(Dimuat di Media Indonesia tgl. 26 Januari 2008 pada rubrik bedah pustaka)
Judul : Angin pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta
Pengarang : Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana
Pengantar : Mohamd Sobary
Penerbit : Jakarta: Sp@asi dan Yayasan Mitra Netra, Januari 2008
Tebal : xxvii + 164 halaman
Puisi-puisi dalam buku ini lahir dari sebuah proses yang mengharukan. Ditulis oleh sebuah keluarga, Irwan Dwi Kustanto (suami/ayah), Siti Atmamiah (istri/ibu), dan Seffa Yurihana (anak), puisi-puisi itu adalah ekspresi, saksi, sekaligus dokumentasi pasang-surut cinta, rindu, cemburu, kesedihan, dan kebahagiaan dalam hubungan suami-istri dan ayah-ibu-anak.
Menginjak usia 9 tahun, Irwan mengalami gangguan penglihatan. Usaha penyembuhan dilakukan dengan berbagai cara, tapi dokter akhirnya menyimpulkan bahwa retina kedua matanya rusak total. Ia harus menerima kenyataan bahwa dia kini adalah seorang tunanetra. Dengan perasaan kecewa dan putus asa, pria kelahiran Jakarta, 7 November 1966, ini memasuki babak baru hidupnya yang gelap. Tak bisa lagi melihat dengan awas adalah sebuah pukulan sekaligus beban mental yang amat berat.
Pukulan berat yang takkan terlupakan dialami Irwan ketika dia kuliah filsafat pendidikan di IKIP Muhammadiyah Jakarta. Dengan kesadaran penuh bahwa dia kini seorang tunanetra, dia bercita-cita menjadi guru. Ketika itu dia sudah fasih baca-tulis huruf Braille. Tapi setelah menyelesaikan semester 1, perguruan tinggi itu tidak membolehkan Irwan melanjutkan kuliah ke semester berikutnya. Alasannya sungguh menyakitkan: "Calon guru tak boleh cacat." Dengan hati pedih, dia pun pergi meninggalkan kampus itu.
Tapi Irwan tidak kalah. Dia akhirnya kuliah filsafat Islam di IAIN (kini: UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan berhasil merampungkannya di tahun 2004. Maka dia fasih berbicara filsafat, baik klasik maupun modern, dari Al-Kindi hingga Murtadha Muthahhari, dari Thales hingga Habermas. Di antara filsuf yang dikaguminya adalah Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan itu. Tidaklah mengherankan kalau dia menyukai sajak atau puisi, di samping filsafat.
Irwan bahkan menulis semacam kredo puisi, sebuah sikap kepenyairan yang jelas berlatar hidupnya sebagai seorang tunanetra sekaligus seorang sarjana filsafat yang menyadari keterbatasan rasio. Dia menulis, "Tatkala mata fisikku tak lagi sempurna menggambarkan dan memproyeksikan benda-benda ke dalam otak dan pikiranku, maka hati dan jiwaku menggantikannya dengan ketajaman penglihatan yang sungguh dahsyat. Begitulah, aku dihadiahkan oleh Tuhan dan alam kasih sayang yang melimpah, aku dibiarkan untuk mengenali dirinya dengan caraku sendiri ....
Dunia yang terkurung oleh petak-petak dalam rasio manusia terpancar menyatu dalam gelora dan kelembutan makna hadirku, aku terbiasa dengan sentuhan jari, penciuman, pendengaran serta terkadang kilatan-kilatan rasa yang membuatkehadiran dunia menjadi berdimensi dan utuh. Kesan-kesan yang menggurat lantas menjadi begitu hidup, seakan berbicara dengan huruf-huruf, kata demi kata dan akhirnya menjelma sebagai sajak.
Sajak bagiku kehidupan, baik dituliskan atau dilisankan, bahkan jika hanya tersimpan dalam relung hati sekalipun. Dia tetap tumbuh dan berkembang, memberi segala rupa, makna dan rahasia kepada siapa pun yang menginginkannya hidup. Dalam kegelapan dan redupnya cahaya yang mampir ke dalam mataku, sebait sajak bernilai berjuta gambar bagi siapa pun yang mendengar atau menbacanya, oleh karenanya dengan sajak dunia begitu berwarna, meriah, agung dan indah bagiku."
Di IAIN Syarif Hidayatullah, Irwan bertemu dengan Siti Atmamiah, kakak kelasnya yang juga menyukai puisi. Kepada perempuan bermata awas yang kemudian menjadi istrinya inilah, puisi Irwan berikut ini (mungkin) dialamatkan: rembulan cinta, senyum menjelma/ menetaslah rindu/ tatkala bermula, senja termangu/ dan saat malam menggeliat, tak henti-henti/ kusebut namamu (hal. 37). Mereka kini dikaruniai 3 anak: Zeffa Yurihana, Zella Adilati, dan Zeyyina Kayyis Kaila.
Hidup bahagia sebagai sebuah keluarga, tuntutan kenyataan memaksa mereka hidup terpisah sejak tahun 2004. Karena alasan pekerjaan, Irwan tinggal di Jakarta, sementara istri dan ketiga anaknya tinggal di Tulungagung, Jawa Timur, karena alasan orangtua sang istri. Praktis Irwan berjumpa istri dan anak-anaknya hanya pada hari-hari libur.
Tapi jarak tak memisahkan keluarga bahagia ini. Jarak tak lain adalah sebuah jembatan melalui mana rindu, kesedihan, dan kebahagiaan bersama selalu dihubungkan. Jarak adalah sebuah ruang dimana cinta menemukan biru apinya yang kekal dan menyala-nyala. Dari sanalah puisi-puisi mereka lahir. Dalam kata-kata Atmamiah sendiri, "... puisi ini lebih terinspirasi oleh perasaan yang timbul akibat sebuah jarak, rindu, kesedihan yang benar-benar niscaya, dan cinta yang paling agung dan abadi —dunia tak pernah segelap ini."
Maka membaca puisi dalam buku yang diluncurkan Rabu (23/1) lalu ini, adalah membaca kesedihan sekaligus kebahagiaan yang menggelora dalam biru api cinta yang menyala-nyala. Kesedihan dan kebahagiaan, kesabaran dan ketabahan, impian dan harapan, terdengar bersahut-sahutan di halaman-halaman buku ini, seakan suara samar yang melintas-lintas antara Jakarta-Tulungagung. Inilah dendang cinta Irwan Dwi Kustanto dari Jakarta:
Cintaku padamu
Adalah sungai berbatu
Yang selalu
Berkelebat bayang camar
Enggan mendarat
Bertiup angin meminta pulang
Pada gelisahmu yang runtuh karena gerimis
Di senja menjelang galungan
Di mana kau tempatkan sesaji pada dukaku
...
(hal. 9)
Seakan menyahuti dendang cinta itu, di Tulungagung Siti Atmamiah pun bernyanyi sendu:
Sepagi ini engkau terbangun
Kutahu mimpimu belum sempurna
Kau genggam sepotong rembulan jatuh di wajahmu
Matamu yang terpejam
Bukan karena engkau tertidur
Belajar membaca pertanda
Pada jubah yang memnuimpan rahasia semesta:
Laut melumat pasir saat gelombang pasang
Awan mengarak burung saat kehabisan dahan
Bulan yang terluka
Kecipak air muara
Matamu yang memejam
Mengharap harum bunga
Tak usah dinanti melati mekar
Bila kuncupnya membuatmu merangkai cinta.
(hal. 125)
Siti Atmimiah berdendang pula, sebuah dendang rindu dari jauh:
Berjalan engkau
Saat senja baru saja pergi
Sebutir kenangan yang lewat
Mencari-cari jemarimu yang muram
Tak ada awalnya
Ketika kita bertemu
Merapatlah
Dadaku penuh gelora
Di sini darah sedang mengalir deras
Mengejar sekumpulan awan
Yang membawa kabar:
"Esok sore engkau akan datang"
(hal. 127)
Dan Zeffa Yurihana? Seperti ibunya, anak 11 tahun itu berharap sang ayah selalu ada di sampingnya, harapan yang dia tahu sedekat ini tak mungkin terpenuhi. Maka harapan dan permintaannya bersifat penuh seluruh, sebuah permohonan anak-anak yang memelas dan mengharukan:
Kali ini saja kumeminta
Kali ini saja kumemohon
Di suatu hari nanti
Kutakkan meminta lagi
Kau harus bersamaku
Takkan meninggalkanku
Hidup ini serasa sempurna
Karena ada kau di sampingku
Kali ini saja kumeminta padamu
Untuk menyempurnakan jalan hidupku
(hal. 148).
Di atas gelora cinta itu, dalam kesedihan dan kebahagiaan keluarga, dan dengan keterbatasannya sebagai seorang tunanetra namun dengan ketajaman mata lahir-batinnya yang luar biasa, Irwan Dwi Kustanto kini mengabdikan diri untuk memenuhi hak-hak kaum tunanetra. Di Indonesia, jumlah tunanetra mencapai 3 juta orang atau 1,5% penduduk. Sebagai wakil direktur eksekutif Yayasan Mitra Netra, Jakarta, yang dijabatnya sejak 2001, Irwan mengembangkan sistem simbol Braille Indonesia, menciptakan Mitra Netra Braille Converter (sebuah perangkat lunak penkonversi aksara komputer ke aksara Braille), menggagas kamus elektronik untuk tunanetra, dan menggagas program Seribu Buku untuk Tunanetra. Di samping itu, pria yang sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini adalah instruktur nasional untuk pengembangan simbol Braille Indonesia.
Jika sajak bagi Irwan adalah kehidupan, sebagaimana diakuinya sendiri, maka kreativitas dan produktivitas mengatasi jarak dan ketunanetraan adalah kehidupan Irwan yang sesungguhnya.***
Pondok Cabe, 24 Januari 2008
Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra Horison.
Abstrak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar