Abstrak

Abstrak

Senin, Oktober 18, 2010

Indahnya Memberi

Oleh: Irwan Dwikustanto

Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang buta yang ingin bahagia dan memberi apa yang aku punya kepada sesama.

400 Penonton begitu hikmat saat alunan piano Marusya Nainggolan berdialog dengan rangkaian kata-kata yang terjalin dalam sebuah baid puisi "angin pun berbisik". Saat itu aku bagai di altar sebuah Istana langit. Entahlah apa yang ku rasakan saat itu, keharuan, bahagia, keteduhan dan kegembiraan yang luar biasa saat tepuk tangan ratusan orang terdengar bergemuruh ditelingaku.

"Malam ini aku akan melakukan satu hal yang telah 13 tahun dilakukan istriku ini setiap hari", kataku sambil memegang jemari tangan istriku dan dengan lembut kucium lentiknya itu. Gedung Kesenian Jakarta seakan-akan memberi penghormatan kepada kami, dan berucap, "Selamat atas pesta pernikahanmu".

Malam itu, Januari 2008, tak mungkin aku lupakan. Malam yang penuh cinta, malam yang membawa kami dalam sebuah pelangi kehidupan. Tak kurang dari Penyair, Budayawan, Musikus, Artis dan semua orang yang hadir dimalam itu, memandang kami dengan penuh cinta. Lampu- lampu, ornamen-ornamen serta aura gedung seperti berdansa mengelilingi kami. Rieke Dyah Pitaloka, Joko Pinurbo, M.Fajrur Rahman, juga turut bergabung dengan membacakan beberapa puisi yang terhimpun dalam antologi "angin pun berbisik".

Malam itu bagai sebuah perayaan pesta pernikahan yang dihadiahkan bagi aku dan istri. Memang 13 tahun lalu kami menikah dengan acara yang sangat sederhana disebuah desa bernama Bandung, Tulung Agung, Jawa Timur. Dan Peluncuran buku antologi "anginpun berbisik" bagai pesta yang dipersembahkan bagi ikatan cinta kami.

Tak cukup sampai disitu, "angin pun berbisik" lewat sentuhan para musikus, Endah 'n Rhesa, Jodhi Yudono & Irul, Dody & Riko (tunanetra), bermetamorpasa menjadi alunan tembang yang asyik disimak. Sungguh sebuah perayaan cinta yang agung.

Irwan Dwi Kustanto, bila mendengar nama ini tak urung kita bertanya, siapa? Tak ada yang mengenal nama itu sebagai penyair, apalagi dapat sebuah penghormatan dengan pesta peluncuran antologi puisi yang begitu terhormat, di sebuah Gedung bersejarah yang biasa digunakan seniman-seniaman besar sekelas Putu Wijaya. Apa yang melatar belakangi semua itu terjadi? Ijinkanlah aku bercerita.

Setelah hampir 10 tahun aku berusaha untuk mempercepat pengadaan buku-buku Braille di Indonesia, tahun 2004 aku tiba pada titik nadir. Aku merenungkan apa yang bisa ku perbuat untuk mewujudkan cita-cita itu. Aku ingin semua buku yang ada ditoko buku dapat dibeli dan dibaca oleh seorang buta sekalipun.

Pada suatu malam sampailah aku pada sebuah pemikiran:
"Mitranetra, yayasan dimana aku beraktivitas, tak mungkin sendirian melakukannya. Harus ada gerakan massal. Mesti ada sebuah upaya untuk mengajak masyarakat yang berkepantingan dengan buku untuk secara bersama-sama membantu Mitranetra mengetik ulang buku kedalam soft file computer. Para pengarang dan penerbit dengan meminjamkan soft file kepada Mitranetra tentu akan memotong secara signifikan waktu dan biaya pembuatan buku Braille.

Aku menggagas sebuah gerakan bertajuk "Seribu Buku Untuk Sahabat Tunanetra". Semalaman ditemani laptopku yang dapat bicara itu, aku menyusun sebuah konsep yang sekarang dikenal dengan "Seribu Buku Untuk Tunanetra" kedalam sebuah proposal.

Aku dan beberapa teman-teman di Mitranetra menyertakan proposal ini dalam sebuah ajang lomba bergengsi tingkat Asia Pasifik yang digelar oleh Perusahaan Elektronik Internasional. Konsep kami mengalahkan hampir 50 peserta lainnya dari Indonesia. Kami dihadiahi US$65,000 untuk menjalankan sebuah proyek Inovasi dan Pemanfaatan Technology Information (IT) bagi Peningkatan Kualitas Hidup Tunanetra Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan dan Pembangunan Kesadaran Masyarakat Terhadap Hak Penyandang Cacat di Indonesia.

Januari 2006, program "Seribu Buku untuk Tunanetra" diluncurkan. Kami sungguh optimis, Tantowi Yahya sebagai duta baca buku hadir saat itu memberikan dukungan penuh pada kami. IKAPI dengan Ketuanya Bapak Prof. Mahfudin memberi semangat kami dengan memberi sambutan dan meluncurkan gerakan itu.

Beberapa bulan kemudian FX Rudy Gunawan seorang novelis sekaligus Direktur Penerbit Gagas Media menggalang 7 novelis lainnya (Ayu Utami, Miranda Harlan, Fira Basuki, Icha Rahmanti, Ninit Yunita, Dewi Lestari dan Adhitya Mulya menyerahkan karya mereka untuk di salin kedalam huruf Braille. Dalam acara inilah yang diberi nama "dengan jari kami melihat dunia, dengan jari kita bergandeng tangan"bekerja sama dengan Forum Indonesia Membaca, "angin pun berbisik" memulai ceritanya.

Pada acara di perpustakaan di Senayan yang dihadiri lebih dari 60 wartawan cetak dan elektronik itu, aku mendemontrasikan bagaimana proses buku Braille terbentuk. Dimulai dari pengetikan naskah kedalam Ms-Word, kemudian diconversi menjadi huruf Braille oleh piranti lunak MBC (Mitranetra Braille Converter), dan selanjutnya dicetak dengan menggunakan embosser (Braille printer).

Dalam kesempatan itu naskah yang aku ubah menjadi huruf Braille adalah sebuah puisi karyaku sendiri berjudul "kuharap". Walau agak canggung karena dihadapan artis dan novelis terkenal namun proses pencetakan itupun berjalan dengan baik juga. Untuk memberi kesan kepada seluruh hadirin, sepontan aku mendaulat Fira Basuki untuk membacakan hasil cetakan itu. Tentu Fira tak membaca bentuk Braillenya melainkan tulisan latinnya yang aku tayangkan ke layer LCD.

"wah aku bergetar membacanya" kata Fira selesai membaca puisi itu. Entah karena didaulat secara spontan atau karena memang puisi itu yang membuatnya gemetar? Aku jadi gede rasa (gr) saat itu dibuatnya, terlebih seusai acara FX Rudi Gunawan bilang, "boleh juga puisimu, mana yang lain, kumpulkan ya, nanti kita terbitkan". Begitulah awal kelahiran antologi angin pun berbisik.

Setahun lebih kami (aku, Siti Atmamiah istriku dan Zeffa Yurihana putriku yang berusia 12 tahun) menulis segala yang kami rasakan dalam menjalin hubungan berkeluarga yang terpisah jarak. Memang sejak 2004 aku dan istri serta 3 putriku hidup terpisah. Aku di Jakarta mengelola Mitranetra sedang mereka di Tulung Agung Jawa Timur untuk menjaga nenek dan kakek anak-anakku, yang telah lanjut usia. Kesepian, kerinduan, dan semua yang melekat dihati kami justru menjadi inspirasi mencipta kata dan bersajak.

Sesungguhnyalah "angin pun berbisik" adalah segala rasa yang tumpah dari rasa kesepian, kerinduan, cinta yang tumbuh karena jarak antara kami.

Memasuki 2007, setelah gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra berjalan setahun, gerakan itu baru dapat menyalin 300 judul buku. Harus ada bahan bakar tambahan untuk akselerasi pikirku. Disinilah peran "angin pun berbisik". Aku usulkan kepada Istri dan Putriku, "bagaimana bila sajak-sajak ini kita dedikasikan untuk gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra?". Syukur kepada Tuhan, mereka dengan senang hati mendukung niatku itu.

Bagaikan bola salju yang tergelincir dari atas bukit, dukungan dari berbagai pihak deras membentuk bongkahan yang kian lama kian besar. Voice of Human Right, Perkumpulan Seni Indonesia dan Yayasan Mitranetra bahu membahu menyusun karya satu keluarga itu menjadi sebuah antologi cinta bertajuk "angin pun Berbisik".

Niat kami untuk berbagi itu telah di tangkap semesta dan di balasnya kami dengan berlipat-lipat. Bagaimana tidak;

  • "Angin pun berbisik" sepertinya antologi pertama di Indonesia yang ditulis oleh Ayah, Ibu dan Anak dalam sebuah kumpulan sajak cinta.

  • Budayawan Ahmad Sobari berkenan menulis kata pengantar untuk buku ini. Sedang design Cover terkenal Buldanul Khuri dan Ivan Sagita dengan sukarela menuangkan ide lukisan wajah terbalik menjadi cover bernuansa artistic untuk angin pun berbisik.

  • Gedung Kesenian Jakarta yang indah dan megah menjadi saksi lahirnya angin pun berbisik. Melani Budianta, penyair terkenal Joko Pinurbo dan M. Fajrul Rahman dengan penuh antusias menjadi panelis membahas dan mengupas aspek sastra "angin pun berbisik".

  • 26 Januari 2008, Media Indonesia memuat resensi buku "angin pun berbisik" berjudul "Gelora Cinta di Atas Jembatan" oleh Jamal D Rachman seorang penyair sekaligus Pimred majalah sastra Horison

  • Sebuah perusahaan pertambangan besar bersedia mensponsori pencetakan 3.500 eksemplar yang selanjutnya didistibusikan ke toko buku Gramedia. Dan saat tulisan ini dibuat, sedang dilakukan pencetakan kedua.

  • 14 Februari 2008 "angin pun berbisik" diundang dalam talk show yang dibawakan oleh Andy Noya di Metro TV. Kick andy menjadi puncak dari perayaan pesta kami di Januari 2008 yang sebelumnya surat kabar nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaharuan, Jakarta Pos, Jawa Pos dan lain-lain menuliskan pesta itu dalam terbitannya.

  • Setelah itu saya juga diundang O’Channel TV, radio-radio seperti D FM, Utan kayu FM, RRI Pro2, Hard Rock FM, Arca Buntung Yogyakarta, Delta FM untuk mengapresiasi "angin pun berbisik"

  • Kami juga tak menyangka, Bapak Bupati Tulung Agung setelah membaca berita kami di "Radar Tulung Agung" mengutus Kepala Dinas Pendidikan Kota Tulung Agung datang berkunjung ke sekolah anak kami Zeffa Yurihana untuk memberikan penghargaan. Perayaan khusus digelar di sekolah Al-Azar Desa Bandung Tulung Agung untuk memberikan apresiasi kepada siswa 12 tahun itu yang telah berprestasi turut menyusun "angin pun berbisik".

  • Endah 'n Resha duo musisi indi yang top bersedia memproduseri Album musikalisasi "angin pun berbisik". Dengan ajakan merekalah, Andre Harihandoyo, Christian (Tiket) DREW, Nino (RAN), Dody – Riqo, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Jodhi Yudono berhasil menyatu dalam sebuah album yang apik dan layak untuk disimak.

  • Pesta belum berakhir, 27 Agustus 2008 di Gedung Sositeit Yogyakarta diluncurkan Album Musikalisasi pusi "angin pun berbisik" dan terjemahan antologi tersebut dalam versi bahasa Inggris bertajuk "Whispering Breeze". Tokoh-tokoh ternama dalam bidang sastra Bakdi Sumanto, Landung Simatupang dan Dorothea Rosa Herliany berkenan membacakan sajak-sajak "angin pun berbisik". Tak kalah menariknya Wali kota Yogyakarta dan band papan atas Letto juga unjuk kebolehan membacakan puisi kami sebagai penghormatan.


Saya sadar kini, "memberi itu memiliki energi yang dahsyat, semesta sebagai Hukum Tuhan tak akan diam, Dia mengembalikan berlipat-lipat setiap apa yang kita berikan walau itu hanya sebuah huruf".
Hidup begitu indah, dan keindahannya sungguh nyata, begitu mempesona, tentu, tat kala kita mau berbagi, mau memberi.

Sumber: Milis Money Magnet@yahoogroups.com
Dikutip dari: http://www.eramuslim.net/?buka=show_artikel&id=877

Mendadak Penyair

Oleh: Mila Kamil

Saya memang cinta puisi. Saya memang penerjemah. Tapi saya tak pernah mimpi jadi penyunting puisi terjemahan bahasa Inggris. Bagi saya, mengedit terjemahan puisi bahasa Inggris bukan pekerjaan gampang. Bahasa puisi hampir selalu penuh kiasan dan cenderung mengabaikan SPOK (Subjek Predikat Objek Keterangan) yang justru menjadi syarat pembentukan kalimat agar dapat dimengerti. Bahasa puisi juga cenderung bias serta multi tafsir; dan menerjemahkan sesuatu yang multi tafsir tentu sulit dan merepotkan.

Namun justru pekerjaan yang sulit dan merepotkan inilah yang nekat saya lakukan pada bulan Februari 2008, saat saya diminta oleh Aria Indrawati dari Yayasan Mitra Netra (YMN) Jakarta untuk menyunting versi bahasa Inggris antologi puisi Angin Pun Berbisik (Whispering Breeze) yang ditulis oleh seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto bersama istrinya Siti Atmamiah dan putrinya Zeffa Yurihana. Penerbitan antologi puisi ini merupakan proyek penggalangan dana untuk membiayai pembuatan buku braille.

Kaget juga rasanya diminta melakukan hal ini. Saya memang penerjemah dan penyunting bahasa Inggris, tapi untuk teks biasa, bukan puisi. Saya memang suka membaca atau menulis kalimat yang puitis, tapi itu dalam bahasa Indonesia. Merasa tak mampu, saya pun melakukan tawar-menawar. Beberapa alternatif solusi saya kemukakan untuk menghindari tugas ini. Mulai dari meminta penerjemahnya sendiri yang menyunting, mengusulkan native speaker untuk jadi penyunting, sampai membuka lowongan pekerjaan untuk proyek ini. Tapi Aria menolak semua usul saya. Beliau tetap memilih saya.

"Ayolah Mila, kami percaya padamu. Kamu tahu sendiri kan, banyak hal yang kami impikan yang akhirnya bisa terwujud karena kita saling percaya dan saling dukung. Sekarang pun kita pasti bisa," dia menyakinkan saya.

Mereka percaya pada saya. Itu kunci yang akhirnya membuka pintu hati saya untuk kembali mendukung cita-cita mereka. Teman-teman tunanetra yang saya cintai ini mempercayai saya untuk membantu mereka. Mereka yakin saya bisa. Kenapa saya sendiri yang justru tidak yakin? Kenapa saya tak mau mencoba? Toh yang membuat saya ragu hanyalah karena saya belum pernah melakukan hal ini. Siapa tahu, setelah saya coba, ternyata saya bisa. We'll never know, if we don't try.

Maka, saya pun mendadak jadi penerjemah yang penyair selama tiga bulan. Selama itu pula, saya menolak proyek terjemahan dari klien-klien lain. Pusing, penat, nyaris putus asa, jangan ditanya lagi. Beberapa kali saya merasa tak sanggup bertahan. Tapi setiap kali hampir menyerah, saya teringat ucapan Aria yang penuh optimisme. Mereka percaya pada saya. Saya tak mau mengkhianati kepercayaan mereka.

Akhirnya, selesailah pekerjaan besar saya. Whispering Breeze yang terdiri dari 120 puisi terjemahan itu bahkan mendapat pujian dari sahabat kami John O'Sullivan, seorang native speaker berkebangsaan Irlandia pecinta puisi yang kami minta menjadi proofreader. Alhamdulillah.

Bagi orang lain, buku antologi puisi Whispering Breeze mungkin cuma buku biasa. Tapi bagi saya, buku ini adalah tonggak penting dalam hidup saya. Kini, tiap kali saya merasa hampir putus asa melakukan sesuatu, saya mengambil buku itu dari lemari dan mengingat-ingat cerita di balik pembuatannya. Maka seketika saya pun kembali yakin bahwa rasa saling percaya dan saling dukung yang kemudian menumbuhkan rasa percaya diri selalu bisa menjadi motor penggerak yang membuat saya mampu berbuat lebih dan lebih!

Tulisan ini pernah dimuat di kolom Samar, majalah Khalifah, edisi Februari 2009.
http://lumbungide.com/publikasi/artikel/61-mendadak-penyair.html?lang=&fontstyle=f-larger

Kamis, Oktober 14, 2010

Makalah Melani Budianta "Sajak-sajak yang berbisik tentang cinta"

Makalah Melani Budianta "Sajak-sajak yang berbisik tentang cinta". Kupasan
antologi Anginpun Berbisik, 23 Januari 2008 di Gedung Kesenian Jakarta.
Link Download: Sajak-sajak yang berbisik tentang cinta