Abstrak

Abstrak

Minggu, Oktober 26, 2008

Dan Angin pun Berbisik; Tabloid Mingguan PARLE 2007

03/02/2008 01:39

Kaisar Gaius Caligula (31-41 M) muda, percaya bahwa "agama, cinta, dan seni" adalah hal-hal penghibur dalam kehidupan yang sungguh berat ini. Ia menginginkan bulan, sesuatu yang mustahil; ia inginkan kehidupan abadi dan segalanya yang tak dapat digolongkan ke dalam susunan kehidupan di muka Bumi ini. Kaisar Romawi yang memiliki nama lengkap Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus ini, kemudian kembali dari pengembaraannya dengan tubuh yang letih dan sikap hidup yang nyaris putus asa.

Dalam hidupnya, Gaius Caligula pernah memproklamasikan keputusan radikalnya. Ia memberontak kepada para dewa yang telah menentukan nasib, yang menyebabkannya tidak bahagia. Baginya, jelas, hidup di dunia yang fana ini tak ada artinya; kecuali sandiwara permainan para dewa yang kejam dan sesat. Dia justru hendak mengubah kefanaan yang menyengsarakan itu menjadi kekekalan, mengusahakan yang mustahil menjadi mungkin, di Bumi dan di masanya. Sungguh, dia seorang utopis tulen.

Seorang utopis, konon, adalah seorang yang tak betah, intoleran, dan membenci kelemahan seperti lazimnya manusia biasa. Bagi Caligula, sikap puas diri adalah kelengahan dan dusta pada diri sendiri yang tak mau melihat penderitaan fundamental, yakni hidup dalam kesementaraan. Ia mengejek, menghina keyakinan, dan memorak-morandakan segala hal yang selama ini menjadi kebanggaan monarki: harta, wanita, kekuasaan, dan derajat sosial.

Barangkali, dari sisi ini, Caligula bukanlah seorang kaisar yang zalim, walaupun ia pernah memerintahkan algojo untuk membunuh musuhnya dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dia menutup mata dan telinga serta hati nuraninya, lalu menjadi kejam. Ia lupa akan batas kemanusiaannya sendiri. Nyatanya, dia seorang utopis sejati dan idealis tulen.

Caligula, seorang yang humanis. Ia menangis sedu ketika memutuskan persahabatannya dengan Cherea. Dia tersentak ngeri memandang si tua, Mereia, merenggang nyawa karenanya. Ia trenyuh dalam kepekaan nuraninya. Dia berpelukan dengan Scipion dan sedih menyaksikan penyair itu menghembuskan nafas kehidupannya. Lalu, ia ketakutan menjelang dibunuh.

Parodi dan karikatur cenderung ekstrem. Oleh karena kegetiran dan amarah yang ekstrem itu pula, parodi dan karikatur Caligula atas kesewenang-wenangan para dewa menjadi sangat ekstrem. Bulan tak perlu diraih, cinta memang tak memadai, dan hidup abadi sangat tak mungkin. Namun ada masa, di mana orang bisa bersyukur...

Memasuki usia pekan ini, saya bangga masih ada empati dan nurani. Di hari-hari penuh asa itu saya kadang larut dalam emosi dan sentimental yang tak tepermanai: melihat sahabat, sesama kita, yang ekspresi fisiknya tidak sesempurna diri ini. Air mata turun menggenangi lesung pipi seorang gadis kecil yang menyendiri di kursi depan Gedung Kesenian Jakarta yang temaram lampunya bak kerlip kunang-kunang, di malam penuh kenangan itu. Saya terbawa sentimental, dan adrenalin pun beranjak drop manakala membaca sebait puisi yang terangkum dalam antologi puisi yang ditulis oleh satu keluarga (ayah, ibu, dan gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar) di Tulungagung, Jawa Timur. Judul kumpulan puisi yang mereka tulis, Angin pun Berbisik (2008).

Sang ayah, Irwan Dwi Kustanto, seorang tunanetra. Istrinya, Siti Atmamiah, dan putri sulung mereka, Zeffa Yurihanna, bersama-sama meramu puisi yang menyentuh. Ada hasrat dalam dada mereka untuk membantu sesama, mewujudkan asa dan masa depan: "Sebait Puisi oleh Tunanetra, Seribu Buku untuk Tunanetra". Sebuah proyek ambisius yang humanis.

Saya lalu merenungi hidup, ada pengilon dalam denyut nafas yang terasa sesak di tenggorokan menikmati fragmen teater yang dimainkan anak-anak tunanetra, di malam itu. Betapa keinginan, harapan, dan kehausan mereka untuk membaca buku-buku, yang kini masih sebuah cita-cita. Ada keterbatasan fisik, tetapi hasrat itu terus menggelayut dalam dada.

Seperti drama Caligula , trenyuh dalam kepekaan nuraninya. Kegetiran dan amarah tak perlu ekstrem. Bahwa bulan tak perlu diraih, cinta memang tak memadai, dan hidup abadi sangat tak mungkin. Namun ada masa, di mana orang bisa bersyukur. Dan, saya bersyukur memiliki dua bola mata yang berfungsi. Membaca aksara Latin dengan sempurna, bukan dari kumpulan titik kecil bergerigi halus, aksara ciptaan Louis Braille (1809-1852), seorang tunanetra dari Kota Coupvray, Prancis yang meninggal di Paris dalam usia 43 tahun.

Ada spirit di antara mereka. Semangat untuk meraih harapan dan masa depan itu tercurah dalam rangkaian kata-kata yang terhimpun dalam sebuah buku. Bahwa buku itu adalah jendela dunia dan sumber ilmu pengetahuan, juga menjadi impian para tunanetra, saudara kita yang terus menyemangati hidup dengan membaca.

Ya, "Sebait Puisi oleh Tunanetra, Seribu Buku untuk Tunanetra", telah menginspirasi relung hati saya, untuk berbagi kasih dan berbagi ‘kenikmatan' membaca buku. Bagi saya, mungkin juga Anda, membaca buku ibarat "bersenggama" dengan inspirasi, membuat hasrat menggapai "orgasme batin" yang tak berujung. Buku membuat hari-hari menjadi begitu bermakna, menggugah, dan menyemangati hidup; tentu.

Saya ingin berbagi ‘kenikmatan' itu agar mereka bisa ‘bersenggama' dengan inspirasi. Saya tak ingin menjadi seorang utopis, yang melambungkan harapannya setinggi asa Gaius Caligula. Tak harus memaksakan kehendak, lalu jahat. Sebuah buku, tentu menjadi bermakna bagi mereka (para tunanetra) yang merasa dahaga untuk mencapai orgasme dalam membaca. Dan, angin pun berbisik...

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam
Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapmu
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga
Kudengar lirih bisikmu
Pada duka yang terbiasa
Menyimpan semua puisi
Terbang bersama; camar yang tak pernah kembali.


Manakala fisik tak lagi sempurna memproyeksikan benda ke dalam logika, maka hati dan jiwa menggantikannya dengan ketajaman logika yang sungguh dahsyat. Begitulah, kedalaman seni hanya didapatkan di dalam keindahan pikiran dan hati kita sebagai manusia...

(Syafruddin Azhar)

-------------------
Komentar anda Belum ada komentar untuk berita ini, silahkan anda memulainya Click di sini untuk mengirim komentar anda. Producted by : Tabloid Mingguan PARLE © 2007 dikutip dari:
http://www.tabloidparle.com/news.php?go=fullnews&newsid=1357

Tidak ada komentar: