Oleh: Zeffa Yurihana
Angin…
Berhembus kesana-kesini
Tak bisa dipegang
Tapi bisa dirasakan
Angin…
Bernyanyilah bersamaku
Dengan nada yang indah
Dengan suara yang merdu,
Dengan sepenuh hatimu, bahagialah aku
Angin…
Tidak akan pernah habis, ceritamu
Setiap hari berlari denganku
Nada indah dan suara merdu
Untuk alam dan teman-temanku
Abstrak

Jumat, November 14, 2008
ANAK GEMBALA
Oleh: Zeffa Yurihana
Oh… anak gembala selalu riang gembira
Menata kambing-kambing dengan rapinya
Membawa mereka ke padang rumput
Membawa mereka ke telaga
Tak terasa lelah dan letih
Oh... anak gembala selalu riang gembira
Mencuci domba-domba dengan bersihnya
Menuntun mereka ke sungai
Bersih,putih warna dombanya
Tanpa terasa lemas dan lesu.
Seharian menemani domba
Oh ... domba dalam hatiku
Merumputlah dengan gembira
Bermandilah disungai-sungaiku disana
Agar anak-anak bersih, riang dan bermain
Oh… anak gembala selalu riang gembira
Menata kambing-kambing dengan rapinya
Membawa mereka ke padang rumput
Membawa mereka ke telaga
Tak terasa lelah dan letih
Oh... anak gembala selalu riang gembira
Mencuci domba-domba dengan bersihnya
Menuntun mereka ke sungai
Bersih,putih warna dombanya
Tanpa terasa lemas dan lesu.
Seharian menemani domba
Oh ... domba dalam hatiku
Merumputlah dengan gembira
Bermandilah disungai-sungaiku disana
Agar anak-anak bersih, riang dan bermain
ALAM
Oleh: Zeffa Yurihana
Disini kuhidup
Disini kumati
Alam tlah memberiku kebebasan
Alam tlah memberiku kebimbangan
Dan akhirnya putus asaku ada dialam
Alam tlah meciptakan semua
Dikala aku sedih
Aku selalu bersama alam
Dikala aku senang
Aku selalu bersama alam
Temanku bermain dan tempatku bersedu
Disinilah tempatku
Dan pada waktunya
Aku akan kembali
Kemana sebelum aku hidup dialam
Disini kuhidup
Disini kumati
Alam tlah memberiku kebebasan
Alam tlah memberiku kebimbangan
Dan akhirnya putus asaku ada dialam
Alam tlah meciptakan semua
Dikala aku sedih
Aku selalu bersama alam
Dikala aku senang
Aku selalu bersama alam
Temanku bermain dan tempatku bersedu
Disinilah tempatku
Dan pada waktunya
Aku akan kembali
Kemana sebelum aku hidup dialam
DI UJUNG JALAN ITU AKU CEMBURU
Oleh: Siti Atmamiah
Di ujung jalan itu aku menanti
Gadis berambut panjang
Matanya yang sayu
Tak mungkin lupa
Menatap tetes embun jatuh
Pada jemarinya yang putih akan cahaya rembulan
Di ujung jalan itu
Gadis dalam lukisan mimpiku
Belum juga kembali
Mungkin tersesat
Ketika mencari jalan pulang
Ataukah kakinya terluka ?
Saat menjejak batu cadas
Di ujung jalan itu
Aku tak lelah menanti
Di ujung jalan itu aku menanti
Gadis berambut panjang
Matanya yang sayu
Tak mungkin lupa
Menatap tetes embun jatuh
Pada jemarinya yang putih akan cahaya rembulan
Di ujung jalan itu
Gadis dalam lukisan mimpiku
Belum juga kembali
Mungkin tersesat
Ketika mencari jalan pulang
Ataukah kakinya terluka ?
Saat menjejak batu cadas
Di ujung jalan itu
Aku tak lelah menanti
CINTA YANG BERGENAP
Oleh: Siti Atmamiah
Kau bisikkan
Ditelingaku
Tentang danau biru
Indah anyelir oranye
Aku tak percaya
Bagiku dunia tak diberi warna
Kau lukiskan
Bulan yang tersamar
Tersaput mega-mega
Aku hanya diam
Bagiku diatas sana tak ada benda-benda
Hingga kau sentuhkan jarimu menembus kulitku
Aku merasa begitu genap
Cinta telah menjadi cahaya
Apakah kini siang ataukah malam ?
Tak kurang bagiku
Karena rindumu telah menyempurnakan hidupku
Kau bisikkan
Ditelingaku
Tentang danau biru
Indah anyelir oranye
Aku tak percaya
Bagiku dunia tak diberi warna
Kau lukiskan
Bulan yang tersamar
Tersaput mega-mega
Aku hanya diam
Bagiku diatas sana tak ada benda-benda
Hingga kau sentuhkan jarimu menembus kulitku
Aku merasa begitu genap
Cinta telah menjadi cahaya
Apakah kini siang ataukah malam ?
Tak kurang bagiku
Karena rindumu telah menyempurnakan hidupku
AKU HANYA ANAK KECIL, MAMA
Oleh: Siti Atmamiah
2 Juni 2004
Aku hanyalah anak kecil, mama
Kaki-kakiku kecil
Tanganku, tubuhku juga kecil
Terkadang aku nakal dan membuatmu tak bisa menahan marah
Memukul, mencubit, berkata keras dan bahkan membentak
Aku hanya bisa menangis
Aku hanya anak kecil mama
Aku bukan penjahat
Aku hanya ingin tahu
Ingin mencoba
Ingin belajar mengerti
Tentang isi semesta dengan caraku sendiri
Aku hanya anak kecil mama
Yang baru saja keluar
Dari rahimmu
Sementara wangi ketuban belum hilang dari raung ditubuhku
Aku hanya punya cita-cita dan mimpi, mama
Membawamu pada surga tempat tumpahnya bahagia
2 Juni 2004
Aku hanyalah anak kecil, mama
Kaki-kakiku kecil
Tanganku, tubuhku juga kecil
Terkadang aku nakal dan membuatmu tak bisa menahan marah
Memukul, mencubit, berkata keras dan bahkan membentak
Aku hanya bisa menangis
Aku hanya anak kecil mama
Aku bukan penjahat
Aku hanya ingin tahu
Ingin mencoba
Ingin belajar mengerti
Tentang isi semesta dengan caraku sendiri
Aku hanya anak kecil mama
Yang baru saja keluar
Dari rahimmu
Sementara wangi ketuban belum hilang dari raung ditubuhku
Aku hanya punya cita-cita dan mimpi, mama
Membawamu pada surga tempat tumpahnya bahagia
SEANDAINYA
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Seandainya aku dapat …, tetapi engkau seorang buta!
Kau hanya mereka-reka bayang-bayangmu sendiri
Dari kejaran matahari
Kau hanya bisa menduga-duga hembusan angin
Yang mengejar telingamu dengan desirannya
Walau tak pernah kau letih, kutahu itu,
Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari
Melukis langit
Memahat lembah
Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala
Seandainya aku … tetapi kau hanyalah seorang buta!
Tertatih-tatih langkahmu
Mencari pesan dari batu kerikil disungai itu
Yang tak bosan-bosannya datang padaku, sia-sia
Seandainya aku…, tetapi kau buta!
Jangan pernah berkata apapun kecuali,
Kecuali aku telah pergi
Seandainya aku dapat …, tetapi engkau seorang buta!
Kau hanya mereka-reka bayang-bayangmu sendiri
Dari kejaran matahari
Kau hanya bisa menduga-duga hembusan angin
Yang mengejar telingamu dengan desirannya
Walau tak pernah kau letih, kutahu itu,
Engkau yang mewarnai sendiri matamu dengan jemari
Melukis langit
Memahat lembah
Dan menorehkan pelangi pada sudut cakrawala
Seandainya aku … tetapi kau hanyalah seorang buta!
Tertatih-tatih langkahmu
Mencari pesan dari batu kerikil disungai itu
Yang tak bosan-bosannya datang padaku, sia-sia
Seandainya aku…, tetapi kau buta!
Jangan pernah berkata apapun kecuali,
Kecuali aku telah pergi
MENCINTAIMU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Mencintaimu dengan mata terpejam
Adalah bunga mawar
Yang merahnya tercium temaram
Saat senja tersandar dipantaian pasir putih
Mencintaimu dengan tangan terlunglai
Adalah rembulan malam
Yang purnamanya terbuai semburat
Saat awan melintasi gugus bintang di pantai prigi
Mencintaimu dengan apa adaku
Adalah tarikan nafas
Basah
Melumuri jiwa
Diam
Bersemayam
Dan luluh dalam embun fajarmu
Selamanya, kekal dan abadi
Mencintaimu dengan mata terpejam
Adalah bunga mawar
Yang merahnya tercium temaram
Saat senja tersandar dipantaian pasir putih
Mencintaimu dengan tangan terlunglai
Adalah rembulan malam
Yang purnamanya terbuai semburat
Saat awan melintasi gugus bintang di pantai prigi
Mencintaimu dengan apa adaku
Adalah tarikan nafas
Basah
Melumuri jiwa
Diam
Bersemayam
Dan luluh dalam embun fajarmu
Selamanya, kekal dan abadi
CEMBURU 2
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan ditanganmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta
Ketika aku bertanya
Mengapa kau kirimkan air mata
Kepada gurun-gurunku yang terik
Sisi mana hendak kau jangkau
Pelabuhan-pelabuhan mana hendak kau sandar
Sedang rembulan ditanganmu belum jua membelah
Malam untuk dibaringkan
Pada bantal yang selalu basah
Karena air mata tak cukup mengucap cinta
CEMBURU 1
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Lembar surat merah muda itu
Berbisik lirih
Pada hidupmu
Pada malam-malam yang kau sembunyikan
Untuk menatap bulan
Untuk berjalan dipematang
Untuk menimba rindu disumur belakang pondok
Kau katakan, bulan adalah cermin
Yang cahayanya mengukir malu
Untuk dilarutkan pada prasangkaku
Tidak, aku hanyalah malam-malam itu
Yang rembulannya tak pernah ragu
Berjalan pada lembar-lembar guraumu
Dalam surat merah muda itu
Lembar surat merah muda itu
Berbisik lirih
Pada hidupmu
Pada malam-malam yang kau sembunyikan
Untuk menatap bulan
Untuk berjalan dipematang
Untuk menimba rindu disumur belakang pondok
Kau katakan, bulan adalah cermin
Yang cahayanya mengukir malu
Untuk dilarutkan pada prasangkaku
Tidak, aku hanyalah malam-malam itu
Yang rembulannya tak pernah ragu
Berjalan pada lembar-lembar guraumu
Dalam surat merah muda itu
CINTAKU PADAMU
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Cintaku padamu
Adalah sungai berbatu
Yang selalu
Berkelebat bayang camar
Enggan mendarat
Bertiup angin meminta pulang
Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis
Disenja menjelang galungan
Dimana kau tempatkan sesaji pada dukaku
Walau waktu memberat langkah
Namun engkau tetap khusuk
Mengalunkan doa-doa
Yang dewa-dewapun tak pernah merajutnya
Pada langit di Kute Bali
Rinduku padamu
Adalah bunga bakung
Yang selalu asyik
Menanti embun setiap pagi
Setiap tetes yang setia
Pada nyaring gemanya
Untuk bertemu
Dipermukaan tanah dan menyatukan kembali
Sungai-sungainya yang pernah hilang
Mencari matahari berabad-abad
Dan kini
Basah oleh setetes jiwa
Yang berharap dipersatukan
Dalam sebuah gerimis kecil
Ketika senjamu meninggalkan pure-pureku
Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya
Cintaku padamu
Adalah sungai berbatu
Yang selalu
Berkelebat bayang camar
Enggan mendarat
Bertiup angin meminta pulang
Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis
Disenja menjelang galungan
Dimana kau tempatkan sesaji pada dukaku
Walau waktu memberat langkah
Namun engkau tetap khusuk
Mengalunkan doa-doa
Yang dewa-dewapun tak pernah merajutnya
Pada langit di Kute Bali
Rinduku padamu
Adalah bunga bakung
Yang selalu asyik
Menanti embun setiap pagi
Setiap tetes yang setia
Pada nyaring gemanya
Untuk bertemu
Dipermukaan tanah dan menyatukan kembali
Sungai-sungainya yang pernah hilang
Mencari matahari berabad-abad
Dan kini
Basah oleh setetes jiwa
Yang berharap dipersatukan
Dalam sebuah gerimis kecil
Ketika senjamu meninggalkan pure-pureku
Cinta dan rinduku padamu
Hanya dewa yang menyimpannya
Senin, November 10, 2008
LILIN
Oleh: Irwan Dwi Kustanto
Sebuah lilin berbisik; ciumlah!
Lelaki itu malu-malu menjaring serbuk rindunya
Pada bunga dititipkan sebuah syair
Ini cintaku; terang mewarna
100 abad sudah kupendam; dalam matahari senja;
Dalam hembusan angin; dalam arus sungai
Dan dalam sayap kupu-kupu
Sebuah lilin mengendap-endap; belailah!
Lelaki itu memandangi bayang-bayangnya sendiri
Itu hutan
Itu sungai
Bukan, itu awan
Tidak, itu bebatuan
Tetapi mengapa dia seperti aku; selalu kalah
Sebuah lilin ingin tertidur; ia malu
Ia ingin menutup kedua matanya
Ia ingin berlari menjauhi api
Ia tak punya pilihan
Cinta menjadikannya luruh pada nasibnya;
Dimana perempuan selalu menerimanya;
Sebagai mimpi yang harus dirajutnya
Sebuah lilin berbisik; ciumlah!
Lelaki itu malu-malu menjaring serbuk rindunya
Pada bunga dititipkan sebuah syair
Ini cintaku; terang mewarna
100 abad sudah kupendam; dalam matahari senja;
Dalam hembusan angin; dalam arus sungai
Dan dalam sayap kupu-kupu
Sebuah lilin mengendap-endap; belailah!
Lelaki itu memandangi bayang-bayangnya sendiri
Itu hutan
Itu sungai
Bukan, itu awan
Tidak, itu bebatuan
Tetapi mengapa dia seperti aku; selalu kalah
Sebuah lilin ingin tertidur; ia malu
Ia ingin menutup kedua matanya
Ia ingin berlari menjauhi api
Ia tak punya pilihan
Cinta menjadikannya luruh pada nasibnya;
Dimana perempuan selalu menerimanya;
Sebagai mimpi yang harus dirajutnya
Langganan:
Postingan (Atom)