Abstrak

Abstrak

Minggu, Oktober 26, 2008

Angin Pun Berbisik: Antologi Cinta Tiga Manusia

Kamis, 24-01-2008 16:14:35
Oleh: Retty N. Hakim
Kanal: Peristiwa


Angin Pun Berbisik: Antologi Cinta Tiga Manusia Tanggal 23 Januari 2008 kemarin, Gedung Kesenian Jakarta menjadi saksi keagungan cinta. Cinta yang menghasilkan sebuah buku puisi pertama karya seorang tunanetra beserta istri dan anaknya. Cinta yang berasal dari teman-teman yang sibuk membantu mewujudkan terbitnya buku kumpulan puisi "Angin Pun Berbisik", serta yang memberikan semangat dalam merangkai peluncuran buku dengan serangkaian pertunjukan seni.

Perayaan peluncuran karya puisi pertama seorang tunanetra Indonesia yang dibukukan ini di dahului dengan bedah buku oleh guru besar sastra Universitas Indonesia Melani Budianta, penyair dari Yogyakarta Joko Pinurbo, dengan moderator M. Fajrul Rahman.

Buku antologi puisi ini adalah sebuah karya yang unik karena merupakan kumpulan komunikasi cinta ayah, ibu, dan anak. Sangat jarang ada satu keluarga yang bersama-sama berbagi puisi, apalagi sang kepala keluarga memiliki penglihatan yang berbeda. Saya beruntung dapat turut serta mengikuti bedah buku karya Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana ini. Beberapa puisi yang sulit tercerna bagi awam menjadi tersibak kedalaman artinya, sementara banyak hal yang mencerahkan terkuak dalam sayatan pisau para kritikus puisi dan kesaksian sang penulis sendiri.

Sepertinya kedua pembicara dalam bedah buku ini sepakat bahwa masing-masing dari penulis buku antologi puisi ini menggambarkan hal yang sangat spesifik. Irwan Dwi Kustanto, yang memiliki masalah penglihatan sejak berumur 9 tahun (kelas 3 SD) sebelum menyadari kebutaan yang dialaminya tatkala sudah di kelas 6 SD, banyak menggambarkan kegelisahan dan rintihan tentang kehidupannya. Siti Atmamiah sebagai pendamping sangat erat menyiratkan empati dan kemampuannya memahami suara-suara di sekelilingnya, suara suami dan suara anaknya. Kesabaran dalam menghadapi proses kehidupan terbayang tegas dalam untaian puisinya. Zeffa Yurihana, sang anak, yang mulai menulis sejak kelas 3 SD sekarang sudah duduk di bangku kelas 6 SD dan menunjukkan bakat yang sangat besar dalam berpuisi, dan memberikan kesan imajinasi anak yang bebas dan bahkan sudah mampu secara tidak sadar memasuki bahasa pemaknaan yang transendental.

Siti Atmamiah memang memiliki latar belakang menyenangi puisi. Dia sering membantu membacakan buku bagi Irwan ketika mereka kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahkan Siti Atmamiah pernah memenangkan lomba cipta puisi di kampus pada tahun 1990. Kesenangan Siti pada puisi membuat Irwan menorehkan kata-kata puitis sebagai bagian dari pendekatannya kepada Siti. Lembar-lembar puitis ini ternyata disimpan Siti dengan sangat rapih sehingga ikut mewarnai isi buku antologi puisi ini.

Ketika kesehatan anak dan keperluan karier suami harus membentangkan jarak di antara keluarga, maka kata-kata puitis menjadi wacana komunikasi di antara mereka. Semua terkumpulkan dari lembar-lembar surat, potongan isi SMS,catatan komputer maupun isi buku harian, dan terciptalah komunikasi cinta mereka. Jarak Jakarta dan Tulung Agung tidak menjadi pemecah keharmonisan mereka melainkan menjadi jalinan komunikasi yang lebih intens.

Seni bukan lagi milik kelompok elitis tapi sudah berubah menjadi seni publik kata Melani Budianta. Dan ketika FX Rudy Gunawan (penulis) dan Jamal D. Rahman (PemRed Majalah Horison) mengatakan bahwa lembar-lembaran yang tergores dari ungkapan hati itu adalah puisi, maka sejak dua tahun lalu tercipta sebuah impian untuk menghadirkannya sebagai sebuah buku tempat Irwan dan keluarga membagikan sudut pandang mereka dalam memandang dunia bagi masyarakat umum.

Perwujudan impian ini sekaligus untuk merupakan penguat untuk mendukung gerakan seribu buku bagi tunanetra. Dengan membeli satu buku antologi ini berarti anda telah berbagi satu buku Braille bagi tunanetra. Kekayaan yang diperoleh dari buku masih merupakan kemewahan bagi saudara-saudara yang memiliki kekurangan pada indra penglihatannya. Buku yang tersedia dalam huruf Braille masih sangat kurang, karena itu gerakan seribu buku untuk tuna netra menjadi bantuan besar untuk memperkaya horizon pandang mereka.

Mengakhiri acara bedah buku kemarin pasangan Melani Budianta dan Eka Budianta memberikan buku mereka yang tercetak dalam huruf Braille berjudul "Titik Tanpa Batas". Alangkah indah bila acara peluncuran buku yang didukung oleh Yayasan Mitra Netra, Perkumpulan Seni Indonesia, serta Voice of Human Rights (VHR) News Centre ini pada akhirnya mampu menggaungkan juga bisikan angin yang meminta kepedulian kita terhadap buku-buku dalam tulisan Braille. Berharap semoga semakin banyak yang bisa menuturkan perjalanan anak manusia yang jejaknya tersibak oleh huruf, seperti yang terucap oleh Irwan Dwi Kustanto: "Saya hanyalah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu". Jejak-jejak yang semoga terbaca juga oleh mereka yang memiliki indera penglihatan yang berbeda. Dikutip dari:
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=6078

Tidak ada komentar: