Abstrak

Abstrak

Senin, Juni 29, 2009

Musikalisasi Puisi Irwan Dwikustanto

Antologi Puisi berhuruf Braile

HTML clipboard

Dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/26/hib11.html

"Saya Hanya Debu yang Melukis di Jalan itu"
"Aku hanya anak kecil, mama. Kakiku kecil, tubuhku kecil.
Aku hanya ingin mengerti semesta, dengan caraku sendiri.
Aku hanya punya mimpi..."

Jakarta - Ungkapan itu dilontarkan Zeffa Yurihana dari puisinya yang tergabung bersama ayahanda dan ibundanya, Irwan Dwi Kustanto dan Siti Atmamiah. Zeffa mengisi acara antologi "Angin pun Berbisik".

Sebuah pembacaan yang menyentuh karena puisi-puisi itu punya makna sebagai penghubung kasih antara Irwan dengan istrinya. Irwan yang tuna netra tinggal dan bekerja di Jakarta, sedangkan sang istri jauh darinya. Keduanya berkomunikasi dan terlibat dialog baik melalui short message system dan hubungan telepon yang intens dengan medium puisi-puisi mereka. Antologi ini yang kemudian disambut baik oleh berbagai lembaga mulai dari Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (KJ) Yayasan Mitra Netra (YMN) dan Voice of Human Rights (VHR) yang launchingnya digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (23/1).

Acara yang diselenggarakan untuk peringatan Hari Braile yang jatuh pada 4 Januari lalu serta dua tahun gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini, memang berisikan serangkaian pertunjukan seni baik musik, teater serta pembacaan puisi. Ungkapan yang rendah hati dari Irwan pun terlantun, "Saya bukanlah penyair, Angin pun Berbisik adalah kata-kata yang saya coba kumpulkan untuk mengekspresikan perasaan, hasrat dan semua yang pernah tumpah karena cinta yang mengalir dari kekasih, keluarga, sahabat, alam dan yang mungkin tersibak oleh huruf. Saya hanya lah debu yang melukis kaki-kakinya pada jalan itu."

Ada juga musikalisasi dari Ricko yang berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung dan Dody yang adalah mahasiswa jurusan Seni Musik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Keduanya adalah tunanetra, Dody yang didaulat sebagai penyanyinya membacakan sebuah puisi karya Irwan : Karena sepi memanggil, karena rindu menderu, karena cinta melanda.

"Saya mendapatkan kehormatan membaca puisi yang sudah lama saya tinggalkan," ujar Fajrul Rahman, penyair yang puisinya menjadi salah satu unggulan Khatulistiwa Literay Awards dan rajin membaca puisi semasa menjadi aktivis. Sejak januari 2006, Mitra Netra mengundang penulis dan penerbit bekerjasama. Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini berawal dari para artis seperti Dewi Lestari, Rieke Dyah Pitaloka dan artis lainnya yang dikenal sebagai penulis. Ketika itu memang ditawarkan untuk menjadikan buku-buku yang populer di masyarakat untuk diterbitkan juga dalam huruf braile. Kini, buku "antologi pertama karya sebuah keluarga ini" diterbitkan dalam huruf Braile hingga akhirnya karya Irwan, seorang bapak yang tunanetra membuat kolaborasi puisi dengan keluarganya. Irwan juga adalah Wakil Direktur Mitra Netra, yang berpuisi dan menghasilkan buku untuk pembacanya, masyarakat biasa atau pun buku dalam bentuk huruf Braile untuk pembaca tuna netra. "Seperti angin, saya pun ingin dapat berbagi kepada sesama, untuk itu buku "angin pun berbisik" saya dedikasikan untuk mendorong dan mempercepat gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra ini," ujarnya.

Dengan jari mereka telah menjadi kan dirinya penerus gerakan perjuangan Louis Braile, seorang tunanetra asal Prancis, dengan buku mereka memandang dan merambah dunia. Dengan menulis huruf Braile, mereka juga berbagi tentang dunia, imajinasi dan cara pandang mereka.
(sihar ramses simatupang)

Review Album: Musikalisasi Puisi 'Angin pun Berbisik'

HTML clipboard

24 December 2008

Musikalisasi Puisi 'Angin Pun Berbisik'
Genre: Pop Ballad
Produser: Rhesa Aditya & Endah Widiastuti
Label: indie
Rilis: Agustus 2008

Acungan jempol patut dilayangkan kepada duet maut Rhesa Aditya dan Endah Widiastuti karena telah berhasil memproduseri sebuah album keroyokan yang istimewa bersama para seniman dengan berbagai bidang yang berbeda. Ada penyair, aktris, model, hingga tentu saja musisi. Istimewa karena selain anda dapat mendengar sumbangsih suara Cornelia Agatha, Maudy Koesnaedi, dan musisi lainnya, anda juga dapat mendengar nyanyian teman kita, Andre Harihandoyo, dalam bahasa Indonesia. Ada banyak alasan mengapa anda harus membeli album yang diberi judul
Angin Pun Berbisik.

Meski bukan urutan, namun alasan pertama yang patut anda ketahui yaitu hasil penjualan album ini 100% akan disumbangkan untuk
'Gerakan 1000 Buku untuk Tuna Netra' . Kalau anda sering nonton acara Kick Andy, tampaknya anda tidak akan terlalu asing dengan eksistensi album ini karena sejumlah pihak yang terlibat didalam album ini pernah tampil juga di acara tersebut. Alasan kedua, ada banyak musisi bertalenta disini yang ikut melakukan tindakan nyata dalam program kemanusiaan.

Alasan ketiga, syair-syair lagu disini semuanya merupakan kumpulan karya puisi dari penyandang tuna netra. Alasan ke empat, artis-artis yang menyumbangkan bakatnya dalam album ini tidak ada yang dibayar sepeserpun. Semua menyumbang kemampuan dengan niat yang tulus dan ikhlas.
Puisi-puisi yang dihadirkan dalam album ini adalah puisi pilihan dari buku antalogi puisi "Angin pun Berbisik". Karya Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah dan Zeffa. Pak Irwan adalah seorang tuna netra, sedangkan Ibu Siti dan Zeffa adalah istri dan anaknya yang bermata awas. Hal yang paling menonjol dari album ini mungkin terdapat pada liriknya. Kumpulan puisi-puisi disini kebanyakan bercerita tentang hal-hal yang sosialis.

Untuk sebuah album yang istimewa, pantas kalau dibuka oleh gitaris, penyanyi, sekaligus composer muda berbakat Andre Harihandoyo. Jika pada album yang ia rilis sebagai solo player maupun bersama Sonic People selalu ia menggunakan bahasa Inggris, kali ini ia membawakan musik dengan syair bahasa Indonesia. Warna blues masih tetap menjadi ciri khasnya dalam bermusik, termasuk ketika menambahkan kata 'Baby' dalam salah satu bait. Tidak tahu apakah dalam syair puisi aslinya juga menggunakan kata itu atau karena terpeleset oleh soul musik blues yang ia mainkan?

Selanjutnya tampil duo musisi yang sangat luar biasa kontribusinya dalam membantu masyarakat lewat musik, Endah n' Rhesa. Mereka membawakan puisi berjudul Pasar yang diiringi dengan musik ciptaan mereka. Hanya sangat disayangkan, untuk lagu secatchy ini durasinya terlalu sebentar.
Hadir pula vocalis band Tiket, Christian, namun kali ini ia tidak akan membawakan hits 'Hanya Kamu yang bisa' melainkan menyanyikan puisi yang berjudul Jakarta. Nino dari grup trio RAN yang berduet dengan Raisa menampilkan warna musik seperti yang biasa diperdengarkan oleh band-band indie seperti Ten 2 Five. OK, tidak setiap track akan dijabarkan secara panjang lebar, namun secara garis besar jika anda ingin mendengar puisi dengan pendekatan lagu, album ini memenuhi kriteria tersebut. Beberapa track turut menampilkan pembacaan puisi di sejumlah part lagu. Seperti halnya pada lagu penutup yang diperkuat oleh instrumen biola menyajikan pembacaan bait-bait puisi dimana bagian tersebut mampu memberi 'hook' pada lagunya.

Seperti yang tadi saya bilang, album ini istimewa. Selain kualitas musik dan syair-syairnya yang menggigit, juga pada kualitas rekaman yang sangat maksimal dengan budget yang minimal. Sungguh layak untuk dimiliki. Namun satu lagi hal yang cukup istimewa, kalau dari hasil yang saya simak, volume bass pada album ini tampaknya sedikit lebih besar dari standar album yang biasa kita dengar. Hal tersebut agak memberi kesan boomy di beberapa track. Apa karena produsernya seorang bassis? hahaha...

CD musikalisasi puisi dapat Anda pesan melalui :
Yayasan Mitra Netra
(021-7651386) ( www.mitranetra.or.id )
contact person 0816 1443 431
Angkringan WETIGA. Jl Langsat I No 3a/b Kebayoran Baru Jakarta Selatan (setiap hari kecuali hari Minggu jam 19.00 - 00.00)
dengan harga 50rb saja (belum termasuk ongkos kirim bagi yang di luar kota). 100% akan disumbangkan langsung ke Yayasan Mitra Netra sebagai pendanaan pengadaan BUKU BRAILLE untuk tuna netra.

Cara membeli album musikalisasi puisi
1. Sms alamat lengkap dan kode pos ke 08161443431
2. Kami akan reply dengan menuliskan total biaya kirim + harga cd (rp 50.000)
3. Transfer ke rekening Endah Widiastuti (nomor rekening saya kirim via sms) dengan menuliskan "(nama lengkap) beli cd musikalisasi puisi"
4. CD langsung dikirim setelah saya cek via online.
atau...
bisa dibeli langsung di...
Angkringan WETIGA. Jl Langsat I No 3a/b Kebayoran Baru Jakarta Selatan (setiap hari kecuali hari Minggu jam 19.00 - 00.00)
Dikutip dari: http://musisi.com/musisi.php?stateid=detailnews&idn=100

ALBUM MUSIKALISASI PUISI ANGIN PUN BERBISIK

HTML clipboard

Oleh: Abang Edwin

Pada hari Jumat tanggal 21 November 2008, saya datang ke sebuah kedai kecil yang biasa disebut "angkringan" di bilangan Kebayoran Baru. Saya datang memenuhi undangan seorang teman untuk ngobrol-ngobrol, lalu tidak lama kemudian muncul dua orang sahabat saya, duo Endah N Rhesa yang kebetulan juga datang memenuhi undangan meeting di kedai yang sama. Mereka memberikan sebuah CD Musikalisasi Puisi "Angin Pun Berbisik" yang beberapa saat lalu saya dengar memang sedang digarap oleh mereka. Karena kesibukan saya, seminggu kemudian saya baru bisa mendengarkan lagu-lagu pada CD tersebut secara utuh. Dan ini lah yang saya dapatkan:

Lagu pertama adalah lagu yang berjudul "Kali Ini Saja" yang liriknya dibuat oleh penyair Zeffa Yurihana. Lagunya sendiri dibawakan secara apik oleh seorang gitaris, komposer muda yang bernama Andre Harihandoyo. Sesuai dengan gaya bermusik Andre yang berkiblat pada musik blues, maka larik-larik puisi dari Zeffa langsung diinterpretasikan ulang oleh petikan-petikan nada blues dari gitar akustik Andre dengan sangat ekspresif dan jernih. Puisinya saja menurut saya sudah "blues" sehingga begitu Andre mendandani "Kali Ini Saja" dengan kord-kord blues maka jadilah lagu tersebut sebuah komposisi blues lengkap yang asik.

Duo Endah N Rhesa yang berperan sebagai salah satu penggagas proyek album ini mendapat kesempatan kedua dalam album ini walaupun mereka hampir ikut serta di proses pembuatan semua lagu pada album ini, tapi lagu kedua pada album ini lah yang mereka berdua ciptakan. Puisi karya penyair Zeffa Yurihana yang berjudul "Pasar" langsung berubah menjadi sebuah selimut hangat di malam yang dingin atau segelas teh es manis di sore yang panas ketika di gubah menjadi sebuah komposisi lagu yang asik dan menghanyutkan. Seperti biasa Endah N Rhesa memainkan lagu ini dengan aransemen khas akustik mereka. Denting gitar Endah disertai olah vokalnya yang tipis diiringi petikan bass Rhesa plus kord-kord bernuansa jazz melengkapi kenyamanan yang didapat pada saat mendengarkan lagu ini.

"Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tidak ada yang menjual senyum"

Itu potongan lirik yang diambil dari "Pasar". Lucu, witty, plus harmonisasi backing vokal yang sangat soothing.

Pengembaraan musik dalam lirik-lirik puitik belum selesai karena lagu selanjutnya membawa kita pada suasana perjalanan. Kok perjalanan? Simak lagu yang berjudul Jakarta yang didasari oleh puisi milik Siti Atmamiah yang berjudul "Jakarta" dan dibawakan secara apik oleh Christian (Tiket). Komposisi yang diciptakan oleh Christian dan lalu di aransir oleh Rhesa Aditya ini seolah membawa kita seolah sedang melakukan perjalanan. Walaupun isi dari puisi yang mendasari lagu ini adalah mengenai kekecewaan terhadap kota Jakarta yang membuat si penyair merasa kecewa dan perlu meninggalkan Jakarta, tapi aransemen yang dibuat oleh Rhesa menciptakan ambience yang justru positif dan optimis. Simak potongan lirik/puisi lagu "Jakarta" dibawah ini:

"Kutinggalkan engkau
Sebab
Langitmu tak lagi biru
Diaduk asap dan debu
Aku sudah tak punya waktu
Untuk menunggu"

Nah anda akan mendapatkan kesan lain jika anda mendengarkan lagunya…:-)

Cinta & kerinduan adalah tema klasik yang tak pernah mati dimakan jaman. Tema ini lah yang paling banyak dipakai pada puisi maupun lirik lagu. Ekspresi kerinduan pada puisi pada puisi milik Siti Atmamiah yang berjudul "Ku Ingin" ini diinterpretasikan ulang dalam bentuk lagu oleh grup yang menamakan diri mereka sebagai Drew. Masih didominasi oleh riff gitar akustik yang ditingkahi oleh snare drum yang diketuk oleh brush stick plus bass gitar fretless yang dimaininkan oleh Rhesa Aditya, membuat lagu yang bersahaja ini jadi punya nyawa yang kuat. Lagu ini punya potensi untuk jadi idola di pasar.

Setiap seniman yang utuh dalam bentuk apapun ia akan selalu punya ciri dalam berkarya. Saya pikir statement ini bisa dilihat pada karya-karya musikalisasi puisi dalam album ini. Salah satu contoh yang kuat selain lagu "Pasar" gubahan Endah N Rhesa adalah lagu yang berjudul "Cemburu" yang didasari oleh puisi karya Irwan Dwi Kustanto yang pencipta dan arranger lagunya adalah Anindyo Baskoro atau lebih dikenal dengan Nino RAN. Ya, ia adalah salah satu personil trio yang sedang naik daun pada saat ini, RAN. Menyambung statement diawal paragraf diatas, kita tentunya tau bagaimana lagu-lagu dari RAN, dan pada lagu yang diciptakan oleh Nino berdasarkan puisinya Irwan ini, ciri RAN tersebut tidak hilang tapi bermetamorfosis dalam bentuk yang jauh lebih bersahaja, dengan balutan musik akustik ala Maxwell yang membuat para pendengar seperti saya merinding mendengarnya. Tentunya peran Raisa, yang bernyanyi bersama Nino tidak mengurangi keindahan lagu ini. Sangat menenangkan, walaupun sebenarnya liriknya menyiratkan kegundahan yang kental.

Pada lagu berikutnya yang berjudul "Luka Seorang lelaki" yang diambil dari puisi berjudul sama milik Irwan Dwi Kustanto. Saya mendengar nafas folk yang muncul pada duet Dody-Riqo dimana mereka juga betindak sebagai arranger dan pencipta lagunya. Gaya bermain gitar dan karakter vokal duo ini yang saya pikir membawa nafas folk yang bukan berarti lagu ini kekurangan nilai estetisnya tapi malah jadi kekuatan sinergi yang lumayan kuat.

Lagu "Sepi" yang diciptakan oleh Endah N Rhesa berdasarkan puisi karya Siti Atmamiah membawa kita ke lorong-lorong sunyi. Illustrasi pembacaan puisi oleh Maudy Koesnaedi dengan latar belakang suara enharmonik dari bass Rhesa terasa sangat dalam. Saya seolah sedang menonton sebuah trailer film yang bercerita tentang kesepian yang mendalam ketika mendengarkan lagu ini, dan saya yakin andapun demikian.

Cornelia Agatha….aktris yang sudah kita kenal berhasil membacakan puisi dengan sangat baik. Adalah puisi milik Irwan Dwi Kustanto yang berjudul "Angin Pun Berbisik" yang ia bawakan dengan penghayatan yang saya mesti acungkan jempol. Peranan Yessi Kristianto & Rhesa Aditya sebagai arranger pun punya andil yang cukup baik. Intro yang kuat lalu mulai masuk ke background ketika Lia mulai membaca puisi membuat ekspresi Lia ketika membacakan puisi jadi semakin kuat.

Lagu "Angin" yang dibawakan oleh Jodhy Yudono yang didasari oleh puisi karya Zeffa Yurihana juga dibawakan dengan gaya folk dari perspektif yang berbeda dibandingkan dengan duo Dody-Riqo. Judhy yang memainkan gitar diiringi oleh Choirul Alhuda yang memainkan violin & viola membawa kita ke suasana alam nan bersahaja. Jangan lupa oleh pembacaan puisi oleh si kecil Yoga Sukma Khalid Nan Agung yang diselipkan pada tengah lagu. Sangat syahdu dan bersahaja.

Album Musikalisasi "Angin Pun Berbisik" ini bisa saya kategorikan sebagai salah satu musikalisasi puisi yang berhasil memadukan dua ranah seni ini menjadi satu kesatuan yang cantik. Dahulu saya sempat terperangah ketika duo Ari & Reda membuat musikalisasi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, nah kali ini kembali saya terperangah ketika mendengarkan album musikalisasi puisi ini. Terima kasih buat semua yang terlibat yang membuat puisi-puisi dalam album ini jadi bisa didengarkan oleh semua orang termasuk saya.

Cerita di balik album ini pun tak kalah menarik dan menyentuh kalau boleh saya bilang demikian. Dari mulai puisi-puisi yang dihadirkan adalah puisi pilihan dari buku antalogi puisi "ANGIN PUN BERBISIK". Karya Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah dan Zeffa. Pak Irwan adalah seorang tuna netra, sedangkan Ibu Siti dan Zeffa adalah istri dan anaknya yang bermata awas sampai dengan tekad menyumbangkan hasil penjualan seluruh CD ini pada 100% pada Yayasan Mitra Netra sebagai pendanaan buku Braille untuk tuna netra.

Saya iseng menanyakan bagaimana cara mendapatkan CD tersebut dan informasi yang saya dapatkan adalah:
CD musikalisasi puisi dapat Anda pesan melalui :

Yayasan Mitra Netra (021-7651386) (www.mitranetra.or.id)
dan HP nya Endah N Rhesa 08161443431 atau email di endahwidiastuti@yahoo.com
(datang ke Loca tiap Rabu malam, anda bisa bertemu dengan Endah N Rhesa di sana dan beli CDnya di mereka)

Well, jadi bila kita membeli CD ini selain kita mendapatkan lagu-lagu yang bagus, kitapun beramal.
Dikutip dari: http://www.bangwinet.com/tag/nino-ran/

Rangkaian Nada Dan Lirik Indah Iringi Langkah Menuju Seribu Buku Untuk tunanetra

HTML clipboard

Yogyakarta 27/8. Yayasan Mitra Netra (YMN) bersama dengan Voice of Human Rights (VHR) dan Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) meluncurkan CD Album Musikalisasi Puisi Angin Pun Berbisik, bertempat di gedung Sositeit, Yogyakarta. Puisi-puisi indah yang diambil dari kumpulan sajak cinta Angin Pun Berbisik karya seorang tunanetra Irwan Dwi Kustanto telah menyatu bersam a nada-nada indah, mengiringi langkah menuju terwujudnya akses literasi bagi mereka yang punya hambatan penglihatan melalui Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra. Hasil penjualan CD musikalisasi puisi yang dilakukan secara independen ini akan digunakan untuk membiayai produksi dan distribusi buku untuk tunanetra di Indonesia.

"Ku ingin engkau ada
Malam ini
Bersamamu
Menatap purnama
Aku dan engkau
Basah dalam lebur cahayanya
Hingga tersaput mega-mega"...

Lirik indah ini adalah penggalan bait dari salah satu lagu dalam CD album musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik berjudul Ku Ingin, yang dilantunkan oleh Drew, kelompok musisi muda yang sedang menanjak namanya.

Acara yang berlangsung dari sore hingga malam hari ini diawali dengan diskusi sastra bertajuk "Puisi Sebagai Media Komunikasi", yang menghadirkan pembicara dari beberapa kalangan seperti guru besar Fakultas Sastra UGM Bakdi Sumanto, Irwan Dwi Kustanto penulis antologi Angin Pun Berbisik, serta Endah Dan Rhesa, sepasang musisi muda dari Jakarta yang memproduseri CD musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik.

Seusai diskusi, acara dilanjutkan dengan pentas seni, menampilkan beberapa seniman yang mengkontribusikan karyanya pada album musikalisasi puisi Angin Pun Berbisik seperti Dodi & Riko - seniman tunanetra, Endah & Rhesa - sang produser, serta Jodhi Yudono. Pembacaan beberapa puisi yang dipilih dari antologi Angin Pun Berbisik juga mewarnai malam amal ini, menampilkan Wali Kota Yogyakarta..., Landung Simatupang serta Dorothea Rosa - dua penyair yang namanya sangat dikenal di Yogyakarta. Sedangkan, peluncuran ditandai dengan penyerahan CD musikalisasi puisi tersebut dari sang produser muda Endah & Rhesa kepada Irwan Dwi Kustanto, yang kemudian menyerahkannya kepada beberapa tamu undangan kehormatan.

Pentas kesenian di kawasan Taman Budaya Yogyakarta ini juga dimeriahkan oleh penampilan Letto; grup band yang lahir di kota Gudeg ini turut mempersembahkan karya yang dicuplik dari kumpulan puisi Angin Pun Ber bisik, dan ditutup dengan "nonton film bareng tunanetra", menayangkan film Naga Bonar Jadi 2 yang telah diadaptasi dengan menambahkan narasi pada adegan-adegan tanpa dialog, sehingga dapat dinikmati oleh mereka yang punya hambatan penglihatan.

"Ketika puisi, musik, dan kepedulian kita berbagi melebur dalam gelora hati untuk mewujudkan percepatan ketersediaan literasi bagi tunanetra di Indonesia, semuanya terasa begitu mudah, ramah dan juga indah", tutur Irwan, sang penyair.

Lantunan lirik dan nada indah bertajuk Angin Pun Berbisik adalah persembahan Mitra Netra beserta para sahabat, yang memimpikan terbukanya jendela informasi lebih lebar bagi sebagian anak bangsa, para tunanetra. Melalui Gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra telah menyatukan energi yang ada di masyarakat, demi terwujudnya "literasi untuk semua".

Tentang Seribu Buku Untuk Tunanetra.

Mitra Netra, sebuah organisasi nir laba yang memusatkan kegiatannya pada peningkatan kualitas dan partisipasi tunanetra di bidang pendidikan dan lapangan kerja. Adalah satu dari sangat sedikit "penerbit" buku untuk tunanetra di negeri ini. Lembaga yang didirikan sejak tahun 1991 di Jakarta ini, secara konsisten telah menjadikan dirinya sebagai satu-satunya lembaga, yang secara kreatif dan inovatif mengembangkan strategi, untuk mempermudah tunanetra mendapatkan akses ke dunia literasi.

Gerakan "Seribu Buku Untuk Tunanetra" adalah salah satunya. Berawal dari keprihatinan yang mendalam atas minimnya ketersediaan buku untuk tunanetra di Indonesia, yang sangat tidak sebanding dengan pesatnya perkembangan dunia literasi dewasa ini, melalui gerakan ini, Mitra Netra mengundang masyarakat luas berpartisipasi, untuk mempercepat akses tunanetra ke dunia literasi.

Bertajuk gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra yang diluncurkan pada tanggal 30 Januari 2006, Mitra Netra mengundang penerbit dan penulis bekerja sama, dengan meminjamkan soft file buku yang mereka terbitkan. Sedangkan, kepada masyarakat luas, Mitra Netra mengundang untuk menjadi relawan, dengan membantu mengetik ulang buku-buku popular. Semua file buku baik dari penerbit, penulis maupun relawan, akan diolah menjadi file berformat Braille oleh Mitra Netra, dengan menggunakan perangkat lunak Mitranetra Braille Converter (MBC), untuk kemudian dicetak menjadi buku Braille dengan mesin Braille embosser.

Agar buku-buku tersebut dapat dinikmati oleh tunanetra di seluruh Indonesia, Mitra Netra kemudian mendistribusikannya melalui layanan perpustakaan Braille on line yang dikelolanya, www.kebi.or.id (KEBI singkatan dari Komunitas E-Braille Indonesia), yang beranggotakan para produser buku Braille di Indonesia.

Dengan partisipasi masyarakat melalui gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra telah berhasil memangkas sebagian besar waktu dan biaya yang dibutuhkan guna memproduksi buku Braille - kurang lebih 80 %. Ini juga berdampak pada makin cepatnya tunanetra mendapatkan buku. Dalam waktu lebih dari dua tahun sejak diluncurkan di tahun 2006, Seribu Buku Untuk Tunanetra telah berhasil menghimpun 1050 file buku, baik dari relawan, penerbit dan penulis,-- 80% di antaranya kontribusi relawan --, yang secara bertahap sedang diolah menjadi buku Braille.

Melalui gerakan Seribu Buku Untuk Tunanetra, Mitra Netra juga bermaksud mendorong Pemerintah, agar nantinya dapat melahirkan kebijakan, yang memenuhi kebutuhan khusus tunanetra di bidang literasi.

Jika membutuhkan informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Aria Indrawati (Kabag Humas Yayasan Mitra Netra
0815-11-478-478),Miranda(panitia)0819-1789782).

Dikutip dari: http://finance.dir.groups.yahoo.com/group/siaran-pers/message/809

Bertemu dengan Para Pengarang lagi

HTML clipboard27 Agustus 2008, pukul 15.00 WIB

Taman Budaya Yogyakarta.

Sebuah diskusi sastra dengan tema: Puisi sebagai Media Komunikasi

Demi mengikuti diskusi kali ini, saya rela mengayuh sepeda sampai Taman Budaya sepulang kuliah. Ternyata memang tak sia-sia.

Sedikit berbeda dengan biasanya. Pertemuan dengan pengarang kali ini lebih bernuansa emosional. Entah bagaimana, ada sedikit desir perasaan aneh tiba-tiba muncul. Secuil kekaguman yang tercemin dari decakan perlahan. Orang-orang dengan kelemahan seperti mereka ternyata memilki kekuatan yang tak dimiliki oleh kita sebagai orang normal. Pada umumnya, mereka memiliki motivasi sedemikian tinggi. Adalah tuna netra yang bisa merangkaikan kata menjadi keindahan bait-bait puisi. Mereka berkomunikasi dengan hati, melalui telinga, lewat kata-kata meskipun tanpa pandangan mata. Keindahan demi keindahan telah tercipta. Senja ini membuat saya sedikit tersadar. Ternyata ada yang lebih dari sebuah kekurangan. Dari seorang pengarang tuna netra bernama Irwan Dwi Kustanto. Saya belajar untuk mensyukuri kelemahan. Tak seberapa penderitaan dan keluhan yang telah menganak sungai daripada apa yang berada di pundak mereka. Kadang saya memang terlalu melebih-lebihkan penderitaan dan kesakitan dalam kehidupan. Hingga yang hanya debu sebutir ini tampak menjadi segunung pasir.

Keindahan kata-kata dalam puisi Irwan menjadi salah satu inspirasi bagi dua orang pemusik muda bernama Reza dan Endah. Mereka membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Irwan yang tergabung dalam antologi puisi "Dan Angin pun Berbisik". Sebelum diskusi dimulai, ditampilkan sebuah pembacaan puisi oleh seorang anak perempuan tuna netra bernama Ayu. Ia membaca salah satu puisi Irwan yang berjudul 'Tongkat Putih'. Puisi itu berakhir dengan kalimat, "Pada cerita tongkat putihku selalu ada harapan." Gadis ini benar-benar bisa memukau hanya dengan suara mungilnya dan aliran kalimat-kalimat dalam puisi yang sangat dihayati.

Gambaran puisi-puisi Irwan merupakan proses kreatif pembuatan karya yang berasal dari jeritan dan suara hati. Puisi tersebut menjadi respon terhadap kondisi emosi yang ada. Karya-karyanya ditulis mangalir begitu saja dengan jujur, meskipun ada beberapa karya yang proses pembuatannya agak memakan waktu lama. Berbagai puisinya merupakan hasil dari perbedaan antara harapan dan kondisi sebenarnya. Kondisi dikecewakan, didiskriminasikan banyak pihak, namun juga mengandung kegembiraan. Melalui puisi, Irwan bisa membantu banyak orang. Irwan berusaha untuk mengkomunikasikan perasaannya dalam bentuk yang universal seperti puisi.

Beberapa puisinya lahir ketika ia menggunakan puisi sebagai media berkomunikasi dengan keluarga yang sangat dicintai. Istri dan seorang anaknya. Mereka dipisahkan oleh jarak. Irwan tinggal di Jakarta, sementara istri dan anaknya berada di Tulung Agung. Saat pulang ke rumah, ada suatu kebiasaan dalam keluarga Irwan. Masing-masing akan membacakan puisinya di sebuah beranda sambil menikmati senja. Seperti inilah kreatifitas Irwan berproses. Tak banyak buku sastra yang dibacanya dan memang ia tak pernah bisa membaca. Sebagian referensi hanya dibacakan orang untuknya. Dan hasilnya begitu luar biasa.

Seorang akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya UGM menjadi salah satu pembicara dalam diskusi kali ini. Paparannya diawali dengan penjelasan mengenai puisi sebagai media komunikasi verbal. Berbagai bentuk komunikasi verbal memiliki perbedaan-perbedaan. Komunikasi lewat koran—sebuah pemberitaan bisa dicek kembali kebenarannya. Berbeda dengan puisi. Sebuah ungkapan 'angin menampar wajahku'. Kalimat dalam puisi tersebut tentu saja tidak bisa di cek kembali kebenarannya. Tentu saja angin tidak bisa menampar karena tidak punya tangan. Angin dalam puisi bisa jadi berbeda dengan angin yang dimaksudkan seorang ahli fisika. Angin adalah udara bertekanan plus yang mengalir ke tekanan minus. Menurut saya, ini sebuah pembedaan yang aneh.

Bahasa puisi menjadi sangat personal. Puisi memiliki bahasanya sendiri. Lalu, dipaparkan sebuah cerita tentang Theresias dalam Oedipus Rex. Ia adalah seorang yang tidak bisa melihat namun dituduh melakukan sesuatu. Theresias menjawab, "aku memang tidak melihat tetapi hatiku." Tampaknya ini juga yang berusaha untuk dilakukan Irwan dalam penciptaan puisi-puisinya. Ia memang tidak melihat sesuatu tapi seolah-olah ia memang malihat sesuatu itu. Melihat dengan hatinya.

Puisi sebenarnya lebih dekat dengan nyanyian. Puisi memiliki ritme dan irama yang menjadi salah satu unsur penting dalam penggunaan diksi. Ritme tersebut memiliki rasa, marangsang untuk bersenandung. Puisi "Aku" saat Bintang Radio dan Televisi masih jaya bisa dijadikan seriosa. Demikian juga dengan puisi liris karya Kirjo Mulyo, pengarang tahun 1950-an berjudul "Puisi Rumah Batu". Puisi ini sangat ritmis dan indah sehingga bisa digubah menjadi lagu oleh Fx. Soetopo. "Di sini aku temukan kau / di sini aku temukan daku / di sini aku temukan kau / terasa hati tak merasa sendiri / pandangilah daku / aku bicara dengan jiwaku//".

Kekuatan puisi terletak pada ritmenya. Sekarang, banyak puisi yang berisi protes sosial seperti puisi-puisi Rendra, 'Bersatulah Pelacur-Pelacur Ibu Kota'. Puisi menjadi alat komunikasi, memberi informasi dan pada akhirnya bisa merangsang kesadaran. Antologi puisi Irwan terdiri dari puisi-puisi dengan ritme dan metafora yang mengungkapkan pengalaman pribadi. Pak Bakdi menduga kalau Irwan banyak membaca karya puisi. 'Kudengar di balik senja' merupakan salah satu contoh kalimat dengan ritme yang indah. 'pada angin yang berbisik di telinga / mungkin suaraku tak kau dengar lagi//.'

Lalu sebuah puisi lagi berjudul 'Cintaku Padamu'. "Cintaku padamu / adalah sungai berbatu/….." Pak Bakdi mengira bahwa Irwan memaknai cinta sebagai sesuatu yang terjal seperti sunagi berbatu. Berkelok-kelok, dan sebagainya. Lalu, Pak Bakdi meneruskan penjelasannya dengan membacakan larik-larik cuplikan dari Puisi Irwan yang dirasanya sangat indah. Selalu pujian keluar dari pengungkapannya. "Wah, ini luar biasa, puisi yang sangat indah." Selalu seperti itu yang dikatakannnya.

***

Sambil mendengarkan Pak Bakdi yang sibuk menghakimi Irwan, saya lebih tertarik pada suasana dan orang-orang yang duduk membentuk setengah lingkaran di depan para pembicara.

Di sela diskusi, banyak peserta yang baru datang setelah acara dimulai. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang tuna netra. Bapak-bapak ini datang diantarkan para istri yang selalu setia menemani. Para istri dengan penuh kasih sayang menggandeng tangan suaminya. Dengan sabar ia menunggui sang suami saat perlahan-lahan melepas kedua alas kakinya, lalu mulai meraba-raba dimana ia akan duduk dengan bantuan istri mereka. Dengan sangat hati-hati, sang istri membantu suaminya duduk, juga membenarkan arah duduk yang melenceng dari hadapan para pembicara. Sang suami rasanya tidak membutuhkan tongkat lagi. Tangan kanannya memegang sebuah tape recorder untuk merekam hasil diskusi.

Saya jadi mebanyangkan bagaimana mereka melakukan semua kegiatan rumah tangga. Benarkah perempuan-perempuan ini begitu mencintainya, sehingga rela menjadi pelayan setia bagi suaminya? Ada semacam keraguan tetapi juga kesan haru. Bagaimana mereka manjalani keseharian mereka? Apa pekerjaan para suami ini? dan seperti apakah peran istri meraka? Apakah mereka menikah dengan suami yang dalam keadaan buta? Sedalam apakah keikhlasan para isti ini menerima suami mereka dengan apa adanya? Bagaimana dengan persepsi dari anak-anak meraka? Apakah masih menyayangi bapaknya yang buta? Banyak pertanyaan hinggap lalu bercabang-cabang sedemikian banyak. Seharusnya saya bertanya lansung kepada para istri ini. Tapi kesempatan belum mengizinkan. Barangkali suatu saat saya bisa dipertemukan dengan mereka lagi.

Pandangan saya tak begitu saja berhenti pada pasangan-pasangan dengan suami tuna netra. Perempuan-perempuan yang sama-sama bersuami tuna netra tersebut masih sibuk berbincang. Mungkin enggan mendengarkan Pak Bakdi berbicara. Lebih asyik bertukar pengalaman bagaimana mengurus suami dengan segala keterbatasannya. Puas berimajinasi dengan para istri, mata saya beralih pada gadis kecil yang membacakan puisi di awal acara tadi. Tepatnya bukan membacakan tapi berdeklamasi karena gadis kecil itu memang sudah hapal di luar kepala tentang puisi yang dideklamasikannya tadi.

Gadis kecil itu berwajah mungil. Tubuh kecilnya dibalut busana muslim berwarna biru laut. Ia mengenakan selembar jilbab putih sebahu. Kaki kecilnya terbungkus sepasang kaus kaki putih dengan kedua ujungnya berwarna hitam. Selintas terlihat bayangan. Dari matanya yang berkedip perlahan. Tak pernah ada lintasaan warna, mungkin hanya hitam. Bola matanya bergerak-gerak ke kanan dan kekiri tapi tak selintas bayangan pun bisa ditangkap oleh kedua mata itu. Suaranya mungil mengucap kata-kata, terdengar samar. Lalu ia meluruskan kedua kakinya. Berceloteh dengan riang seakan lupa bahwa ia tak pernah melihat warna dunia. Ketika ditanya, gadis kecil itu kelak ingin menjadi seorang pemusik. Barangkali, ia akan mewarnai dunianya sendiri melalui nada-nada.

Orang-orang di sekitar saya ini memang luar biasa. Masih banyak lagi para pengunjung buta yang tak menyerah pada kebutaannya. Sebagian dari mereka adalah perempuan-perempau berjilbab. Membawa tongkat yang bisa ditekuk-tekuk hingga menjadi sepanjang pena. Mereka memilih untuk tetap menjalani kehidupan betapapun sulitnya. Mereka memilih untuk berjuang dengan setiap batang tongkat yang menunjukkan arah kepada mereka. Bahwa memang masih ada harapan, mereka bahkan bisa lebih baik dari mereka yang sempurna tapi tak pernah menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Saat pemerintah dan kebanyakan orang tak ada yang mau peduli dengan masa depan mereka, ternyata masih ada beberapa orang yang rela mengabdikan diri untuk membantu sesama. Mereka mendirikan sebuah perpustakaan braile sendiri. Lalu belajar menggunakan komputer dengan keyboard braile, membuat kerajinan tangan dan berbagai aktivitas lainnya. Mereka mengusahakan untuk tetap mengisi kehidupan dengan hal yang bermanfaat. Seakan tak mau membuang usia dan ingin terus memaksimalkan potensi yang ada pada setiap diri mereka.

Si kecil tadi pergi dengan seorang perempuan yang sedari tadi terus berada di sampingnya. Barangkali juga ia adalah ibunya. Beberapa saat kemudian ia telah kembali lagi. Tetap dengan keriangan yang tak pernah pergi dari wajah mungilnya.

Hal yang luar bisa saya temukan di sini. Dari mereka yang buta. Dari mereka yang lebih memandang dunia dengan hatinya. Barangkali ini juga terlalu berlebihan. Tapi, biarlah saya sejenak mengungkapkan kekaguman saya. Entah bagaimana kalau saya yang jadi mereka. Tak terbayangkan dan begitu menakutkan berada dalam kegelapan.

***

Kembali pada diskusi. Imajinasi telah kembali menyentuh bumi setelah lelah berada di awang-uwung. Pak Bakdi telah selesai beranalisa dengan puisi-puisi Irwan. Kali ini tiba giliran para pemusik muda untuk bicara, merekalah yang mengaransemen puisi Irwan menjadi lagu-lagu yang sangat indah. Namanya Reza dan Endah. Keduanya adalah pemusik muda berbakat. Mereka orang-orang muda yang peduli terhadap keindahan karya puisi. Ada persamaan antara puisi dan musik. Setiap kata memiliki artikulasi tersendiri. Kata-kata selalu mempunyai rima dan ritme sehingga sangat memungkin untuk menggubah puisi menjadi lagu. Meskipun demikian, tentu saja tidak semua puisi bisa dibuat lagu.

Sang pengarang mendengarkan penjelsan dari kedua pemusik muda tersebut dengan penuh penghargaan. Karena merekalah, karyanya bisa lebih dikenal dari sebelumnya. Antologi puisi menjadi sebuah album kompilasi dengan aransemen musik kreatif dan indah. Kedua matanya tak memandang kedua pembicara. Entah menerwang menuju kemana. Tapi Irwan adalah sosok pengarang sederhana. Dalam diskusi itu, ia hanya mengenakan kaos kuning dengan tulisan "Djogdja" di bagian dadanya. Celananya berwarna hitam dan berikat pinggang. Dari busananya, Irwan adalah seorang pengarang yang mapan. Pengarang yang "lurus-lurus" saja. Puisinya adalah bait-bait sederhana. Jujur dan tidak nyeleneh dengan kata-kata yang sulit dimengerti. Puisinya hanya berasal dari puncak kerinduannya, cinta kepada keluarganya. Kata-kata dalam puisinya masih berkutat pada nuansa-nuansa alam penuh suasana kerinduan.

Irwan terinspirasi ketika menggeluti puisi-puisi Iqbal. Ia memili rekaman lengkap dari buku-buku Iqbal dan didengarkannya berulang-ulang. Selain itu, Irwan juga terinspirasi oleh Hujan Bulan Juni-nya Sapardi. Buku-buku itu sebagian besar dibacakan oleh orang lain untuknya. Sebuah kekuatan emosi yang kemudian melahirkan interpretasi-interpretasi. Puisi adalah dirinya sendir. Lepas. Irwan telah berhasil masuk dalam emosi dan pikiran-pikiran orang. Puisi itu berjalan dengan nyawanya sendiri. Puisi menjadi instrumen dan media untuk mengubah pola pikir. Kembali pada pikiran yang bersih.

Irwan akan terus berjalan dengan puisinya. Demikian halnya dengan para kritikus sastra yang suka iseng terhadap karya orang. Suatu saat Irwan bertemu dengan Maman S. Mahayana. Maman berkata kepadanya bahwa puisi setidaknya harus jujur. Irwan dapat mencipta dan menggambarkan matahari dalam pusisnya. Tapi pada kenyataannya, ia tidak dapat melihat matahari itu. Irwan memang tidak pernah melihat matahari. Tetapi ia bisa merasakan apa yang dikatakan orang tentang matahari. Demikian halnya ketika ia mencipta kata 'lembar merah jambu' pada puisinya. Irwan memang tidak pernah melihat warna merah jambu. Namun, ia menggunakan hatinya untuk merasakan warna merah jambu yang kata orang adalah warna yang lembut penuh cinta. Ia menggunakan kata itu untuk mengungkapkan lembaran emosinya ketika cemburu pada surat yang dituliskan istrinya untuk laki-laki lain.

Puisi memang menimbulkan banyak penafsiran. Pak Bakdi menafsirkan sungai berbatu sebagai jalan terjal yang dilalui penyair. Bagi Irwan, sungai berbatu itu snagat indah. "Air bisa mencari jalannya sendiri. Air tetap akan mengalir ketika ia terantuk pada batu. Ia bisa mengalir untuk terus maju. Lalu, mengapa saya tidak?" begitu kata Irwan menanggapai komentar Pak Bakdi tentang sungai berbatu. Irwan kemudian malanjutkan, "Saya memandang kebutaan sebagai suatu keriangan hidup. Ketika tongkatku patah, terlindas mobil, maka saya akan membangun trotoar sendiri. Kalaupun pemerintah tidak menyediakan buku untuk kami, maka kami yang akan membuatnya sendiri."

Tuna netra sebenarnya adalah orang-orang luar biasa. Mereka memiliki kerja sinestesia yang sangat bagus. Ada wilayah-wilayah baru yang disebut tera incognita--suatu wilayah baru yang belum dikenali. Satu hal yang tak pernah mati adalah imajinasi. Luar biasa bagi tuna netra, setiap hari mereka melakukan realisasi terhadap imajinasi-imajinasi tersebut.

Seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan. Namanya Inung. Ia seorang dengan kursi roda. Wajahnya menampilkan sosok yang eksentrik dengan nuansa seni. Ia bertopi mirip Putu Wijaya dengan jambang tipis menghiasi wajahnya. Suaranya sangat berat. Pertanyaannya terkait dengan lagu berjudul "imagine". Apakah lagu tersebut dapat dikatakan musikalisasi puisi atau puisisasi musik. Dari mana kedua hal tersebut berangkat?

Waduh, saya harus pulang. Sudah sore, takut kemalaman karena saya harus ngepit sampai kost-an. Nanti malam sebenarnya akan digelar pentas musikalisasi puisi-pusis Irwan. Mau bagaimana lagi? Kepengen nonton tapi ya nggak mungkin. Sudahlah, saya relakan saja keindahan sastra beradu nada malam nanti.

Seorang penyair itu utuh. Memang kerjaan orang akademis saja yang suka memisah-misahkan dengan teori-teori mereka. Memang orang suka membeda-bedakan sesuatu. Padahal ketika dicari akarnya, sebenarnya perbedaan tersebut adalah satu.
Dikutip dari: http://ratnadwipa.wordpress.com/

Senin, Juni 22, 2009

KALI INI SAJA

Oleh: Zeffa Yurihana

Kali ini saja kumeminta
Kali ini saja kumemohon
Disuatu hari nanti
Kutakkan meminta lagi
Kau harus bersamaku
Takkan meninggalkanku
Hidup ini serasa sempurna
Karena ada kau disampingku
Kali ini saja kumeminta padamu
Untuk menyempurnakan jalan hidupku

KANCIL

Oleh: Zeffa Yurihana
Juni 2005

Kau binatang yang cerdik dan nakal
Semua kesusahan bisa kau lewati dengan akal
Tapi kau sering berbohong
Kancil berhentilah berbohong
Kancil teruskanlah berpikir
Jangan sampai kehilangan akal
Akal untuk berpikir
Bukan untuk berbohong ya kancil!

MERPATI

Oleh: Zeffa Yurihana

Merpati…
Bulumu indah sekali
Bagai awan dilangit
Kau terbang
Kesana kesini
Melihat indahnya alam semesta
Jika aku menjadi merpati
Aku akan melihat indahnya bumi
Terbang kesana kesini
Melihat indahnya semua negeri

Merpati…
Kuingin menjadi kepak sayapmu
Bersamamu terbang memasuki awan menata bintang
Melukis langit menggambar pelangi
Dan saatnya engkau turun kebumi
Sudah lengkaplah anak-anak bermain
Karena para ibu dan bapak duduk dekat mereka

MERPATI

Oleh: Zeffa Yurihana

Merpati…
Bulumu indah sekali
Bagai awan dilangit
Kau terbang
Kesana kesini
Melihat indahnya alam semesta
Jika aku menjadi merpati
Aku akan melihat indahnya bumi
Terbang kesana kesini
Melihat indahnya semua negeri

Merpati…
Kuingin menjadi kepak sayapmu
Bersamamu terbang memasuki awan menata bintang
Melukis langit menggambar pelangi
Dan saatnya engkau turun kebumi
Sudah lengkaplah anak-anak bermain
Karena para ibu dan bapak duduk dekat mereka

PASAR

Oleh: Zeffa Yurihana

Banyak orang lalu lalang
Bertukar uang bertukar barang
Tidak pernah tidur
Selalu ramai sekali

Pasar
Banyak orang bertukar barang
Sedikit orang bertukar senyum
Seorang anak ingin membeli senyum
Tapi tidak ada yang menjual senyum,
Sedihnya…

PETANI

Oleh: Zeffa Yurihana

Subuh datang, senja pergi
Menghidupi orang-orang
Dengan tabah dan sabar
Tak pernah lelah tuk bekerja keras
Selalu siap demi kehidupan orang

Petani, petani …
Rumahmu kecil
Hidupmu susah

Petani, petani …
Musim berganti
Kadang kau memohon, kadang bersyukur

Petani, berhematlah
Karena musim mudah saja berganti
Berhematlah untuk hari esok
Berhematlah air dimusim kemarau
Berhematlah akan sabarmu dimusim susah
Karena sedih selalu dibawa angin
Meniupkan pedih pada pematangmu
Dan air mata pada pucuk-pucuk padi yang rusak
Oleh risau dimusim hujan

SAHABAT

Oleh: Zeffa Yurihana

Diwaktu aku sedih
Kau menghiburku
Diwaktu aku senang
Kau mengajakku bermain

Duhai sahabatku jangan gelisah
Kita tak akan berpisah
Oh sahabatku
Janganlah bersedih
Hanya mata dan jari kita
Risaumu akan tetap ditanah basah
Tatap dunia luar
Masih ada kesempatan tuk bertemu lagi

Oh sahabatku
Kini kau berpisah denganku
Masih ada harapan untuk bertemu lagi
Esok hari dan selamanya
Saat yang kita nanti dipematang sawah
Akan rumpun bambu yang rindang
Yang sering kita jadikan dolanan
Hingga senja berayun disana
Kita kumpulkan tawa riang
Hingga sakumu penuh dengan kegembiraan
Sahabatku…

SANG FAKIR

Oleh: Zeffa Yurihana

Sang Fakir itu
Laparnya melengking,
Tapi tak ada satu pasang telingapun yang mendengar
Laparnya berkilau-kilau,
Tapi
Tak ada satu pasang matapun yang melihatnya
Berjalan sejauh mungkin untuk mendapatkan sesuap nasi
Sang fakir, berjalan sambil berteriak
Dan mengharapkan ada seseorang yang mau memberinya sedikit
Tapi sia-sia
Tak ada seorangpun yang mau berbelas
Sungguh malang kehidupan Sang Fakir

SELIMUT MERAH

Oleh: Zeffa Yurihana

Hangat sekali tubuhku
Ditutupi selimut merah
Pemberian dari ayah dan ibu
Waktu aku sedang berulang tahun

Kututupi seluruh tubuhku oleh selimut merah
Dan oh …
Aku tidak berada dikamar tidur
Aku berada di istana

Terbuka selimut merah
Dan aku kembali ketempat tidur
Coba aku menjadi selimut merah
Aku akan membawa mereka yang memakaiku
Ke istana yang megah dan mengajakknya pesta

Senang sekali menjadi selimut merah
Sangat indah
Sangat merah
Selimutku yang merah

SENDIRI

Oleh: Zeffa Yurihana

Sendiri ku sendiri
Tak ada lagi yang menemani
Hari demi hari tak ada arti
Siang dan malam seperti mimpi
Kau tak ada disini
Bumi seakan berhenti
Dunia sudah sunyi
Hidup seperti mati

Sendiri ku sendiri
Tak ada lagi yang tangisi
Lebih baik aku pergi
Dari pada menunggu disini

Sendiri kusendiri
Tak mampu bersembunyi
Dalam jiwa yang sepi
Aku mencari
Kau pujaan hati

SEORANG ANAK

Oleh: Zeffa Yurihana

Seorang anak didepanku
Memainkan alat musik sederhana
Sambil menyanyi riang
Lalu kuberikan uang

Seorang anak disampingku
Mengangkat tangan
Tanda meminta
Tak ada orang yang memandang
Lalu kuberi uang

Seorang anak didalam hatiku
Menatap tajam
Menebar senyum, menanam janji
Lalu kuberi kasih, sayang dan cinta

SEPASANG MATA MEMANDANG

Oleh: Zeffa Yurihana

Sepasang mata memandang
Dari balik jendela
Kelihatannya sedang bermain riang
Berputar-putar mengikuti arah mata bolanya

Sepasang mata memandang
Dari balik semak-semak
Kelihatan meminta pertolongan
Tapi sia-sia
Tak ada orang disana

Sepasang mata memandang
Dari balik selimut
Seperti tak bergerak
Memasuki mimpi-mimpiku
Ternyata itu boneka beruangku

SUNGAI

Oleh: Zeffa Yurihana

Sungai…
Besar sekali
Diriku bagai sungai
Yang ingin menerjang,
Batu- batuan

Sungai…
Tempat orang memancing
Tempat orang mencuci pakaian
Tempat anak-anak bermain
Tempat nasib dialirkan

Aku ingin menjadi sungai
Yang bisa membantu kebutuhan orang
Yang bisa menampung ikan-ikan berenang

Sungai…
Diriku bagai sungai
Yang mengalir deras
Dalam kehidupan

UNTUKKU

Oleh: Zeffa Yurihana

Besarnya rumahku
Pemberian ayah dan ibu
Untuk kujadikan istanaku esok nanti
Dan tempat bermukim yang indah

Indahnya halamanku
Pemberian paman dan bibi
Semuanya ku jaga
Agar indah berseri-seri
Paginya berbunga mawar
Dan senjanya berbunga melati

Terangnya bulan dimalam hari
Pemberian dari Tuhanku
Setiap hari kupandang
Sampai akhirnya aku bosan
Pada suatu malam bulan menghilang
Aku merasa tak nyaman, gelisah, gulita menyergap
Lalu aku memohon kepada Tuhan
Untuk mengembalikan bulanku, bersinar dan tersenyum
Malam harinya bulanku bercahaya terang
Aku tahu semuanya adalah untukku
Tak tersisa, hingga sempurnalah purnamanya

DI PINGGIR SUNGAI

Oleh: Zeffa Yurihana

Di pinggir sungai…
Riak air menggambar sebuah wajah
Yang hanya tertinggal kenangannya
Dan mencari petualangan yang ada
Dalam ikatan aliran arusnya
Tapi yang ditemukan hanyalah hampa
Menghilang dalam sepi

IKAN EMAS

Oleh: Zeffa Yurihana

Ikan emas yang cantik
Elok benar rupamu
Berenang ke sana kemari
Untuk menggapai sang matahari

Ikan emas di kolam
Berenang dengan kebingungan
Mencari rembulan
Yang telah lama hilang
Ikan emas dengan ibundanya
Di permukaan air
Sedang bermain dengan pelangi
Yang berwarna warni

Ikan emas warnamu indah
Sungguh cantik rupawan
Sedang mencari malam
Sampai keringatnya memenuhi malam

Di tengah keremangan malam
Ikan emas mendengar nyanyian bintang
Lalu tidur di pinggir kolom