Tanggal: | Sumber: |
23 Sep 2008 | vhrmedia.com |
Prakarsa Rakyat,
22 September 2008 - 13:12 WIB
FX Rudy Gunawan
aku tak ingin dikalahkan oleh hidup
kucoba lagi masuk ke dalam perut bumi
bukankah debu-debu sudah menjadi bagian kakiku
jadi pasti kutemukan lagu itu di sana
Sebait puisi di atas penggalan puisi "Langkah Seribu Bintang" karya Irwan Dwi Kustanto, seorang penyair tunanetra. Puisi-puisi Irwan memang indah dan memiliki keunikan karakter, justru karena ketunanetraan dirinya. Indra penglihatan yang tidak berfungsi membuat Irwan memaksimalkan indra penciuman, peraba, dan pendengarannya secara luar biasa. Dan itu menjadi modalnya dalam berproses kreatif. Tapi jauh lebih penting dari itu, yang ingin saya tulis dan sampaikan pada para pembaca adalah perjuangan dan kesuriteladanan yang bisa kita petik dari sosok seorang tunanetra yang umumnya kerap kita anggap tak berdaya.
Seperti ditulisnya dalam puisi berjudul "Langkah Seribu Bintang" yang saya kutip sebait di awal tulisan ini, Irwan menegaskan bahwa ia tak ingin dikalahkan oleh hidup.
Irwan menjadi tunanetra karena kerusakan retina yang dialaminya sejak usia 9 tahun, saat ia masih duduk di bangku SD. Sungguh kacau merasakan cahaya tak lagi menerangi hidupnya, membuat Irwan kecil terpuruk dalam jurang keputusasaan. Namun dengan kondisi penglihatan yang sangat terbatas, Irwan berjuang untuk mengikuti semua pelajaran di tengah badai ejekan, hinaan, dan perlakuan diskriminatif yang harus diterimanya hingga lulus SD dan SMP. Penglihatan Irwan terus meredup, namun ia tetap melanjutkan sekolah dengan gigih hingga berhasil menamatkan SMA. Pada titik ini, Irwan merasa semakin frustrasi. Tak kuat ia rasanya menahan beban kegelapan yang membuatnya semakin terpuruk. Irwan dan keluarganya lalu menghabiskan waktu dua tahun untuk mencari berbagai alternatif pengobatan kedua matanya. Dalam bait lain Langkah Seribu Bintang, Irwan menulis:
semua yang kau titipkan dahulu
aku masih menyimpannya di dada
terkadang menjadi lagu yang mengalun begitu saja
menghampiri dan membawaku ke lembah-lembah dan ngarai
Dua tahun upayanya tak membuahkan hasil apa pun. Irwan akhirnya harus benar-benar menerima kenyataan bahwa matanya tak bisa lagi diobati. Dan inilah titik balik sekaligus titik awal lembaran baru kehidupannya resmi sebagai tunanetra. Irwan mulai belajar membaca huruf Braille dan mencoba mendaftar kuliah.
Ia diterima kuliah untuk pertama kalinya di IKIP Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Filsafat Pendidikan, dan segera dikeluarkan lagi oleh Rektor dengan alasan:
"Calon pendidik tidak boleh cacat!"
Beruntung, Irwan tidak putus asa dan menemukan kampus yang mau menerimanya, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Filsafat Agama. Di kampus inilah Irwan menempa dirinya dan menemukan lingkungan yang ramah pada keterbatasan dirinya sebagai seorang tunanetra sehingga ia dapat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan selama kuliah. Irwan menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana pada tahun 1994 setelah sekitar enam tahun menjalani masa kuliah.
kutembus tembok kampus, kulangkahi pagar-pagar bank
kubangun trotoar sendiri
aku bangga ibu, aku bangga jadi anakmu
Itulah Irwan. Semangatnya untuk menjadi cahaya dalam hidup orang-orang tunanetra lainnya begitu kuat menyala. Kerap, kita sebagai orang-orang bermata awas (istilah yang digunakan para tunanetra untuk menyebut orang-orang berpenglihatan) hanya berhenti pada rasa iba yang semu. Padahal bukan rasa iba yang diperlukan, melainkan akses untuk mereka agar mendapat kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Dan kita juga kerap melupakan bahwa mereka mempunyai hak yang sama dengan semua orang lainnya. Untunglah sejumlah tunanetra seperti Irwan mendobrak tembok-tembok penghalang yang kita bangun itu. Lalu kita pun terhenyak.
Betapa seharusnya kita malu pada diri kita, karena sebagai orang-orang bermata awas, kita ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang tunanetra seperti Irwan Dwi Kustanto. Kini Irwan adalah Wakil Direktur Yayasan Mitra Netra, yang prestasinya antara lain mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter, mencetuskan ide kamus elektronik untuk tunanetra, dan yang terakhir adalah mencetuskan dan memelopori Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra.
Buku antologi puisi Angin Pun Berbisik yang berisi puisi-puisi karya Irwan, Siti Atmamiah (istrinya), dan Zeffa Yurihana (anaknya yang saat ini baru kelas I SMP), telah beredar luas dan mendapat respons positif dari masyarakat. Antologi puisi itu juga dijadikan album musikalisasi puisi oleh sejumlah pemusik muda seperti Endah dan Reza, Ninok (grup band Ran), group band Drew, dan bahkan artis cantik Maudy Kusnaedi dan Cornelia Agatha pun terlibat dalam album musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik. Sungguh kita seharusnya belajar banyak dari sosok Irwan agar kita lebih peduli, lebih rendah hati, dan lebih berbuat banyak untuk masyarakat sehingga bisa mengikuti "langkah seribu bintang"-nya Irwan Dwi Kustanto.
angsa-angsamu pun menari
kepak sayapnya melukiskan ballet Yunani
saat airnya beriak, gelombangnya menyitir sang Gibran
dari Lebanon
sambil menoleh kiri dan kanan angsamu berkaca
mencelupkan wajahnya di air sambil berputar membuat lingkaran
aku damai ibu
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429. Segenap awak Voice of Human Rights mohon maaf lahir dan batin atas semua kesalahan yang, baik sengaja maupun tidak, pernah kami lakukan. Minal Aidin Wal Faidzin! Mari menciptakan damai dalam hidup kita, seperti Irwan menciptakan damai di hati para tunanetra. (*)
dikutip dari: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/kolom/artikel_cetak.php?aid=30341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar