January 24, 2008
By: Angga Haksoro Ardhi
Kudengar lirih bisikmu
Pada tabah yang selalu
Merahasiakan rindunya
Kala senja menyapa; matahari kepada malam
Kudengar lirih bisikmu
Pada sabar yang senantiasa
Menanti jejak kepak sayapnya
Yang malu-malu; saat kumbang menyentuh bunga
Kudengar lirih bisikmu
Pada duka yang terbiasa
Menyimpan semua puisi
Terbang bersama; camar yang tak pernah kembali
Ini merupakan satu dari 126 puisi buah “rindu” dan cinta yang luas pada kehidupan dari ayah, ibu, dan anak (Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa
Yurihana) dalam buku kumpulan sajak cinta Angin Pun Berbisik.
Dalam buku yang menurut pengakuan Siti Atmamiah merupakan buah saling rindu antara Ayah, Irwan Dwi Kustanto, yang tinggal di Jakarta jauh dari keluarganya,
jelas tergambar bagaimana cinta antara ayah, ibu, dan anak begitu murni, agung, dan niscaya.
Keterbatasan fisik Irwan Dwi Kustanto sebagai tunanetra tidak membatasi kreativitasnya dalam menelanjangi makna yang tersirat melalui kata. Kehilangan kemampuan
melihat justru membuat Irwan sanggup menajamkan kepekaannya terhadap rasa, sehingga mampu menemukan duka dalam gerimis yang mengetuk pintu dan suka dalam
bunga yang berdansa.
Membaca buku ini kita serasa diajak turut serta dalam dialog meja makan sebuah kelurga yang begitu akrab dan hangat. Cinta dan perasaan diungkapkan satu
sama lain, bersahut-sahutan dalam pilinan kata yang diracik menjadi puisi. Seperti sajak Siti Atmamiah berikut yang seakan menyambut sayatan rindu sang
suami.
Di ujung jalan itu aku menanti
Gadis berambut panjang
Matanya yang sayu
Tak mungkin lupa
Menatap tetes embun jatuh
Pada jemarinya yang putih akan cahaya rembulan
Di ujung jalan itu
Gadis dalam lukisan mimpiku
Belum juga kembali
Mungkin tersesat
Ketika mencari jalan pulang
Ataukah kakinya terluka?
Saat menjejak batu cadas
Di ujung jalan itu
Aku tak lelah menanti
©2008 VHRmedia.com
dikutip dari:
http://kacangpanjang.wordpress.com/2008/01/
Abstrak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar