Abstrak

Abstrak

Minggu, Oktober 26, 2008

Melihat Dengan Hati Melalui "Angin Pun Berbisik" (Sebuah Apresiasi)

Feb 4, '08 3:01 AM
Oleh Lia Octavia

Dengan karunia indera pada manusia dari Sang Maha Pencipta, salah satunya indera penglihatan, merupakan nikmat yang tiada taranya, karena melalui indera
penglihatan inilah, seorang manusia melihat dunia, yang salah satunya dengan membaca buku. Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengalami gangguan penglihatan
hingga kebutaan pada mata mereka? Apakah mereka juga dapat melihat dunia melalui buku, yang dikenal sebagai jendela dunia?

Antologi puisi "Angin Pun Berbisik" Kumpulan Sajak Cinta yang ditulis oleh seorang tunanetra yaitu Irwan Dwi Kustanto beserta keluarganya telah membuktikan
bahwa kehilangan indera penglihatan pada mata bukan berarti kehilangan indera penglihatan pada hati. Melalui hatinya, ia menulis sajak-sajak indah di dalam
buku ini dan untuk pertama kalinya, buku ini diluncurkan di Gedung Kesenian Jakarta, 23 Januari 2008 dengan dihadiri oleh para penyair, seniman dan sastrawan
besar, diantaranya Joko Pinurbo, Melani Budianta, Rieke Dyah Pitaloka, M. Fajrul Rahman serta seorang pianis, komponis dan composer, pimpinan Skolastika
Ansambel, yaitu Marusya Nainggolan beserta para seniman lain yang sangat berbakat dengan penampilan mereka yang luar biasa pada acara tersebut.

Angin Pun Berbisik ditulis dalam kurun waktu tiga tahun, sebagian besar pada 2004-2007. Irwan bercerita tentang rindunya, sebuah perasaan yang timbul akibat
sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya dan cinta yang paling agung, dalam bait-bait sajaknya yang berjudul Angin Pun Berbisik I:

Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam

Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapnya
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga


Juga tentang penantiannya pada belahan jiwanya dalam Angin Pun Berbisik 3:

Semenjak tangismu meranum
Dari sayap kupu-kupu itu
Bertaburan rindu
Rinduku yang dulu
Yang kau tabur di atas ilalang
Mengering bagai mimpi
Di antara hadir dan pergimu
Berjuta debur gelombang hati
Berbisik pada angin
Lalu kepada bayangmu, di sini daku menunggu


Serta pernyataan cintanya pada istrinya, Siti Atmamiah, yang juga menuliskan puisi-puisinya dalam antologi ini, di dalam puisi yang berjudul Cintaku Padamu,
yang ditulisnya di Kuta Bali:

...
Rinduku padamu
Adalah bunga bakung
Yang selalu asyik
Menanti embun setiap pagi
Setiap tetes yang setia
Pada nyaring gemanya
Untuk bertemu
Dipermukaan tanah dan menyatukan kembali
Sungai-sungainya yang pernah hilang
Mencari matahari berabad-abad
Dan kini
Basah oleh setetes jiwa
Yang berharap dipersatukan
Dalam sebuah gerimis kecil
Ketika senjamu meninggalkan pure-pureku

Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya

Simbol-simbol yang sederhana yang digunakan Irwan yang sederhana memberi ruang pada kita dalam pemaknaan subyektifitas pembacanya. Seperti puisi-puisinya
yang bertutur tentang "bunga" dan luka:

Sayangku, ingatlah pada saatnya, sirnalah segala
Walau puisi, waktu dan doa telah berwujud bunga
("Bunga")

Jangan kau patahkan kembang turi itu
Ia masih terlalu pagi untuk menghisap embun
Biarkan rahasianya tersimpan pada kuncupnya
Yang malu-malu untuk mekar
("Bunga Turi")

Tak ada duka pada pelupuk mawar yang disentuh perempuan
Karena tangis baginya hanyalah keindahan yang tersembunyi
("Bunga Mawar")

Pernyataan kerinduannya sebagai seorang lelaki, pada Sang Cinta, pada manusia, pada kampung halaman, terajut indah dalam Luka Seorang Lelaki:

Luka seorang lelaki adalah rembulan
Yang purnamanya gelisah
Meredup
Menyembunyikan wajahnya pada awan
Merintih lirih
Senyap
Mengapa?
Yah, karena sepi memanggil
Karena rindu menderu
Dan karena cinta melanda

Lalu dalam Cintaku, yang merupakan penuturan cintanya pada Sang Maha Pencipta:

Takkan ada cinta yang lebih indah
Bagiku; orang buta
Ditutupi biru langit rindunya
Kepada butiran gerimis di senja itu

Takkan ada cinta yang lebih dalam
Bagiku; orang buta
Disimpan erat-erat sajaknya
Yang bimbang diucapkannya; langit kepada gerimis

Takkan ada cinta yang lebih suci
Bagiku; orang buta
Direlakannya apa yang terlihat di langit
Disimak rintik-rintik gerimis senja itu


Juga tentang cerita cintanya pada putrinya yaitu Zeffa Yurihana, dalam Dongeng:

Pada zaman dahulu kala
Tatkala istana raja menjadi batu
Kita bersembunyi di balik ibu
Mencari langit berkumpul awan
Dan tiba-tiba sepi di hadapan
Akhirnya,
Menua kita di balik reruntuhan cerita dongeng


Dan dalam Bulan:

Ketika putri kecilku melihat bulan berendam
Pada sungai di atas jembatan itu
Bisik lirih padaku
Papa, mengapa bulan mandi tengah malam?
Wajahnya nampak sedih
Apakah mamanya tak mencari?
Aku ingin mengajaknya bermain
Tapi ini tengah malam, sahutku
Bolehkah kubawa serta tidur?, rajuknya
Biar besok pagi kan dijemput mama matahari


Serta pesan cinta seorang ayah kepada putrinya dalam Surat Kepada Zeffa 2:

Untuk itu sayangku
Semua yang datang padamu adalah indah
Tentu, jika kau mau mendengarkannya dengan hatimu
Dan cinta yang menyambutnya


Dan memang semua yang datang adalah indah, kala Irwan melihat dunia dengan hatinya, bahwa kebutaan pada matanya bukan berarti kebutaan pada mata hatinya,
dan merangkai keindahan itu dalam sajak-sajaknya, seperti yang dituliskannya pada kata pengantar buku antologi puisi ini:

"Kedalaman sebuah seni hanya didapatkan di dalam keindahan pikiran dan hati kita sebagai manusia."

Dan berbahagialah mereka yang mencintai hidup dan kehidupan melalui keindahan hati.

Jakarta, 26 Januari 2008 at 10.00 a.m
Exclusively written for komunitas Sekolah Kehidupan with lots of love

Catatan penulis: Sebagian penjualan buku antologi puisi "Angin Pun Berbisik" akan didedikasikan guna membiayai gerakan "Seribu Buku Untuk Tuna Netra".
Gerakan ini bertujuan guna mempermudah tuna netra mendapatkan akses ke dunia literasi.

Dikutip dari:
http://mutiaracinta.multiply.com/journal/item/99/Melihat_Dengan_Hati_Melalui_Angin_Pun_Berbisik_Sebuah_Apresiasi

Tidak ada komentar: