana matahari yang kemarin,
Yang berjanji pada tengah malam akan datang pada kami
Memberi bulan padaku dan kelinci
Untuk diletakkan pada candi
Biar semua orang mengerti
Bahwa kami adalah pelangi

DUA HATI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
14 Februari 2007

Dua hati saling berpandangan: menukar bunga
Mencium wanginya pada lengan
Agar menjauhi pelukan
Serupa duri yang rindu
Tak ingin melukai, tangannya yang basah

Dua hati yang sendu saling menatap;menitip ilalang
Mengikat akarnya pada jemari
Agar galau tak mengusik
Debaran yang dulu pernah singgah
Seumpama seuntai daun terterpa
Tak ingin terlepas dari dahan; cintanya yang baka

DI UJUNG JALAN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Di ujung jalan itu
Disudut kelokan gunung Sahari
Bajumu basah, hujan menggerimis
Wajahmu yang tua oleh debu kota
Terlarut dalam pemburuan yang tak akan pernah selesai
Mengejar bayang-bayang pencakar langit
Lalu jatuh, terinjak kelokan trotoar yang kian mengering
Aku rindu menyapanya kembali
Diujung jalan itu selalu saja senyummu memburu
Memburu aku yang rindu
Untuk berlalu
Untuk membatu
Dan untuk menyebut-nyebut namamu

DI JALAN DESA ITU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Di jalan desa itu
Kita mematung, senyap diantara ilalang
Dua langkah lagi sungai menggeliat
Ada rahasia yang mengalir
Tapi kita tetap membeku, mengeras dan bisu
Kita hanya memegang tangan dan menutup jemari

Nampaknya kita harus mengusung zaman untuk dihanyutkan
Pada sungai
Pada angin
Dan pada jalan desa itu

DI STASIUN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Di stasiun kecil itu
Kita berdiri, mematung
Aku memahat langit sedang engkau masih membatu
Aku melukis matahari yang mulai gelisah,
Entah engkau melukis apa
Namun kita berdiri saja
Menanti kereta menyapa
Pada cemburumu yang membeku
Dan pada rindumu yang sudah berlalu

Bersama angin yang menyimpan rasa malu
Kutitipkan deru cintaku
Pada ilalang
Pada debu
Dan pada lengking kereta cintamu

DALAM SENJA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Dalam senja saat gerimis runtuh
Perempuan desa itu membiarkan dirinya basah
Seolah malamnya kemarau panjang
Yang tak sungkan merebut rindunya pada lelaki bercaping
Dalam senja perempuan desa itu
Tak peduli lagi pada jejak kakinya
Yang sirna oleh permainan hujan
Tak peduli pada sisa pandangnya
Yang suram oleh pergulatan kabut
Bahkan dia tak peduli akan nasibnya
Yang dititipkan kemana laki-laki itu berjalan
Membawa takdirnya sendiri
Untuk berlalu dan lenyap dalam senja

Selasa, Januari 20, 2009

KEPADA ADAM

Oleh: Siti Atmamiah
1988

Aku adalah waktu yang rindu
Berbaring dan mengenang
Lembar demi lembar
Cerita lama
Ketika malam tiba-tiba
Menjadi pagi

Aku bukan rembulan
Tadi malam
Yang cahayanya menunggu
Engkau datang
Tak usah engkau hampiri
Jejakku menggugah mimpimu

KENANGAN

Oleh: Siti Atmamiah
7 Nopember 2006
Kado Ulang tahun untuk kekasihku

Ku kenangkan satu pertemuan
Dengan mu
Tanpa rencana
Tanpa tatapan mata
Keheningan bunga-bunga
Menjamu hadirku, hadirmu

Ku kenangkan satu kata
Diantara serpihan waktu
“Mataku kini menjadi abu-abu
Tapi aku mencium aroma kasih
Mengepul
Diujung jemarimu yang tersentuh”

Ku kenangkan
Satu malam yang sempat kita singgah
Kau selipkan sebait puisi
Disela nafasku

Ku kenangkan cintamu
Selembut angin yang kembali
Dari pusarannya

KEMBANG TURI

Oleh: Siti Atmamiah

Sementara pohon turi merapat
Daun dan bunganya menyentuh
Butiran angin yang hendak bersembunyi
Manisku, ini bukan rumah atau beranda
Melainkan setumpuk batu bata yang gelisah
Raut wajahmu memancarkan cahaya
Matamu matahari sore
Begitu engkau berkata-kata
Bunga turi tak pernah lupa meninggalkan aromanya
Takkan ada beda
Batu-batu ataupun rumah kaca
Bila hadirmu ada
Kutahu cinta cukuplah memejamkan mata

JATUH CINTA

Oleh: Siti Atmamiah

Mataku yang luka
Rindukan nyanyian fajar
Bumi terasa hangat

Bagiku matahari adalah legenda
Meski sengatnya begitu terasa
Adakah yang lebih indah dari suaramu ?

JAKARTA

Oleh: Siti Atmamiah
Juli 2004

Kutinggalkan engkau
Ketika
Mimpi tak lagi abadi
Jejak kaki
Masih tersimpan rapi

Kutinggalkan engkau
Selagi udara masih pagi
Selagi embun menyentuh jemari

Kutinggalkan engkau
Sebab
Langitmu tak lagi biru
Diaduk asap dan debu
Aku sudah tak punya waktu
Untuk menunggu

IBU 2

Oleh: Siti Atmamiah
2006-12-06

Dan subuh itu
Lengking tangisku menggema
Membelah doa-doa
Diantara rintih dan tangis
Bahagia
Aku telah hadir disini
Dibelahan dadamu
Ibu
Terlelap aku disisimu
Menanti tetesan air susu
Yang mengalir dari putingmu
Merah tubuhku masih terbungkus
Kain biru
Ibu
Kuhisap tetas demi tetes
Darahmu
Waktu demi waktu
Siang menjelang sore
Hingga aku mengenal namamu

Kini aku telah dewasa
Dan malam itu engkau
Duduk dan bersimpuh
Sajadah yang basah
Air mata
Engkau menangis dan berkata
“Kini saatnya engkau berjalan
Mencari jejakmu
Setegar air sungai
Yang mencari muaranya
Air mata ini tak kan terhenti
Bila engkau masih berdiam diri”

IBU

Oleh: Siti Atmamiah

Kau biarkan rahimmu mengekapku
9 bulan 10 matahari
Aliran darah menggenapkan tulang dan dagingku
Satu persatu

Doamu mengalun
Getar nafas tak menentu
Saat engkau berjalan

Tubuhmu yang membawa tubuhku
Hanya terdengar sentuhan cintamu
Suci
Abadi
Khidmat
Kerinduan panjang yang menunggu

Lalu aku menjerit
Bermandikan air ketuban
Aku sudah didepan pintu
Saat keringat membanjiri sekujur tubuhmu

Siapa aku ?
Ibu
Maafkan aku bila
Pipimu renta
Oleh air mata
Bertubi-tubi memandikan
Diriku yang berbayang

Ibu
Kupinjam surgamu
Melebur legam tubuhku

GUBAH

Oleh: Siti Atmamiah

Aku adalah gerimis yang menunggu
Rembulan singgah
Menyematkan cinta hingga
Fajar tiba
Tetapi langit masih sepi
Nyanyian bintang-bintang
Semisal bayang-bayang
Bukan hanya hitam menjadi
Tak tersentuh
Nyala api
Matahari yang risau
Terbangun oleh kokok bekisar
Hingga engkau jatuh dipelupuk mataku
Dan langit berubah
Menjadi puisi hidupku
Untuk kau gubah kembali
Dengan biru cintamu

UNTUK PUTRI BERGAUN HITAM

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
6 Juni 2001

Kepada malam yang berlari
Kunyanyikan kidung, dukaku berkelambu
Seusai ratapan bulan yang tersandar
Seberkas cahaya kini tentu berarti
Karena gelap terus menghantui

Kepada malam yang gelapnya tertidur
Kuimpikan satu wajah
Matanya yang mungil dipejamkan
Untuk satu pengandaian
Diantara sadar dan hilangnya kedirian
Masih digenggam anak panah
Entah kapan mulai berperang

Kepada malam yang gadisnya bergaun hitam
Kubiarkan gelapmu menyelimuti tidurku
Agar siang tak lagi jenuh menanti
Melati mekar
Rambahlah anganku, belailah rambutku
Semoga tangis berlabuh disini,
Dan cinta mencukupi

TELAGA BELAKANG RUMAH

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ketika rembulan mencelupkan wajahnya
Ditengah telaga belakang rumah kita
Hening mengintai
Tiupan angin menggugah rindumu
Namun tak mampu memecah cermin telaga itu
Tiba-tiba
Seekor ikan meloncat menangkap bulan
Memasuki lamunanmu, sepi, cemas lalu terhela
Membuat lingkaran- lingkaran gelombang dipermukaan telaga
Wajah rembulan tak sendu lagi
Larutkan rindumu pada keheningan yang diam
Karena ikan takkan lagi mengganggu
Jika rembulan menjelma batu
Yang rindunya kau bawa
Hingga tanganku menepuk bahumu
Akankah ikan-ikan meloncat lagi ?
Akankah rembulan mencelup lagi ?
Akankah lingkaran gelombang telaga terjadi lagi ?
Dan akankah rindumu membatu lagi ?

SELAMAT ULANG TAHUN

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Putri, Selamat ulang tahun
Ini kubawa ilalang untukmu
Kubungkus rapih dengan daun teratai danau biru
Kuharap engkau bahagia menerimanya
Sepertiku bahagia saat mencari
Mencari warna yang membiasi tepian antara kau dan aku

Putri, hari ini aku ingin memberi
Menumpahkan semua yang aku punya
Seperti jejak pengembara digurun pasir saat badai tiba
Tak ada yang tersisa, kecuali harap
Tak lagi air mata jatuh karena ketiadaanku menghadirkan bunga

Putri, kadang aku lupa
Menciumimu entah mengapa
Namun, kutahu, begitu saatmu tersenyum, aku merasa tak punya

Setelah berjalan bertahun-tahun dimatamu
Malam ini, aku ingin menapaki guratanku kembali
Walau garis-garisnya terlalu samar untuk dirasa
Yakinku, semua gubah irama kita, engkaulah ritmenya

Aku mendengar disela-sela rambutmu yang terderai
Sebuah nada menghanyutkan malam
Bahkan ilalang itu, tak sempat termenung akan nasibnya

Putri, Mendapatkanmu dihatiku, surga menjadi nafas
Dan aku hilang diantara semua senandung terataimu
Biarkan aku mencintaimu

Selamat ulang tahun, bahagialah atas kesederhanaan ini
Semoga engkau menjadi pelangi saat hujan mereda
Meronakan bias-bias warna dan hasrat
Lalu kembali meninggalkan kenangan
Untukku sekedar hadir
Bagiku itu kesempurnaan hidup
Dan engkaulah yang mengisinya

* Puisi ini dihadiahkan untuk kekasihku yang berulang tahun tanggal 16 mei, dan diletakkan pada bantal tidurnya pada tengah malam menjelang pukul 1 dini hari, dan ketika dia terbangun, segera sajak ini menjelma dan mengetuk-ngetuk pintu hatinya, Selamat Ulang Tahun Sayang !!

SANTIKA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Warna merahmu merayu Yogyakarta
Membelai lembut Malioboro
Hendak kulukis, engkau yang diam
Dipendam dalam
Hening yang surut
Katamu
Merah hanya guratan
Yang tak pernah selesai dicari
Pada rindu
Pada cemburu
Dan pada keinginan untuk merayu
Tapi cemburumu tak usai disana
Aku membawanya dengan pedati
Sepanjang benteng keraton
Untuk dikenang
Saat kembalimu pada senja
Yang merahnya tak usai-usai dicumbu
Dan saatnya, Aku kini
Tinggal satu tarikan nafasmu
Yang kelak akan tergantung indah didinding kamar santika

SAJAK MALAM PERTAMA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Malam ini,
Semenjak engkau lepas
Aku hilang
Dalam deru nafasmu yang basah
Siapa engkau
Melulu menatap bulu mataku
Yang siaga menangkap bulan
Untuk menipu
Hendak kau celupkan pada dadaku
Agar genap hitungan malam hingga fajar memanggil
Selesaikan pergulatan, engkau dan aku, lenyap
Sempurnalah malam

KERINDUAN YANG MEMBATU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Menggali rindumu sepanjang pematang hayatku
Tolehkan malam pada jari-jari yang menggulung
Entah dalam kelam ataupun cahaya rembulan
Aku hanya berpusara
Pada dalamnya tanah basah
Pada batu hitam
Pada daun rumput kering
Usah menghela atau menghembus nasib
Akan birunya laut
Akan hijaunya belantara
Akan sepimu yang mendengar
Kusertakan resah memburu terus
Menjalani hari-hari tanpa senyummu
Menggurati keakuan tanpa dagumu
Meruntuhkan keinginan sesatku tanpa air matamu
Pilu
Membujur kaku pada gundah
Dan temaramnya senja kota-kota tua, dukaku
Amat perih
Melanda, risaupun menepi
Engkau berjalan pada hitungan
Pedih dan aku hanya bisa memejamkan mata, untuk selalu Mencintaimu

ILALANG

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Ilalang dihalaman rumah kita semakin tajam liriknya
Menghujam rembulan tepat ditengah malam
Hingga jatuh kemilau
Gemersik cahayanya
Semilir berbisik-bisik
Hutan-hutan singgah
Dedaunan berlari-lari, senyum kecilmu yang tertatih
Aku adalah duka yang tertanam
Berabad-abad mengiringi kabut
Meniti lembah-lembah guraumu yang gersang
Selalu, pintamu
Mulailah dengan tanya,
Hendak kau suntingkah bunga kemarau itu?
Setelah rahasianya terurai?
Bersama gugur kelopaknya
Yang meraung-raung, pedih

Ilalang masih saja termangu
Walau hijaunya sepi dari rayuan matahari
Tapi kau berdiri saja
Memandangi lambaian waktu yang jatuh
Pada kekosongan
Awan meminta hujan dinyanyikan
Bermalam-malam menguak rindu
Sesampainya dipermukaan tanah basah
Kabarmu telah baka
Entah terbang bersama awan atau lebur bersama hujan
Aku tetap ilalang
Yang menerka-nerka kapan kau datang

REMBULAN CINTA 2

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Rembulan cinta, senyum menjelma
Menetaslah rindu
Tatkala bermula, senja termangu
Dan tak henti, ku sebut-sebut namamu

REMBULAN CINTA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Rembulan cinta rembulan malam
Rembulan yang luluh disudut matamu
Rembulan dingin saat jemari menyentuh
Tatap saja
Jangan kau usik
Karena tak cukup rindumu berbalut
Kabut bergulung-gulung
Mencari-cari awan menyingkir
Pada malam yang berkeluh
Aku masih menatapmu
Untuk meletakkan bunga-bunga
Lalu melepaskan perlahan-lahan kelopaknya

Sambil menghirup warna-warni semerbaknya
Tatap saja rembulanmu
Rembulan cinta rembulan malam
Rembulan yang kelopaknya berguguran
Karena cintamu padaku kini purnama

PULANG

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Selepas aliran sungaimu terhenti, aku kosong
Tak kudapati secangkir teh beruap senyum
Lagu-lagu bersyair dedaunan merintih
Dan entah lari kecilmu dilenganku,
Kau toleh hujan yang menggerimis
Malampun kian larut,
Hingga jemarimu tak sanggup lagi bercerita
Alang-alang dihalaman depan rumah
Ranting-ranting bambu yang menua dipinggir jalan
Batu-batu yang terus menghitam diseberang zaman
Dan tarikan nafasku, berhembuslah

Setahun sudah kumencarimu, engkau dimana ?
Aku tersesat
Kumasuki hutan-hutan emosimu
Kuarungi sungai-sungai risaumu
Kuhampiri dan seberangi danau-danau cemburumu
Bahkan aku lupa akan kakiku yang meratapi debu
Sampai hujanpun tak lagi mengenali jejak rintiknya
Engkau dimana ?

Tiba-tiba kudengar, engkau bernyanyi
Berseruling mengalirkan huruf-huruf kedalam puisi
Inikah engkau ?
Bukankah aku buta dan tuli ?
Hai belalang, aku dapat melihat
Hai kupu mengapa aku bisa mendengar ?
Tetapi..,
Tetapi mengapa hanya engkau yang dapat kulihat ?
Mana suara-suara halilintar, angin, burung-burung ,
Dan anak-anak angsa ?

Oh…
Engkau telah membuat semesta berdimensi satu
Bahkan mata dan telingaku pun sama merasa
Cinta
Cinta
Dan cinta

PESAN SINGKAT (SMS)

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Katamu telah kau hapus namaku dari ponselmu
Agar dapat menyembunyikanku
Pada setiap malam
Saat semua pesan terkubur
Engkau mencoba membangunkan rembulan
Semua kunang-kunang yang pergi
Dalam salju
Dalam butiran kristal mendaki
Dalam goa-goa yang menangis
Kau masih menunggu dering itu
Yang asing
Luruh dalam kendali huruf-huruf
Dan kini, saat kau menangis
Pesanku telah baka

MENITI HATI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Yogyakarta, 21 februari 2007

Rembulan belum mau turun saat kau bertutur;
Malam hening, kosong dari belalang

Beribu-ribu awan terbang menutup langit
Aku belum mengerti,
Mengapa tak sejenak kau berhenti menatapnya
Pernah kau sampirkan sekuntum mawar pada malam;
Usah menangis katamu
Tidak, akupun telah hilang
Tak sempat lagi air mata bergulir
Tak sempat lagi darah mengalir
Hutan-hutan dalam diriku telah terbakar
Lumat dalam tiupanmu; dahaga cinta
Merah menguak makna; terdamparlah
Semua hanya bayang ; aku tak pernah ada
Dan kutahu,
Aku hanya tangis yang tak pernah rampung kau rajut

DAN KATAMU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Saat rembulan menangis
Kubiarkan wajahmu berbias menyerupai angin
Tak ada kata
Tak ada harap
Tak ada bintang pada gaunmu
Ku coba lupakan guratan yang telah ada
Karena kita berdua hanyalah sejarah

Saat ini rembulan menjauhi garisnya sendiri
Menggores wajahmu berselimutkan embun
Tak ada hening
Tak ada penantian
Karena engkau hanyalah waktu
Yang bersembunyi ditepian cemasku
Dan saatnya tiba aku hanyalah bayang dari senyummu yang dulu

Dan katamu
Kuterima perpisahan ini sebagai cahaya
Cahaya rembulan yang tak henti bergelombang
Menaiki lembah mataku
Gurun-gurun keningku yang luka
Dan kau berenang-renang sambil melupakannya

KEPADA MIA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Dengarlah yang terlintas berbisik lirih
Dengarlah puisiku sebelum luruh ditelan senja
Sebelum malam menepi
Sebelum rembulan berpamit
Hendak bercerita pada doa-doa
Yang setia, menyapa waktu

Dengarlah dengan cinta
Walau Mia
Segala melarut dalam getaran tangismu
Usah bertanya
Mengapa musim tak jua reda ?
Mengapa laut tak henti-henti melepas gelombang ?
Dengarlah Mia
Musim selalu mengabadikan cerita,dan
Laut hendak menyibak warna birunya,semata
Karenamu jua

CINTAKU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto


Takkan ada cinta yang lebih indah
Bagiku; orang buta
Di tutupi biru langit rindunya
Kepada butiran gerimis disenja itu

Takan ada cinta yang lebih dalam
Bagiku; orang buta
Disimpan erat-erat sajaknya
Yang bimbang diucapkannya; langit kepada gerimis

Takan ada cinta yang lebih suci
Bagiku; orang buta
Direlakannya apa yang terlihat dilangit
Disimak rintik-rintik gerimis senja itu

JANGAN LEPASKAN JEMARIMU

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Jangan lepaskan jemarimu dari bola mataku
Aku akan terus berjalan disela kerlipmu
Mengatur nafas untuk menghela nasib
Kudengar dari balik fajarmu,
Sepotong doa yang terlukis
Pada langit subuh bergemuruh alunan adzan, begitu tabah
Aku akan berlari menghampiri embun duhamu
Yang berteriak disela gemuruh takdirku,
Seorang buta yang hanya menunggu
Saat gugurnya daun jati usai adzan subuh
Yang ranting-rantingnya menimpa rerumputan
Saat menanti gerimis
Yang akar-akarnya tak lagi merindukan butiran air tergelincir
Dari jemarimu yang basah
Hingga suaramu membangunkan mimpiku yang menetes
Pada daun jati, lalu mematahkan ranting
Dan membelah akar-akarnya,
Untuk sebuah harapan, pintaku
Jangan lepaskan jemarimu dari dua bola mataku

MATA

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Datanglah, menyelinap ke mataku
Sungguh tak pernah ku kenali
Sapamu
Pernah kutanyakan kepada diriku
Namun
Sia-sia
Yang kutemui hanyalah diriku saja
Ah…aku tergoda, ada yang selalu berbisik dimataku
Agar bisa melihat apapun
Desiran angin, setiap gemanya yang disisipkan pada
Setiap kata, setiap bait
Bahkan setiap huruf yang menciptakan puisi

Datanglah, berdiamlah dimata ini
Agar kudapat melihat berkelebatnya kilauan matahari
Saat embun menetes
Agar kudapat melihatmu ketika cahaya bintang menerpa
Butiran air tergelincir dari mata ini
Dan agar kubisa menerka-nerka semua kilauan warna
Yang pernah kau ucapkan

CEMBURU PADA MATAHARI

Oleh: Irwan Dwi Kustanto

Sejak hadirmu dulu
Mengulum puji, menebar rindu
Dan menjelang keinginan, aku mencari
Engkau yang terluka, bersembunyi berabad-abad
Menilai kepudaran untuk ditanamkan pada lembah jiwa
Luruh
Bergulung-gulung
Dan akhirnya tenggelam

Sejak hadirmu dulu
Aku merasa ada yang sungguh-sungguh tak ingin kuingat
Walau embun bersedia luntur
Walau garis cakrawala memudar
Dan camar-camar berkeluh
Aku tetap tak ingin hadirmu
Menggores kembali lembar demi lembar kenangan
Untuk ditinggalkan

Dan kini, ketika hadirmu tak sempat lagi dituliskan
Pada puisi-puisiku
Juga semua benih rindu yang pernah kau taburkan
Bertumbuh ilalang dilenganku
Aku berharap
Matahari tak lagi menoleh disisi cintaku padamu