Abstrak

Abstrak

Senin, Juni 29, 2009

Antologi Puisi berhuruf Braile

HTML clipboard

Dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/26/hib11.html

"Saya Hanya Debu yang Melukis di Jalan itu"
"Aku hanya anak kecil, mama. Kakiku kecil, tubuhku kecil.
Aku hanya ingin mengerti semesta, dengan caraku sendiri.
Aku hanya punya mimpi..."

Jakarta - Ungkapan itu dilontarkan Zeffa Yurihana dari puisinya yang tergabung bersama ayahanda dan ibundanya, Irwan Dwi Kustanto dan Siti Atmamiah. Zeffa mengisi acara antologi "Angin pun Berbisik".

Sebuah pembacaan yang menyentuh karena puisi-puisi itu punya makna sebagai penghubung kasih antara Irwan dengan istrinya. Irwan yang tuna netra tinggal dan bekerja di Jakarta, sedangkan sang istri jauh darinya. Keduanya berkomunikasi dan terlibat dialog baik melalui short message system dan hubungan telepon yang intens dengan medium puisi-puisi mereka. Antologi ini yang kemudian disambut baik oleh berbagai lembaga mulai dari Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (KJ) Yayasan Mitra Netra (YMN) dan Voice of Human Rights (VHR) yang launchingnya digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (23/1).

Acara yang diselenggarakan untuk peringatan Hari Braile yang jatuh pada 4 Januari lalu serta dua tahun gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini, memang berisikan serangkaian pertunjukan seni baik musik, teater serta pembacaan puisi. Ungkapan yang rendah hati dari Irwan pun terlantun, "Saya bukanlah penyair, Angin pun Berbisik adalah kata-kata yang saya coba kumpulkan untuk mengekspresikan perasaan, hasrat dan semua yang pernah tumpah karena cinta yang mengalir dari kekasih, keluarga, sahabat, alam dan yang mungkin tersibak oleh huruf. Saya hanya lah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu."

Ada juga musikalisasi dari Ricko yang berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung dan Dody yang adalah mahasiswa jurusan Seni Musik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Keduanya adalah tunanetra, Dody yang didaulat sebagai penyanyinya membacakan sebuah puisi karya Irwan : Karena sepi memanggil, karena rindu menderu, karena cinta melanda.

"Saya mendapatkan kehormatan membaca puisi yang sudah lama saya tinggalkan," ujar Fajrul Rahman, penyair yang puisinya menjadi salah satu unggulan Khatulistiwa Literay Awards dan rajin membaca puisi semasa menjadi aktivis. Sejak januari 2006, Mitra Netra mengundang penulis dan penerbit bekerjasama. Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini berawal dari para artis seperti Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka dan artis lainnya yang dikenal sebagai penulis. Ketika itu memang ditawarkan untuk menjadikan buku-buku yang populer di masyarakat untuk diterbitkan juga dalam huruf braile. Kini, buku "antologi pertama karya sebuah keluarga ini" diterbitkan dalam huruf Braile hingga akhirnya karya Irwan, seorang bapak yang tunanetra membuat kolaborasi puisi dengan keluarganya. Irwan juga adalah Wakil Direktur Mitra Netra, yang berpuisi dan menghasilkan buku untuk pembacanya, masyarakat biasa atau pun buku dalam bentuk huruf Braile untuk pembaca tuna netra. "Seperti angin, saya pun ingin dapat berbagi kepada sesama, untuk itu buku "angin pun berbisik" saya dedikasikan untuk mendorong dan mempercepat gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini," ujarnya.

Dengan jari mereka telah menjadi kan dirinya penerus gerakan perjuangan Louis Braile, seorang tunanetra asal Prancis, dengan buku mereka memandang dan merambah dunia. Dengan menulis huruf Braile, mereka juga berbagi tentang dunia, imajinasi dan cara pandang mereka.
(sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar: