Abstrak

Abstrak

Rabu, Mei 18, 2011

Makna Senja

...
Luka seorang lelaki adalah senja
Yang temaramnya menjerit lirih
...

Puisi berjudul Luka Seorang Lelaki itu adalah karya Irwan Dwi Kustanto, seorang penyandang tunanetra. Bersama sejumlah puisi lain, puisi itu dikumpulkan dalam buku Angin pun Berbisik. Antologi puisi itu diluncurkan sekaligus didiskusikan di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu lalu.

Dalam puisi-puisi di buku ini, pria berumur 42 tahun ini mencoba memaknai apa yang dialaminya dengan caranya sendiri, antara lain senja. Irwan menggambarkan senja dalam bentuk bunyi atau suara, yang merupakan salah satu sarana bagi tunanetra untuk berinteraksi.

Hal yang sama ditemui pada puisi-puisinya yang lain. Salah satunya adalah Rinduku padamu.

...
Rinduku padamu: Semerbak mawar
Tak terurai walau merah kelopaknya menggema
Tak terserap walau wanginya menebar
...

Menurut penyair Joko Pinurbo, yang menjadi pembicara dalam bedah buku tersebut, asosiasi yang dihadirkan Irwan dalam sajak-sajaknya memiliki kekhasan sendiri. "Ia memiliki kejujuran yang butuh keberanian mental. Padahal banyak penyair lain yang menyembunyikan perasaannya," kata Joko.

Puisi Rinduku padamu, kata Joko, menunjukkan bagaimana hal yang bersifat individual bisa jadi penerangan bagi orang lain.

Irwan mengakui puisi-puisinya berangkat dari pengalaman pribadi. "Saya hanya mengungkapkan apa yang saya rasakan," ujar ayah tiga putri ini. "Hidup ini indah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya," ujarnya.

Pengalaman hidup Irwan yang tidak bisa melihat sejak usia 9 tahun terbilang cukup menyedihkan. Tidak jarang ia mendapat perlakuan kasar dari orang lain. Salah satunya adalah ketika ia dikeluarkan dari tempat kuliahnya di sebuah kampus yang mendidik calon guru di Jakarta. Alasannya, calon guru tidak boleh cacat.

Tak menyerah begitu saja, Irwan kemudian melanjutkan kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana dari Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Besarnya perhatian teman-temannya membuat Irwan semakin kuat. "Saya punya sahabat yang suka membacakan buku untuk saya," ujarnya.

Selain puisi-puisi Irwan, buku setebal 164 halaman itu juga memuat puisi karya istrinya, Siti Atmamiah, 42 tahun, dan putri sulungnya, Zeffa Yurihana, 11 tahun. Karya Zeffa juga cukup menarik. Lihat saja puisi Pasar yang merupakan metafora terhadap kondisi pasar.


...
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tidak ada yang menjual senyum,
Sedihnya...

Zeffa mengaku ayahnyalah yang mengajarinya menulis puisi. Puisi yang ditulisnya ketika berusia 9 tahun tersebut merupakan apa yang ditemuinya ketika pergi ke pasar bersama ibu. "Ayah mengajarkan untuk menulis apa yang ada di hati dan apa yang dirasakan," ujar siswa di Madrasah Ibtidaiyah Al-Azhar Bandung, Tulungagung, ini.

Menurut akademisi sastra Melani Budianta, puisi Pasar itu memberikan kita suatu pelajaran berarti: pasar yang merupakan tempat sosial telah kehilangan nilai sosialnya. "Semuanya hanya didasarkan pada kepentingan," ujarnya.

Seusai bedah buku, malamnya sejumlah acara seni ditampilkan untuk menandai peluncuran buku itu. Ada kolaborasi Irwan dengan pianis Marusya Nainggolan, pertunjukan teater, pembacaan puisi oleh Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka, Joko Pinurbo, dan Zefra, serta musikalisasi puisi oleh mahasiswa tunanetra.

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MTE2MzA5

Tidak ada komentar: