Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Burung-burung terbang diantara buku-buku
Membaca berlembar-lembar pada evolusi manusia
Kolektivitas, egaliter, merasuki jiwa-jiwa primitif
Entah laki-laki ataupun perempuan,
Entah diberi atau memberi
Sama, tak dikurangi ataupun menambahkannya
Pada hasrat yang sederhana
Pada dada
Pada bulu kaki
Pada telinga dan juga pada kesadaran yang tersembunyi
Burung-burung berhenti pada gurun pustaka cendekia
Menuliskan catatan tentang istana fatamorgana
Mahkota raja adalah kebebasan untuk memberi candu pada setiap hamba
Menari karena kerasukan
Menyanyi karena rasa nikmat yang tak tertampung
Pada duka
Membuang segala, segala yang mereka punya
Entah hidup atau tak bernyawa, keduanya ditangan raja.
Burung-burung hanya dapat bernyanyi dan menari
Untuk diberi makna
Merdu
Indah
Gemulai dan mengilusikan bayangnya pada cermin Bernama peradaban
Burung-burung kini lepas dari dialektika pemikiran
Setelah berkali-kali menembusi kematian,
Burung-burung pergi
Menyelami waktu-waktu dimana kolektivitas manusia
Meronakan warna
Entah air mata, kesunyian, kepedihan, ketertindasan
Burung-burung kembali pada kepaknya
Mencoba menggores makna pada jalan panjang
Berlentera pengetahuan
Untuk ditorehkan pada prasasti kematian
Kematian sebuah nama
Per-adab-an
Abstrak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar