Oleh: Zeffa Yurihana
Aku mendekatimu
Dengan penuh tanda tanya
Kau menolongku
Dari segala kesulitan
Dari segala kesusahan
Oh… guru
Kau mengajariku dengan penuh kesabaran
Kau mengajariku tanpa mengharapkan balas budi
Aku berhutang budi padamu
sejak kau keluar dari buku
Aku menjadi diriku sendiri
Oh... guru
Saat kau meninggalkan langit-langit kelasku
Penuh haru
Aku merindukanmu, sungguh
Terimakasih, doaku menumpah kepadamu
Abstrak

Selasa, April 14, 2009
BULAN
Oleh: Zeffa Yurihana
April 2005
Ditengah malam yang gelap
Dengan cahayamu yang terang
Ditemani bintang yang berserakan
Duniaku menjadi terang, karena bulan
Oh bulan…
Cahayamu sangatlah terang
Seperti kelap-kelip mata peri
Ditemani bintang yang sangat banyak
Berenang-renang dilangit luas
Kau tetap indah dan rendah hati
Terimakasih bulan yang telah menerangi alamku
April 2005
Ditengah malam yang gelap
Dengan cahayamu yang terang
Ditemani bintang yang berserakan
Duniaku menjadi terang, karena bulan
Oh bulan…
Cahayamu sangatlah terang
Seperti kelap-kelip mata peri
Ditemani bintang yang sangat banyak
Berenang-renang dilangit luas
Kau tetap indah dan rendah hati
Terimakasih bulan yang telah menerangi alamku
TENGAH MALAM
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Berjalan ditengah malam
Bersama bulan mengikuti dibelakang
Setia berabad-abad
Aku merasa tenang, beriring-iring
Tapi saat kulihat ke bumi
Bayang-bayangku nampak iri, cemburu
Tak henti mengiringi kemana ku melangkah
Ataukah bayang dan bulan sepasang kekasih?
Yang tercipta dari kumpulan doa diantaramu ditengah malam?
Atau keduanya sedang bercinta?
Agar semua yang hidup dapat saling menukar rindu?
Tengah malam diantara bayang dan rembulan
Aku mengaku
Kosong,
Sepi,
Lenyap
Dan ternyata aku adalah bukit peraduan
Antara bulan dan bayang yang sungguh setia
Menjalani takdirnya sendiri, bercinta
Berjalan ditengah malam
Bersama bulan mengikuti dibelakang
Setia berabad-abad
Aku merasa tenang, beriring-iring
Tapi saat kulihat ke bumi
Bayang-bayangku nampak iri, cemburu
Tak henti mengiringi kemana ku melangkah
Ataukah bayang dan bulan sepasang kekasih?
Yang tercipta dari kumpulan doa diantaramu ditengah malam?
Atau keduanya sedang bercinta?
Agar semua yang hidup dapat saling menukar rindu?
Tengah malam diantara bayang dan rembulan
Aku mengaku
Kosong,
Sepi,
Lenyap
Dan ternyata aku adalah bukit peraduan
Antara bulan dan bayang yang sungguh setia
Menjalani takdirnya sendiri, bercinta
SYUKUR
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Alhamdulillah, hari ini ada tanya
Mengapa aku tak mengingatMU?
Sedangkan Engkau tak lepas
Mengirim butir-butir embun pagi tadi
Membasahi hati saat dhuha
Aku tersisih dari luka dan berkata untukMu
Engkaulah diam itu dan aku lembar ruang dan waktuMu.
Alhamdulilah, ada seuntai resah
Berlalu dalam urutan, menunggu sayap-sayapmu dikepakkan
Padahal senja telah meninggalkan doa
Aku bermalam dalam senyap
Berselimut gundah dan bermimpi
Pada sungai-sungai perjanjianmu
Untuk menembusi ruang, dan memasuki waktuMu,
Aku bahkan berkelana
Pada daun-daun kering
Pada karang-karang terjal
Pada mendung yang tak diinginkan
Dan pada kegelapan yang sengaja diletakkan
Aku tak beranjak, memegangi langit
Dan menghirup semerbak kilatmu
Hingga sebutir embun mencukupi seluruh bekalku menemuimu
Alhamdulillah, hari ini ada tanya
Mengapa aku tak mengingatMU?
Sedangkan Engkau tak lepas
Mengirim butir-butir embun pagi tadi
Membasahi hati saat dhuha
Aku tersisih dari luka dan berkata untukMu
Engkaulah diam itu dan aku lembar ruang dan waktuMu.
Alhamdulilah, ada seuntai resah
Berlalu dalam urutan, menunggu sayap-sayapmu dikepakkan
Padahal senja telah meninggalkan doa
Aku bermalam dalam senyap
Berselimut gundah dan bermimpi
Pada sungai-sungai perjanjianmu
Untuk menembusi ruang, dan memasuki waktuMu,
Aku bahkan berkelana
Pada daun-daun kering
Pada karang-karang terjal
Pada mendung yang tak diinginkan
Dan pada kegelapan yang sengaja diletakkan
Aku tak beranjak, memegangi langit
Dan menghirup semerbak kilatmu
Hingga sebutir embun mencukupi seluruh bekalku menemuimu
SIAPA
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Tanyaku padaMu
Siapa aku?
Tak henti disini
Dimuka awalMu dulu
Menduakan segala
Malam dan siang
Hidup dan mati
Gelap dan terang bahkan ada dan tiada
Tanyaku lagi
Siapa Engkau?
Satu dalam dua
Dua dalam satu
Menjadi kemudian
Ah … ternyata kemudian menjadi
Menjadi cinta, Cinta yang membatu
Menggunung dilangit rindu
Membuka semesta dan menutup metafisika
Untuk kau dan aku sama-sama menepi
Menyelesaikan 99 asma untuk dituliskan
Pada mi’rajku
Pada tahiat akhir
Dan pada ka’bah dalam dadaku
Tanyaku padaMu
Siapa aku?
Tak henti disini
Dimuka awalMu dulu
Menduakan segala
Malam dan siang
Hidup dan mati
Gelap dan terang bahkan ada dan tiada
Tanyaku lagi
Siapa Engkau?
Satu dalam dua
Dua dalam satu
Menjadi kemudian
Ah … ternyata kemudian menjadi
Menjadi cinta, Cinta yang membatu
Menggunung dilangit rindu
Membuka semesta dan menutup metafisika
Untuk kau dan aku sama-sama menepi
Menyelesaikan 99 asma untuk dituliskan
Pada mi’rajku
Pada tahiat akhir
Dan pada ka’bah dalam dadaku
SAJAK UNTUK MIA
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Saat pelangi jatuh dikeningmu
Hidupku menggeliat
Jangan pejamkan matamu, biarkan cahayanya berbisik
Menembusi gunung-gunung resahku
Menyelami lautan gelisahku
Dan membakar hutan-hutan emosiku yang rapuh
Nona mia, sungguh kutahu
Mencintaimu adalah kehidupan sabana saat gerimis datang
Aku ingin tinggal pada ilalang yang
Sepoi-sepoi mengalir lembut embun rindumu
Dari duri kaktus; begitu hening
Desahmu adalah kicau kenari yang malu, begitu syahdu
Saat pelangi pulang,
Aku akan bertebaran
Dalam sabana dalam gerimis dalam duri kaktus
Dan dalam kicau kenari, dengarkanlah,
Aku mencintaimu
Saat pelangi jatuh dikeningmu
Hidupku menggeliat
Jangan pejamkan matamu, biarkan cahayanya berbisik
Menembusi gunung-gunung resahku
Menyelami lautan gelisahku
Dan membakar hutan-hutan emosiku yang rapuh
Nona mia, sungguh kutahu
Mencintaimu adalah kehidupan sabana saat gerimis datang
Aku ingin tinggal pada ilalang yang
Sepoi-sepoi mengalir lembut embun rindumu
Dari duri kaktus; begitu hening
Desahmu adalah kicau kenari yang malu, begitu syahdu
Saat pelangi pulang,
Aku akan bertebaran
Dalam sabana dalam gerimis dalam duri kaktus
Dan dalam kicau kenari, dengarkanlah,
Aku mencintaimu
RUMAH KACA
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
20 Mei 1991
Rumah dingin ini pernah kudiami
Tempatku bermain dan menangis, rindu
Malam-malamnya bercermin bulan
Siangpun bermandikan embun
Rumah sepi ini buatku hilang
Aku terjepit dipintu dukanya
Aku menjerit, namun tak satu jendela memaling padaku
Kurasa kini darah mengalir mendesak emosi
Antara tabah dan dendam, aku disisihkan
Rumah kaca ini bulan-bulanan dan lingkaran petak umpatku
Dimana ku mandi dan bersungai
Mengisah kau pada lengan
Aku bertamu
Dan sungguh lumatlah sosokku
Tak bertepi, lagi melangut pada sudut LangitMu
Aku enggan bermimpi pada kamar-kamar yang bergema
Karena Dalamnya ruas kitabmu membakar
Panas, luruh dan lenyap pada cintamu
20 Mei 1991
Rumah dingin ini pernah kudiami
Tempatku bermain dan menangis, rindu
Malam-malamnya bercermin bulan
Siangpun bermandikan embun
Rumah sepi ini buatku hilang
Aku terjepit dipintu dukanya
Aku menjerit, namun tak satu jendela memaling padaku
Kurasa kini darah mengalir mendesak emosi
Antara tabah dan dendam, aku disisihkan
Rumah kaca ini bulan-bulanan dan lingkaran petak umpatku
Dimana ku mandi dan bersungai
Mengisah kau pada lengan
Aku bertamu
Dan sungguh lumatlah sosokku
Tak bertepi, lagi melangut pada sudut LangitMu
Aku enggan bermimpi pada kamar-kamar yang bergema
Karena Dalamnya ruas kitabmu membakar
Panas, luruh dan lenyap pada cintamu
RINDUKU PADAMU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
1 Januari 2007
Semerbak mawar
Tak terurai walau merah kelopaknya menggema
Tak terserap walau wanginya menebar
Rinduku kepadamu:Kilau embun pagi
Ditaburkannya bisik semerbak mawar
Pada gema tetesnya
Yang bergulir memasuki hari
Rinduku padamu:Desiran angin
Diletakkannya galau wangi mawar
Pada risau hembusnya
Yang malu-malu itu
Untuk menawarkan cinta
Pada sang waktu yang tak pernah sabar menunggu
1 Januari 2007
Semerbak mawar
Tak terurai walau merah kelopaknya menggema
Tak terserap walau wanginya menebar
Rinduku kepadamu:Kilau embun pagi
Ditaburkannya bisik semerbak mawar
Pada gema tetesnya
Yang bergulir memasuki hari
Rinduku padamu:Desiran angin
Diletakkannya galau wangi mawar
Pada risau hembusnya
Yang malu-malu itu
Untuk menawarkan cinta
Pada sang waktu yang tak pernah sabar menunggu
ANDONG MBATIKAN
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Roda andong mengalir saat kau dan aku menuju
Menuju rumpun bambu dibalik dusun laramu
Katamu, kau lihatlah kekiri betapa semaraknya ilalang
Sedang aku kekanan dengan lambaian perdu merayu
Kita berdua ditunggu ibu, menenun rindu
Roda andong menggores bumi
Menyapa kau dan aku meniti arah pondok
Katamu, lihatlah keatas bulanmu tak sabar menua
Sedang aku menyusuri setapak harapan, bintangkan jatuh
Ibu menanti malamnya berjamu teh bukan?
Berpuluh-puluh tahun roda andong masih mencari
Mencari rumpun bambu yang rindu
Rindu akan sapamu dengan kupu-kupu
Akan cemburumu dengan batu yang tersentuh bayu
Akan jengkelmu pada waktu yang berlalu
Bahkan pada aku yang menunggu
Menunggu andong berbuku-buku
Kini kutulis lagi putaran roda
Bersamamu mbatikan hingga pondok
Yang kutahu, itu perjalanan dunia, menunggumu
Terus di atas andong, hingga ku yakin kau ada
Berkata dan menyapa lalu hanyut bersama putarannya
Andong mbatikan menyelesaikan rajutan ibu bagi kau dan aku.
Roda andong mengalir saat kau dan aku menuju
Menuju rumpun bambu dibalik dusun laramu
Katamu, kau lihatlah kekiri betapa semaraknya ilalang
Sedang aku kekanan dengan lambaian perdu merayu
Kita berdua ditunggu ibu, menenun rindu
Roda andong menggores bumi
Menyapa kau dan aku meniti arah pondok
Katamu, lihatlah keatas bulanmu tak sabar menua
Sedang aku menyusuri setapak harapan, bintangkan jatuh
Ibu menanti malamnya berjamu teh bukan?
Berpuluh-puluh tahun roda andong masih mencari
Mencari rumpun bambu yang rindu
Rindu akan sapamu dengan kupu-kupu
Akan cemburumu dengan batu yang tersentuh bayu
Akan jengkelmu pada waktu yang berlalu
Bahkan pada aku yang menunggu
Menunggu andong berbuku-buku
Kini kutulis lagi putaran roda
Bersamamu mbatikan hingga pondok
Yang kutahu, itu perjalanan dunia, menunggumu
Terus di atas andong, hingga ku yakin kau ada
Berkata dan menyapa lalu hanyut bersama putarannya
Andong mbatikan menyelesaikan rajutan ibu bagi kau dan aku.
PHOTO
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Malam sunyi menatap photomu, aku bernyanyi
Pada lagu-lagu yang tersandar di meja sudut hati
Ah... senyummu
Ah... tahi lalatmu
Ah... dagumu
Mengabarkan segala perjalanan malammu pada buku-bukuku
Menatap photo bening dengan kemuraman, aku terjaga
Masih saja warna wajahmu menggeliat pada mimpi-mimpi Malamku
Guratan tepian bingkai
Serat-serat kerisauan
Dan janji-janji
Menemukan hadirku dalam air mata
Dan sayangku, gambarmu kubawa serta dengan kunang-kunang
Akan kutunjukkan kepada Hawa, dimana pohon khuldi berakar Pada lenganmu
Dan ceritaku berujung pada dedaunan cinta
Yang menjadikan Adam mengenal semesta
Sayang,
Walaupun aku buta, photomu tetap menggema
Terlukis pada garis tanganku
Mengalun pada ruang-ruang bahuku
Dan menjelmakan kehidupan
Hingga Surga dan Neraka tak lagi ada,
Kecuali Cinta
Malam sunyi menatap photomu, aku bernyanyi
Pada lagu-lagu yang tersandar di meja sudut hati
Ah... senyummu
Ah... tahi lalatmu
Ah... dagumu
Mengabarkan segala perjalanan malammu pada buku-bukuku
Menatap photo bening dengan kemuraman, aku terjaga
Masih saja warna wajahmu menggeliat pada mimpi-mimpi Malamku
Guratan tepian bingkai
Serat-serat kerisauan
Dan janji-janji
Menemukan hadirku dalam air mata
Dan sayangku, gambarmu kubawa serta dengan kunang-kunang
Akan kutunjukkan kepada Hawa, dimana pohon khuldi berakar Pada lenganmu
Dan ceritaku berujung pada dedaunan cinta
Yang menjadikan Adam mengenal semesta
Sayang,
Walaupun aku buta, photomu tetap menggema
Terlukis pada garis tanganku
Mengalun pada ruang-ruang bahuku
Dan menjelmakan kehidupan
Hingga Surga dan Neraka tak lagi ada,
Kecuali Cinta
MUSIM SEMIMU, AKU MENGENANGMU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Mitranetra, 6 Februari 2006
Kau datang tepat saat rembulan bermimpi
Berlari-lari kecil disemak jalan desa seberang danau,
Dimana sering kau petikkan bintang biru keunguan untukku
Katamu, simpan bintang ini, letakkan dibawah selimut malammu, dan bermimpilah.
Aku tersipu, sungguh engkau melarutkan seluruh masaku
Diatas gelombang danau itu.
Tak henti-henti senyummu terbangkan kabut
Kedalam relung hatiku
Dan daun-daunpun menjadi lampion semarakkan pestamu
Wajah rembulan kini sendu
Mengingatmu penuh rindu
Akan sapamu
Candamu
Gelaktawamu
Dan seluruh pena yang menulis pada lembar-lembar e-mailmu
Tiga bulan memang tak cukup untuk kita seberangkan perahu
Tiga bulan, bukan waktu yang mampu merajut ilalang menjadi Permadani hidup
Tiga bulanpun tak mampu mengubah salju menjadi taman bermain angsa-angsa
Namun tiga bulan cukuplah untuk kutumpahkan cinta
Kedalam danaumu
Danau yang menggeliatkan rembulan untuk menari
Dan terbangun dari mimpinya digunung balong,
Untuk tersenyum dan menyalakan lilin
Dimana tongkat-tongkat kami menggariskan warna
Pada musim semimu
Serta riglet dan stilus kami yang mengalunkan partitur-partitur dalam hatimu.
Kudengar nada lirih menghanyutkan malam
Bermimpilah bersama rembulan, biarkan awan-awan berselimutkan bintang
Menggapai-gapai butir-butir salju bergelantung
Dipucuk-pucuk cemara
Dan cukuplah hadirmu dimusim semi itu
Menjadi pelangi dihari-hari kami
Jika saat musimmu tiba, aku hadir dalam hembusan lembut
Angin tenggara
Membawa semerbak mawar jingga, kabarkan gemulainya tarian seekor rusa
Dan tulip yang meronakan bayang-bayang senja
Hingga kau dan rembulan sama-sama terlena dalam pelukan
Dan kami selalu hadir dengan selimut cinta
* Puisi ini tercipta sebagai ungkapan terimakasih kami pada Nyonya Hilde De Brauw (sukarelawan dari Belgia) yang selama 3 bulan setia memberikan kasih dan pembelajarannya. Kami harap ini dapat menjadi hadiah kecil dan tersimpan dalam hatimu, seperti kami menyimpan segala kebaikanmu, kerjakerasmu untuk kami, dan seluruh keramahan yang menghiasi hari-hari Mitranetra.
Mitranetra, 6 Februari 2006
Kau datang tepat saat rembulan bermimpi
Berlari-lari kecil disemak jalan desa seberang danau,
Dimana sering kau petikkan bintang biru keunguan untukku
Katamu, simpan bintang ini, letakkan dibawah selimut malammu, dan bermimpilah.
Aku tersipu, sungguh engkau melarutkan seluruh masaku
Diatas gelombang danau itu.
Tak henti-henti senyummu terbangkan kabut
Kedalam relung hatiku
Dan daun-daunpun menjadi lampion semarakkan pestamu
Wajah rembulan kini sendu
Mengingatmu penuh rindu
Akan sapamu
Candamu
Gelaktawamu
Dan seluruh pena yang menulis pada lembar-lembar e-mailmu
Tiga bulan memang tak cukup untuk kita seberangkan perahu
Tiga bulan, bukan waktu yang mampu merajut ilalang menjadi Permadani hidup
Tiga bulanpun tak mampu mengubah salju menjadi taman bermain angsa-angsa
Namun tiga bulan cukuplah untuk kutumpahkan cinta
Kedalam danaumu
Danau yang menggeliatkan rembulan untuk menari
Dan terbangun dari mimpinya digunung balong,
Untuk tersenyum dan menyalakan lilin
Dimana tongkat-tongkat kami menggariskan warna
Pada musim semimu
Serta riglet dan stilus kami yang mengalunkan partitur-partitur dalam hatimu.
Kudengar nada lirih menghanyutkan malam
Bermimpilah bersama rembulan, biarkan awan-awan berselimutkan bintang
Menggapai-gapai butir-butir salju bergelantung
Dipucuk-pucuk cemara
Dan cukuplah hadirmu dimusim semi itu
Menjadi pelangi dihari-hari kami
Jika saat musimmu tiba, aku hadir dalam hembusan lembut
Angin tenggara
Membawa semerbak mawar jingga, kabarkan gemulainya tarian seekor rusa
Dan tulip yang meronakan bayang-bayang senja
Hingga kau dan rembulan sama-sama terlena dalam pelukan
Dan kami selalu hadir dengan selimut cinta
* Puisi ini tercipta sebagai ungkapan terimakasih kami pada Nyonya Hilde De Brauw (sukarelawan dari Belgia) yang selama 3 bulan setia memberikan kasih dan pembelajarannya. Kami harap ini dapat menjadi hadiah kecil dan tersimpan dalam hatimu, seperti kami menyimpan segala kebaikanmu, kerjakerasmu untuk kami, dan seluruh keramahan yang menghiasi hari-hari Mitranetra.
MENCARI
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Saatku terbangun, matahari telah lelah bersinar
Ketimur ataupun kebarat siapa peduli
Malah diam menghantui
Seperti bayangan berlalu,
Acuh dan menghilang
Nelangsaku tentukan hari, sepi
Membuat sisi pagimu diantara harapan dan kenyataan
Saat kau pergi matahari enggan tenggelam
Menyisihkan sedikit rindu yang hampir terbuang
Menyisir satu-persatu kenangan
Pada batu
Pada awan
Pada lengan
Pada dagumu yang akan hilang
Bersama malam dan semuanya nilai hadirmu
Saatku sadar engkau telah pergi
Meninggalkan garis-garis dan guratan sejarah
Diam namun penuh makna
Tersembunyi dibalik semua ruang batinku
Terus diam, jangan menjadi
Aku terima air mata ini sebagai tanda aku bahagia
Bahagia saat menetes
Bahagia saat mengalir
Dan bahagia saat kuselesaikan tangisku pada namamu
Saatku terbangun, matahari telah lelah bersinar
Ketimur ataupun kebarat siapa peduli
Malah diam menghantui
Seperti bayangan berlalu,
Acuh dan menghilang
Nelangsaku tentukan hari, sepi
Membuat sisi pagimu diantara harapan dan kenyataan
Saat kau pergi matahari enggan tenggelam
Menyisihkan sedikit rindu yang hampir terbuang
Menyisir satu-persatu kenangan
Pada batu
Pada awan
Pada lengan
Pada dagumu yang akan hilang
Bersama malam dan semuanya nilai hadirmu
Saatku sadar engkau telah pergi
Meninggalkan garis-garis dan guratan sejarah
Diam namun penuh makna
Tersembunyi dibalik semua ruang batinku
Terus diam, jangan menjadi
Aku terima air mata ini sebagai tanda aku bahagia
Bahagia saat menetes
Bahagia saat mengalir
Dan bahagia saat kuselesaikan tangisku pada namamu
MUARA JINGGA YANG TERBELAH
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
16 Juni 1991
Sementara hujan tak lagi reda
Kita terus mendayung sampan
Yang kita rancang sendiri, ke sungai-sungai impian
Kala arus mendorong lebih keras,
Kita semakin tak peduli
Bahkan diri kita
Kelelahanku tersampir dibelahan rambutmu
Yang terurai
Katamu, “Akan kemana kita?”
Tak usah bertanya
Sungai ini tak menyimpan jawaban
Suara riaknya tak dapat kita terjemahkan
Bahkan, cadasnya pun hanya membuat kau cemburu
Tidurlah merpati putihku
Tak usah kau menghiraukan kenangan
Yang usang
Kutahu gores sayat batu cadas itu belum sembuh
Sedangkan kepak sayapmu menyimpan luka, dalam
Biarlah kudayung sampan kita sendiri saja
Kujanjikan muara untuk bangun pagimu
Walau kutahu arus akan terputus disana
Dan …
Sampan kita mungkin akan terbelah
Air sungai tak pernah tetap
Hingga batas antara tawar dan asin
Sungguh kau pernah mengatakannya
Kalau tak aku lupa, sehingga petir
Menggugah gairah
Teruskan merpatiku berminpi
Hingga muara yang akan mengubah kesadaran diri
Disana sampan kita kan terbelah
Menyerah pada kerinduannya sendiri, yang usang tertelan masa
16 Juni 1991
Sementara hujan tak lagi reda
Kita terus mendayung sampan
Yang kita rancang sendiri, ke sungai-sungai impian
Kala arus mendorong lebih keras,
Kita semakin tak peduli
Bahkan diri kita
Kelelahanku tersampir dibelahan rambutmu
Yang terurai
Katamu, “Akan kemana kita?”
Tak usah bertanya
Sungai ini tak menyimpan jawaban
Suara riaknya tak dapat kita terjemahkan
Bahkan, cadasnya pun hanya membuat kau cemburu
Tidurlah merpati putihku
Tak usah kau menghiraukan kenangan
Yang usang
Kutahu gores sayat batu cadas itu belum sembuh
Sedangkan kepak sayapmu menyimpan luka, dalam
Biarlah kudayung sampan kita sendiri saja
Kujanjikan muara untuk bangun pagimu
Walau kutahu arus akan terputus disana
Dan …
Sampan kita mungkin akan terbelah
Air sungai tak pernah tetap
Hingga batas antara tawar dan asin
Sungguh kau pernah mengatakannya
Kalau tak aku lupa, sehingga petir
Menggugah gairah
Teruskan merpatiku berminpi
Hingga muara yang akan mengubah kesadaran diri
Disana sampan kita kan terbelah
Menyerah pada kerinduannya sendiri, yang usang tertelan masa
MENARA EIFFEL
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Menara itu menundukkan kepala
Dingin, beku, tak berbekas
Dilangit orang-orang memanggil
Menabur tulip pada sela dukanya
Yang tertinggal disudut Paris
Ketika bumi meratapi senjanya
Engkau memilih untuk diam
Bertahun-tahun mandi bunga matahari
Walau rindu telah diungkap
Namun tak urung
Sia-sia menunggu
Kekasihnya telah pergi
Menara itu menundukkan kepala
Dingin, beku, tak berbekas
Dilangit orang-orang memanggil
Menabur tulip pada sela dukanya
Yang tertinggal disudut Paris
Ketika bumi meratapi senjanya
Engkau memilih untuk diam
Bertahun-tahun mandi bunga matahari
Walau rindu telah diungkap
Namun tak urung
Sia-sia menunggu
Kekasihnya telah pergi
MELEPAS JENASAH IBU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Aku berdiri diantara bunga asing itu
Menatap kosong pada wanginya yang bergejolak
Ibu bersandar
Luluh pada perjalanan panjang
Yang siangnya dihadapkan pada lengan anak-anaknya
Sebuah harapan
Untuk melepaskan jerat kaki anaknya
Yang berat
Yang kadang langit memberi hujan saat tangis malam anaknya
Yang gerimis ditebarkan pada langkah kaki anaknya
Ke sekolah dulu
Yang doa-doanya bergemuruh bersama kilat di pagi musim itu
Aku berdiri diantara orang-orang asing itu
Menatap hampa pada wajah mereka yang kering
Ibu bersedekap
Pasrah pada iringan zaman
Untuk menyelesaikan doa bagi anak-anaknya
Yang belum sempat membersihkan halaman rumah
Dari dedaunan kering musim gugur dulu
Yang belum berniat membasuh kaki
Dari debu-debu musim kemarau itu
Juga yang lupa menutup pintu
Entah karena ingin bergurau dengan angin, atau karena meminta bintang bermalam disana
Tapi ibu, sungguh, seluruh hidupmu adalah doa
Takkan usai, walau tanah membasahi seluruh doamu
Aku masih berdiri diantara ilalang asing itu
Menangis lirih pada lambaiannya yang damai
Ibu bersimpuh
Pada Cintanya
Yang tertanam
Pada doa-doanya
Yang terkubur
Pada semua
Yang pernah dititipkan pada anak-anaknya
Aku berdiri diantara bunga asing itu
Menatap kosong pada wanginya yang bergejolak
Ibu bersandar
Luluh pada perjalanan panjang
Yang siangnya dihadapkan pada lengan anak-anaknya
Sebuah harapan
Untuk melepaskan jerat kaki anaknya
Yang berat
Yang kadang langit memberi hujan saat tangis malam anaknya
Yang gerimis ditebarkan pada langkah kaki anaknya
Ke sekolah dulu
Yang doa-doanya bergemuruh bersama kilat di pagi musim itu
Aku berdiri diantara orang-orang asing itu
Menatap hampa pada wajah mereka yang kering
Ibu bersedekap
Pasrah pada iringan zaman
Untuk menyelesaikan doa bagi anak-anaknya
Yang belum sempat membersihkan halaman rumah
Dari dedaunan kering musim gugur dulu
Yang belum berniat membasuh kaki
Dari debu-debu musim kemarau itu
Juga yang lupa menutup pintu
Entah karena ingin bergurau dengan angin, atau karena meminta bintang bermalam disana
Tapi ibu, sungguh, seluruh hidupmu adalah doa
Takkan usai, walau tanah membasahi seluruh doamu
Aku masih berdiri diantara ilalang asing itu
Menangis lirih pada lambaiannya yang damai
Ibu bersimpuh
Pada Cintanya
Yang tertanam
Pada doa-doanya
Yang terkubur
Pada semua
Yang pernah dititipkan pada anak-anaknya
MALAM INI
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Malam ini begitu asing
Namun bayangmu tidak
Dekat
Terasa
Melepaskan huruf demi huruf pada sajak ini
Malam ini begitu gelisah
Namun perbawamu tetap tenang
Semilir
Lembut
Menaburkan keindahan kata-kata pada kalimat-kalimat sajak ini
Malam ini begitu sepi
Kelam
Senyap
Namun pada bait-bait sajak ini engkau bernyanyi
Menabur segala rindu
Pada setiap desah
Dan kemerduan suaramu dalam mimpi-mimpiku
Malam ini begitu asing
Namun bayangmu tidak
Dekat
Terasa
Melepaskan huruf demi huruf pada sajak ini
Malam ini begitu gelisah
Namun perbawamu tetap tenang
Semilir
Lembut
Menaburkan keindahan kata-kata pada kalimat-kalimat sajak ini
Malam ini begitu sepi
Kelam
Senyap
Namun pada bait-bait sajak ini engkau bernyanyi
Menabur segala rindu
Pada setiap desah
Dan kemerduan suaramu dalam mimpi-mimpiku
LEMBAH JIWA
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Naiklah kebukit, jika engkau memang berjiwa
Tukarlah cendawan-cendawan dengan janji dan cinta
Untuk tabah di dada
Untuk terus melangkah ke kening
Menjamu para kudus bersila disana
Turunlah dari pelana, engkau yang menua
Tak jua nampak surbanmu memutih
Sabarkah?
Tawakalkah?
Berserahkah?
Masih kutanya, engkau memanjat
Mengalir lembut dalam syair-syair sajak ini
Tak jua merona pada dahi
Walau sujud telah membatu
Kadang aku lupa, engkaukah jiwaku kini?
Dikeningmu, kudengar cemara menari
Bergenderang
Berhanyutan
Melepas zikir-zikir pada langit
Mencari sungai, berkelok pada ruku’
Dan kumasuki ruang-ruang perjamuan kudusmu
Sampai kulihat suaramu menggema
Dan kudengar lagi wajahmu melembuti semesta
Maafkan aku yang tak bermata
Lirih kau menyapa, aku yang fana
Kekasihku kini aku buta, tetapi wajahmu terus mewarna
Tak kudengar apa, namun suaramu merasuki jiwa
Aku yang pergi kebukitmu, engkau yang melembahi
Kini aku tak bernama kecuali cinta
Aku mencintaimu tanpa mata dan telinga
Setelah menembusi berabad-abad kegelapan dan kesunyian
Kekasih, Cintaku kini baka
Naiklah kebukit, jika engkau memang berjiwa
Tukarlah cendawan-cendawan dengan janji dan cinta
Untuk tabah di dada
Untuk terus melangkah ke kening
Menjamu para kudus bersila disana
Turunlah dari pelana, engkau yang menua
Tak jua nampak surbanmu memutih
Sabarkah?
Tawakalkah?
Berserahkah?
Masih kutanya, engkau memanjat
Mengalir lembut dalam syair-syair sajak ini
Tak jua merona pada dahi
Walau sujud telah membatu
Kadang aku lupa, engkaukah jiwaku kini?
Dikeningmu, kudengar cemara menari
Bergenderang
Berhanyutan
Melepas zikir-zikir pada langit
Mencari sungai, berkelok pada ruku’
Dan kumasuki ruang-ruang perjamuan kudusmu
Sampai kulihat suaramu menggema
Dan kudengar lagi wajahmu melembuti semesta
Maafkan aku yang tak bermata
Lirih kau menyapa, aku yang fana
Kekasihku kini aku buta, tetapi wajahmu terus mewarna
Tak kudengar apa, namun suaramu merasuki jiwa
Aku yang pergi kebukitmu, engkau yang melembahi
Kini aku tak bernama kecuali cinta
Aku mencintaimu tanpa mata dan telinga
Setelah menembusi berabad-abad kegelapan dan kesunyian
Kekasih, Cintaku kini baka
UNTUK TIGA PUTRIKU
Oleh: Siti Atmamiah
2004
Menunggu waktu terus berjalan
Engkau bentangkan kakimu
Jelajahi semesta
Mari taburi ladang ini
Benih-benih kebajikan
Ku harap
Kemerdekaan jiwa
Bersemi
Merimbuni
Dadamu yang lapang
Melangkah kakimu
Saat embun mulai menguap
Saat fajar baru saja menyengat
Ibu berdoa
Engkau akan menjadi aliran sungai waktu
Yang terus mengembuni
Alunan adzan mengetuk-ngetuk fajar
2004
Menunggu waktu terus berjalan
Engkau bentangkan kakimu
Jelajahi semesta
Mari taburi ladang ini
Benih-benih kebajikan
Ku harap
Kemerdekaan jiwa
Bersemi
Merimbuni
Dadamu yang lapang
Melangkah kakimu
Saat embun mulai menguap
Saat fajar baru saja menyengat
Ibu berdoa
Engkau akan menjadi aliran sungai waktu
Yang terus mengembuni
Alunan adzan mengetuk-ngetuk fajar
TAK USAH BERTANYA 2
Oleh: Siti Atmamiah
Kau palingkan wajahmu
Duka menyelimuti matamu
Dimana aku ?
Dimana engkau ?
Sentuhan yang tertunda
Tak ada yang beda
Engkau meninggalkan siapa ?
Dan aku ditinggalkan siapa ?
Bukankah ketabahan adalah sore yang menunggu ?
Tak usah ada kata
Ataupun tanya
Mimpimu membakar rinduku
Saat fajar tiba
Kau palingkan wajahmu
Duka menyelimuti matamu
Dimana aku ?
Dimana engkau ?
Sentuhan yang tertunda
Tak ada yang beda
Engkau meninggalkan siapa ?
Dan aku ditinggalkan siapa ?
Bukankah ketabahan adalah sore yang menunggu ?
Tak usah ada kata
Ataupun tanya
Mimpimu membakar rinduku
Saat fajar tiba
TAK USAH BERTANYA 1
Oleh: Siti Atmamiah
Tak usah bertanya, kapan kita akan bertemu?
Sebab angin tak pernah pasti berhembus
Biarkan cinta menyimpan sejarahnya sendiri
Lembut, bergelora, mengangguk
Tanda sepi mulai mengawali sebuah pertanda
Cinta tak pernah menentukan jarak
Yang tersembunyi
Ketika malam baru saja berlalu
Tak usah bertanya, kapan kita akan bertemu?
Sebab angin tak pernah pasti berhembus
Biarkan cinta menyimpan sejarahnya sendiri
Lembut, bergelora, mengangguk
Tanda sepi mulai mengawali sebuah pertanda
Cinta tak pernah menentukan jarak
Yang tersembunyi
Ketika malam baru saja berlalu
SEPI
Oleh: Siti Atmamiah
2005
Disini aku sendiri
Menunggu hujan tiba
Tak ada kata
Tak ada tawa
Disini aku sendiri
Menunggu gerimis tiba
Tak ada langkah kaki
Tak jua sentuhan jemari
Bila kah engkau kembali?
2005
Disini aku sendiri
Menunggu hujan tiba
Tak ada kata
Tak ada tawa
Disini aku sendiri
Menunggu gerimis tiba
Tak ada langkah kaki
Tak jua sentuhan jemari
Bila kah engkau kembali?
SEBUAH TANYA
Oleh: Siti Atmamiah
Matamu yang terpejam
Terbuka
Saat fajar mulai tiba
Sementara dunia masih
Tetap gulita
Pekatnya menghambur
Menjadi hiasan lamunan
Sang buta:
Deru angin yang tiba-tiba
Bayang-bayang tak bernama
Doa-doa lebur:
Bergabung menunggu jawabmu:
“Kenapa aku ?”
Matamu yang terpejam
Terbuka
Saat fajar mulai tiba
Sementara dunia masih
Tetap gulita
Pekatnya menghambur
Menjadi hiasan lamunan
Sang buta:
Deru angin yang tiba-tiba
Bayang-bayang tak bernama
Doa-doa lebur:
Bergabung menunggu jawabmu:
“Kenapa aku ?”
SEBATAS CINTA
Oleh: Siti Atmamiah
Kubiarkan angin berhembus
Tanpa sore
Dan cicit burung manyar
Rindu yang meluap
Membayang
Kepul aroma secangkir kopi
Pahitnya masih terasa
Saat kita merangkai cerita:
Kapan aku, engkau, bertatap mata
Berlabuh mimpiku mimpimu
Menyambut
Menghangati
Senyuman yang sempurna
Kubiarkan angin berhembus
Membawa cinta yang tak pernah sisa
Karena engkau dan aku telah mengekalkannya
Kubiarkan angin berhembus
Tanpa sore
Dan cicit burung manyar
Rindu yang meluap
Membayang
Kepul aroma secangkir kopi
Pahitnya masih terasa
Saat kita merangkai cerita:
Kapan aku, engkau, bertatap mata
Berlabuh mimpiku mimpimu
Menyambut
Menghangati
Senyuman yang sempurna
Kubiarkan angin berhembus
Membawa cinta yang tak pernah sisa
Karena engkau dan aku telah mengekalkannya
RINDU YANG MELUKIS
Oleh: Siti Atmamiah
Kulukis engkau
Ketika matahari meretakkan wajahnya
Matamu adalah kupu-kupu yang mencari bunga
Tubuhmu adalah rumpun bambu
Melembabkan embun
Yang diterbangkan angin pagi hari
Bermimpilah
Saat purnama menyentuh lelapmu
Rinduku akan menggugah fajar
Membangunkan semua hasrat
Untuk rindu yang bersemayam
Dalam keheningan embun
Dan kerling matamu dihatiku
Kulukis engkau
Ketika matahari meretakkan wajahnya
Matamu adalah kupu-kupu yang mencari bunga
Tubuhmu adalah rumpun bambu
Melembabkan embun
Yang diterbangkan angin pagi hari
Bermimpilah
Saat purnama menyentuh lelapmu
Rinduku akan menggugah fajar
Membangunkan semua hasrat
Untuk rindu yang bersemayam
Dalam keheningan embun
Dan kerling matamu dihatiku
RINDU 3
Oleh: Siti Atmamiah
Desember 2002
Kutuliskan rinduku
Pada desir angin, merintih
Diantara kepingan waktu
Cahaya rembulan
Tak lagi meninggalkan bayang-bayang
Kuimpikan cintamu
Mengerang diantara kelopak mawar
Hari-hari masih terasa dingin
Dan sendiri
Kudengar kidung bergema
Mengantarkan bait-bait puisi
Tubuhku kuyup
Akan keinginan menunggu
Desember 2002
Kutuliskan rinduku
Pada desir angin, merintih
Diantara kepingan waktu
Cahaya rembulan
Tak lagi meninggalkan bayang-bayang
Kuimpikan cintamu
Mengerang diantara kelopak mawar
Hari-hari masih terasa dingin
Dan sendiri
Kudengar kidung bergema
Mengantarkan bait-bait puisi
Tubuhku kuyup
Akan keinginan menunggu
RINDU 2
Oleh: Siti Atmamiah
Berjalan engkau
Saat senja baru saja pergi
Sebutir kenangan yang lewat
Mencari-cari jemarimu yang muram
Tak ada awalnya
Ketika kita bertemu
Merapatlah
Dadaku penuh gelora
Disini darah sedang mengalir deras
Mengejar sekumpulan awan
Yang membawa kabar:
“Esok sore engkau akan datang”
Berjalan engkau
Saat senja baru saja pergi
Sebutir kenangan yang lewat
Mencari-cari jemarimu yang muram
Tak ada awalnya
Ketika kita bertemu
Merapatlah
Dadaku penuh gelora
Disini darah sedang mengalir deras
Mengejar sekumpulan awan
Yang membawa kabar:
“Esok sore engkau akan datang”
RINDU 1
Oleh: Siti Atmamiah
Kemarin engkau masih ada
Menyeduhkan teh panas untukku
Asap yang mengepul
Menggumpal embun dikeningmu
Semoga dunia ini kekal
Sebab kita telah setia
Kemarin engkau masih disini
Membacakanku sajak para pujangga
Bersenandung dan bernyanyi
Hingga malam datang
Menitip bayang-bayang
Melembabkan angin yang berlari
Didepan mata kita
Dibawah kaki kita yang diam
Kemarin masih kudengar suaramu
Lembut menggubah kidung
Hingga semai
Cinta yang ranum
Kasih mengalir
Tak berbatas muara
Kemarin engkau masih ada
Menyeduhkan teh panas untukku
Asap yang mengepul
Menggumpal embun dikeningmu
Semoga dunia ini kekal
Sebab kita telah setia
Kemarin engkau masih disini
Membacakanku sajak para pujangga
Bersenandung dan bernyanyi
Hingga malam datang
Menitip bayang-bayang
Melembabkan angin yang berlari
Didepan mata kita
Dibawah kaki kita yang diam
Kemarin masih kudengar suaramu
Lembut menggubah kidung
Hingga semai
Cinta yang ranum
Kasih mengalir
Tak berbatas muara
RAHASIA 2
Oleh: Siti Atmamiah
Sepagi ini engkau terbangun
Kutahu mimpimu belum sempurna
Kau genggam sepotong rembulan jatuh diwajahmu
Matamu yang terpejam
Bukan karena engkau tertidur
Belajar membaca pertanda
Pada jubah yang menyimpan rahasia semesta:
Laut melumat pasir saat gelombang pasang
Awan mengarak burung saat kehabisan dahan
Bulan yang terluka
Kecipak air muara
Matamu yang memejam
Mengharap harum bunga
Tak usah dinanti melati mekar
Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta
Sepagi ini engkau terbangun
Kutahu mimpimu belum sempurna
Kau genggam sepotong rembulan jatuh diwajahmu
Matamu yang terpejam
Bukan karena engkau tertidur
Belajar membaca pertanda
Pada jubah yang menyimpan rahasia semesta:
Laut melumat pasir saat gelombang pasang
Awan mengarak burung saat kehabisan dahan
Bulan yang terluka
Kecipak air muara
Matamu yang memejam
Mengharap harum bunga
Tak usah dinanti melati mekar
Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta
RAHASIA 1
Oleh: Siti Atmamiah
Mataku masih memejam
Menanti datangnya titik cahaya
Tuhan, Engkau begitu sempurna
Hingga tak bisa kutahu
Satu rahasia
Mimpi-mimpi
Datang dan pergi
Membayang puisi
Tentang laut biru
Tentang langit
Bersepuh matahari senja
Awan yang keperakan
Saat sentuhan angin
Tubuhku menjadi dingin
Tak henti kusibak
BahasaMu
Meski terserak
Dihamparan gurun Sahara
Tak peduli bila aku
Terbang
Menembus ruangMu
Yang maha segala
Mataku masih memejam
Menanti datangnya titik cahaya
Tuhan, Engkau begitu sempurna
Hingga tak bisa kutahu
Satu rahasia
Mimpi-mimpi
Datang dan pergi
Membayang puisi
Tentang laut biru
Tentang langit
Bersepuh matahari senja
Awan yang keperakan
Saat sentuhan angin
Tubuhku menjadi dingin
Tak henti kusibak
BahasaMu
Meski terserak
Dihamparan gurun Sahara
Tak peduli bila aku
Terbang
Menembus ruangMu
Yang maha segala
PUTRIKU
Oleh: Siti Atmamiah
Kaki kecilmu
Berlari tanpa alas kaki
Terbelah bumi
Mengasah isi cakrawala
Biarkan saja jari dikakimu terluka
Tak perlu dirasa
Tak usah ditangisi
Sebab engkau sedang mencipta
Dunia ada pada jemarimu
Kau sentuhkan setetes embun
Melembuti kulitmu
Keindahan semesta menjadi sederhana
Maknanya telah melumuri
Pori-pori dan nadimu
Teruslah berlari putri kecilku
Dihadapanmu jendela-jendela terbuka
Disana batu-batu akan terbelah
Menjelma mutiara
Dimana hidup telah dicukupkan
Kaki kecilmu
Berlari tanpa alas kaki
Terbelah bumi
Mengasah isi cakrawala
Biarkan saja jari dikakimu terluka
Tak perlu dirasa
Tak usah ditangisi
Sebab engkau sedang mencipta
Dunia ada pada jemarimu
Kau sentuhkan setetes embun
Melembuti kulitmu
Keindahan semesta menjadi sederhana
Maknanya telah melumuri
Pori-pori dan nadimu
Teruslah berlari putri kecilku
Dihadapanmu jendela-jendela terbuka
Disana batu-batu akan terbelah
Menjelma mutiara
Dimana hidup telah dicukupkan
PERTEMUAN 1
Oleh: Siti Atmamiah
Menghirup udara sore
Sambil menghitung waktu yang bergerak
Kubayangkan sebuah jendela terbuka
Sedang wangi kenanga,
Membisikkan sebuah kabar gembira
“Lelaki itu akan kembali saat gerimis tiba”
Kakinya yang rindu akan tanah basah,
Menyentuh jemarinya yang mulai berkaca-kaca
Seandainya saja aku bisa menatapmu
Selembut desau rumpun bambu
Dagumu yang terbelah
Mengupas seluruh rinduku
Apa jadinya cinta, tanpa hadirmu
Aku seperti tiada
Menghirup udara sore
Sambil menghitung waktu yang bergerak
Kubayangkan sebuah jendela terbuka
Sedang wangi kenanga,
Membisikkan sebuah kabar gembira
“Lelaki itu akan kembali saat gerimis tiba”
Kakinya yang rindu akan tanah basah,
Menyentuh jemarinya yang mulai berkaca-kaca
Seandainya saja aku bisa menatapmu
Selembut desau rumpun bambu
Dagumu yang terbelah
Mengupas seluruh rinduku
Apa jadinya cinta, tanpa hadirmu
Aku seperti tiada
KU INGIN
Oleh: Siti Atmamiah
Januari 2005
Ku ingin engkau ada
Malam ini
Bersamamu
Menatap purnama
Aku dan engkau
Basah dalam lebur cahayanya
Hingga tersaput mega-mega
Ku ingin engkau ada
Malam ini
Menikmati mimpi-mimpi
Tertawan diantara bintang-bintang
Januari 2005
Ku ingin engkau ada
Malam ini
Bersamamu
Menatap purnama
Aku dan engkau
Basah dalam lebur cahayanya
Hingga tersaput mega-mega
Ku ingin engkau ada
Malam ini
Menikmati mimpi-mimpi
Tertawan diantara bintang-bintang
KETIKA PUTRI KECILKU MELIHAT BULAN
Oleh: Siti Atmamiah
Februari 2006
Dalam gendongan
Kain usang
Putri kecilku berkata
“Mama aku melihat bola
Diatas sana
Putih warnanya
Seperti bola mainanku
Dia bercahaya
Dan berjalan-jalan
Beriring awan
Mengapa dia tidak jatuh mama?”
“Putriku
Tuhan telah menjaganya
Dan keheningan itu
Adalah sujudnya”
Februari 2006
Dalam gendongan
Kain usang
Putri kecilku berkata
“Mama aku melihat bola
Diatas sana
Putih warnanya
Seperti bola mainanku
Dia bercahaya
Dan berjalan-jalan
Beriring awan
Mengapa dia tidak jatuh mama?”
“Putriku
Tuhan telah menjaganya
Dan keheningan itu
Adalah sujudnya”
Langganan:
Postingan (Atom)